Ambang batas presiden hambat regenerasi pemimpin bangsa

Ambang batas presiden diusulkan dihapuskan sebagai syarat mengajukan calon pada Pilpres 2024.

(dari kiri) Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Ketua Fraksi Golkar Agun Gunanjar Sudarsa, Ketua DPP Partai Golkar Andi Sinulingga, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator Burhanudin Muhtadi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, dan Kapuspen Kemendagri Bahtiar, menyampaikan pandangannya dalam diskusi publik dengan tema Jalan Pasti Sistem Politik dan Pemilu di Indonesia, di Jakarta, Senin (5/8). /Antara Foto

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai ambang batas presiden (presidential threshold) yang berlaku saat ini tidak logis. Menurut dia, ambang batas presiden menghilangkan hak partai politik yang tak lolos ke Senayan mencalonkan kader terbaik sebagai calon presiden di pilpres berikutnya. 

"Presidential threshold tidak logis untuk (pemilihan) presiden. Harus dihapus menjadi 0%, kecuali pemilu tidak serentak. Kalau pemilu serentak, harus 0%," kata Zoelva saat ditemui di salah satu hotel di Jakarta Selatan, Senin (5/8). 

Ambang batas presiden diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Disebutkan, pasangan capres dan cawapres hanya boleh diusulkan oleh gabungan parpol atau parpol yang memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah di level nasional.

Menurut Zoelva, ambang batas presiden didesain untuk dipakai pada Pemilu 2009 dan 2014. Pasalnya, saat itu pileg digelar lebih awal ketimbang pilpres. Di UU Pemilu terbaru, ambang batas presiden kali ini dipakai berbasis data komposisi perolehan suara parpol pada pemilu sebelumnya. "Itu sama sekali enggak ada logikanya," kata dia. 

Hal senada juga disampaikan pengamat hukum tata negara Refly Harun. Menurut dia, ambang batas presiden memupus peluang munculnya calon-calon presiden alternatif. Pasalnya, calon presiden yang mungkin diusung hanya berasal dari dua kubu saja.