Pengemudi ojek online (ojol) kembali turun ke jalan. Teranyar, aksi unjuk rasa ojol digelar di sejumlah titik di Jakarta, Selasa (22/7). Aksi protes digelar menyikapi rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendongkrak tarif ojol kisaran 8-15% sesuai zonasi.
Kebijakan itu rencananya bakal berlaku pada 10 September 2025. Sebelum kebijakan itu berlaku, komunitas ojol berencana menggelar aksi unjuk rasa lebih besar. Para mitra ojol berpandangan kenaikan tarif ojol hanya menguntungkan pengelola platform.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengatakan komunitas ojol mendesak penurunan potongan biaya platform (biaya sewa aplikasi) menjadi maksimal 10 persen dari total transaksi. Sejak 2022, potongan platform selalu di atas 20 persen. Bahkan, dalam beberapa kasus nilai potongan bisa mencapai 70 persen.
“Contohnya, konsumen membayar Rp18.000 untuk pengantaran makanan, tapi pengemudi hanya mendapat Rp5.200. Sisanya diambil platform. Ini sangat merugikan,” ujar Lily saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Ia juga mengkritik pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi, Informasi, dan Digital (Komdigi), yang dianggap tidak menetapkan tarif minimum pengantaran makanan dan minuman, sehingga tarif sepenuhnya dikendalikan oleh platform.
“Ini menciptakan monopoli yang merugikan pengemudi dan juga konsumen. Tarif bisa sangat mahal, tapi pendapatan pengemudi tetap kecil,” jelas Lily.
Menurut SPAI, potongan besar ini semakin memberatkan karena seluruh biaya operasional ditanggung oleh pengemudi sendiri. Biaya seperti bahan bakar, pulsa, cicilan atribut, hingga cicilan kendaraan dapat mencapai Rp50.000 hingga Rp100.000 per hari.
Selain itu, SPAI menuntut penghapusan berbagai skema internal platform yang dinilai diskriminatif dan menurunkan pendapatan mitra pengemudi, seperti skema hemat, argo goceng, slot, hub, comfort, premium, dan prioritas.
“Semua skema ini makin memiskinkan pengemudi. Pemerintah seharusnya melindungi kami sebagai pekerja, bukan membiarkan platform semena-mena,” tegas Lily.
Lebih lanjut, SPAI juga menyoroti hubungan kemitraan yang digunakan oleh aplikator, yang dinilai sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab terhadap pengemudi. Padahal, Kementerian Hukum dan HAM sejak Juli lalu telah menyatakan bahwa hubungan kemitraan tidak layak diterapkan karena tidak adil, tidak memberi jaminan sosial, dan menjauhkan platform dari kewajiban sebagai pemberi kerja.
Untuk itu, SPAI mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan DPR RI Komisi IX untuk segera memasukkan isu pekerja platform dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan. Tuntutan ini merujuk pada komitmen Indonesia dalam forum Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ke-113 ILO di Jenewa, yang menyepakati perlindungan bagi pekerja platform.
Guru besar sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Nur Effendi menilai bahwa aksi demonstrasi yang terus dilakukan pengemudi ojek online mencerminkan kegagalan negara dalam merancang regulasi yang adil dan berkelanjutan.
“Pengemudi ojek online saat ini telah menjadi kekuatan sosial politik baru di Indonesia. Jika aspirasi mereka terus diabaikan, ini bisa menimbulkan ancaman sosial yang besar,” ujar Tadjuddin kepada Alinea.id.
Ia menjelaskan para pengemudi ojol masuk dalam kategori prekariat, sebuah istilah dari pengamat ketenagakerjaan Guy Standing untuk menyebut kelas pekerja baru yang rentan dan mudah dieksploitasi. Menurutnya, skema kerja digital yang digunakan aplikator membuat pengemudi berada dalam posisi yang lemah.
“Hubungan mereka bukan buruh dan perusahaan, melainkan mitra. Ini membuat pemerintah sulit memberi perlindungan, karena secara hukum tidak ada ikatan yang kuat,” jelas Tadjuddin.
Kondisi ini, menurutnya, membuat regulasi menjadi tidak efektif. Bahkan, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak memiliki daya paksa karena tidak ada sanksi yang bisa dikenakan kepada platform.
“Kalau dibiarkan, kelompok ini bisa menjadi kekuatan sosial politik yang besar. Jumlah mereka jutaan, dan kalau kecewa secara kolektif, bisa mengguncang tatanan politik Indonesia,” ujar Tadjuddin.