close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi driver ojol. Foto Antara/Fauzan
icon caption
Ilustrasi driver ojol. Foto Antara/Fauzan
Peristiwa
Rabu, 27 Agustus 2025 11:04

Yang jadi problem jika ojol naik kasta jadi angkutan umum

Ada sejumlah tantangan yang harus dilewati jika ojek online mau dikategorikan sebagai angkutan umum.
swipe

Komisi V DPR RI mulai rajin membahas Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ). Beleid itu diwacanakan akan mengatur status baru bagi para pengemudi ojek online (ojol) atau daring dan menetapkan ojol sebagai kendaraan umum.  

Wacana itu sempat diutarakan Presiden Unit Bisnis on-Demand Service GoTo Catherine Hendra Sutjahyo dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Maret lalu. Chaterine berharap DPR mengizinkan kendaraan roda dua seperti ojol bisa menjadi angkutan umum. 

Pemerhati transportasi Muhammad Akbar mengingatkan bahwa posisi hukum ojol masih rapuh. UU LLAJ hanya mengakui mobil penumpang, bus, dan mobil barang sebagai angkutan umum. Sepeda motor tidak termasuk di dalamnya.

“Secara hukum, ojek online tidak diakui sebagai angkutan umum. Regulasi yang ada saat ini hanya sebatas aturan teknis, bukan pengakuan penuh setingkat undang-undang,” kata Akbar kepada Alinea.id, Selasa (26/8).

Kondisi tersebut membuat perlindungan hukum bagi pengemudi dan penumpang ojol lemah. Jika terjadi kecelakaan atau sengketa, posisi mereka berbeda dengan pengguna bus atau kereta yang sudah diatur secara jelas.

Selain hukum, aspek keselamatan menjadi sorotan. Data Polri menunjukkan lebih dari 70% kecelakaan lalu lintas di Indonesia melibatkan sepeda motor.

“Bus, kereta, dan taksi memiliki standar keamanan lebih tinggi. Motor hanya mengandalkan helm. Begitu kecelakaan terjadi, penumpang berhadapan langsung dengan aspal tanpa perlindungan memadai,” ujar Akbar.

Sepeda motor juga lebih rentan karena faktor stabilitas. Jalan licin, lubang, atau manuver mendadak bisa langsung menjatuhkan pengendara bersama penumpangnya. Saat hujan, risiko semakin besar karena jarak pandang dan daya cengkeram ban berkurang.

Dari sisi tata kota, keberadaan ribuan motor ojol justru menambah kemacetan. Alih-alih memperkuat transportasi massal, seperti MRT, LRT, atau BRT, ojol kerap membuat masyarakat semakin bergantung pada motor.

“Jika dibiarkan, transportasi massal bisa kalah saing. Ojol seharusnya menjadi penghubung (feeder) ke halte atau stasiun, bukan menggantikan bus atau kereta sebagai tulang punggung kota,” jelas Akbar.

Beban baru?

Pengamat transportasi Dedy Herlambang menilai, menjadikan ojol sebagai angkutan umum reguler justru menimbulkan beban baru. Angkutan umum wajib mengikuti uji kir secara berkala. 

“Kalau motor diakui sebagai angkutan umum, pengemudi wajib mengikuti uji kir setiap enam bulan. Pertanyaannya, apakah mereka siap?” kata Dedy kepada Alinea.id, Selasa (26/8).

Menurut Dedy, ojol selama ini lebih tepat dipandang sebagai angkutan privat, seperti mobil sewa. Pemerintah pun bisa mengatur kuota ojol melalui Kementerian Komunikasi dan Digital karena aplikasinya masuk kategori e-commerce, sementara aspek keselamatan tetap menjadi ranah Kementerian Perhubungan.

“Karena ojol masuk e-commerce yang harus dibatasi. Jangan sampai dibiarkan liar tanpa kontrol, sedangkan regulasi keselamatan melalui regulasi Kemenhub. Antara kementerian itu bisa membuat surat kesepakatan bersama (SKB),” jelasnya.


 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan