close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi driver ojol. Foto Antara/Fauzan
icon caption
Ilustrasi driver ojol. Foto Antara/Fauzan
Peristiwa
Jumat, 23 Mei 2025 17:03

RUU Transportasi Online: Mungkinkah tuntutan pengemudi ojol diakomodasi?

DPR berniat mengebut rancangan undang-undang transportasi online demi memberikan kepastian hukum bagi pengemudi ojol.
swipe

Sejumlah tuntutan mengemuka dalam gelombang aksi unjuk rasa pengemudi ojek online (ojol) dan transportasi daring di sejumlah titik di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia, Selasa (20/5). Di antara lainnya, para demonstran mengeluhkan status kemitraan yang merugikan pengemudi serta potongan dari perusahaan aplikasi yang kian mencekik. 

"Sudah berkali-kali kami aksi damai, namun semuanya seperti dianggap remeh oleh pemerintah maupun aplikator sehingga pihak aplikator makin menjadi-jadi membuat program-program hemat dan prioritas yang sangat merugikan pengemudi online," kata Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia Raden Igun Wicaksono. 

Sehari setelah aksi unjuk rasa besar-besaran itu, sebanyak 66 asosiasi pengemudi ojek online (ojol) diundang Komisi V ke Gedung DPR. Usai rapat dengar pendapat, Ketua Komisi V DPR  Lasarus menyatakan DPR akan segera membahas rancangan undang-undang mengenai angkutan online

"Poin penting yang mereka sampaikan adalah meminta supaya potongan maksimal itu 10%. Fokusnya di situ. Kedua, minta segera dibuatkan regulasi yang mengatur tentang angkutan online," kata Lasarus kepada wartawan di Kompleks Parlemen. 

Ini kesekian kali komunitas ojol menggelar aksi unjuk rasa. Februari, tepatnya jelang Idul Fitri 2025, ribuan pengemudi ojol juga berunjuk rasa menuntut pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi pengemudi. Sempat menolak, Gojek cs akhirnya mencairkan THR secara proporsional kepada para pengemudi ojol. 
 
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany sepakat transportasi online diatur dalam UU khusus. Selama ini, sistem kemitraan yang berlaku antara aplikator dan mitra cenderung tak adil bagi pengemudi dan terkesan hanya menguntungkan perusahaan. 

"Relasi yang berjalan selama ini asimetris, bukanlah kemitraan. Indikasinya adalah instrumen untuk bekerja, yakni sepeda motor maupun mobil beserta bensin dan perawatannya ditanggung sepenuhnya oleh pekerja ojol," kata Andy kepada Alinea.id, Kamis (22/5).

Para mitra, lanjut Andy, tak duduk setara dengan perusahaan pengelola aplikasi. Itu setidaknya terlihat dari pola komunikasi yang cenderung satu arah. Pengemudi ojol hanya bisa menerima kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh aplikator, termasuk pemberlakuan potongan hingga kisaran 20% atau lebih. 

Beban yang ditanggung pengemudi, kata Andy, kian berat lantaran harus punya alat produksi sendiri dan merawatnya. Pihak aplikator tidak membantu merawat kendaraan, mengganti ongkos servis atau membantu pengemudi meremajakan kendaraan operasional mereka. "Hal ini berbeda dengan transportasi non-online," imbuh dia. 

Untuk menggantikan skema kemitraan, Andy mengusulkan agar pemerintah memberlakukan sistem sewa aplikasi. "Dalam sistem ini, nantinya pekerja menyewa teknologi aplikator. Perlu peran pemerintah untuk memediasi sistem sewa dan terutama besarannya dengan para pengusaha aplikator," kata Andy. 

Berbeda, Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Raymond J. Kusnadi berpendapat ojol dan transportasi online tak butuh regulasi baru. Menurut dia, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) sudah cukup untuk jadi payung hukum.

Sayangnya, menurut Raymond, isi kedua regulasi itu tak dipatuhi oleh perusahaan pemilik aplikasi. Ia mencontohkan aturan jam kerja selama 8 jam yang termaktub dalam UU Ketenagakerjaan. 

"Selama ini kami bekerja belasan jam tanpa istirahat dan upah lembur. Jika memang dirancang (UU baru), memang norma dan ketentuan apa saja mesti diatur?" ucap Raymond kepada Alinea.id. 

Meski begitu, Raymond sepakat status kemitraan yang cenderung merugikan pengemudi dihapus. Menurut dia, para pengemudi semestinya dikategorikan sebagai pekerja seturut isi UU Ketenagakerjaan lantaran rofesi pengemudi ojol sudah memenuhi tiga unsur, yaitu adanya pekerjaan, upah, dan perintah.

"Sehingga kami diakui sebagai pekerja tetap dan berhak atas hak-hak sebagai pekerja. Kendaraan wajib disediakan platform dan mengikuti aturan UU LLAJ. Platform wajib menjamin pemenuhan hak-hak pekerja dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan," kata Raymond.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, belum lama ini, Direktur Bisnis inDrive Indonesia, Ryan Rwanda mengatakan perusahaan aplikasi bakal kesulitan memformalkan hubungan antara perusahaan dan mitra. Ia memperkirakan akan ada sekitar 90% mitra yang kehilangan pekerjaan skema itu dipaksakan. 

"Perhitungan saya kemarin, bisa-bisa hanya tersisa sekitar 10–13% driver yang aktif. Ini perhitungan kasar, ya, dan pengurangan pendapatan mereka bisa sampai minus 7% per bulan," kata Ryan. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan