Sikap parpol terhadap pemisahan pemilu ala MK
Ketua DPR RI Puan Maharani akhirnya mengungkapkan sikap terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Menurut politikus PDI-Perjuangan itu, putusan MK menyalahi amanat dari Undang-Undang Dasar 1945.
"Pada saatnya, kami semua dari partai politik tentu saja, sesuai dengan kewenangannya, akan menyikapi hal tersebut," kata Puan kepada wartawan usai rapat paripurna DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7), seperti dikutip dari Antara.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan belum ada komunikasi di kalangan ketum parpol menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan lokal. Menurut Cak Imin, bola kini ada di tangan DPR RI.
"Nanti kami serahkan kepada DPR RI untuk menyikapi keputusan MK itu dalam bentuk Undang-Undang Pemilu yang baru," kata Cak Imin kepada wartawan di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (14/7) malam.
Seperti diberitakan, MK mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam putusannya, MK menetapkan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah. MK memutuskan pemilu lokal harus diselenggarakan minimal dua tahun tahun atau maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
Putusan itu mendapat tanggapan relatif seragam dari parpol-parpol penghuni parlemen. Mayoritas parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) memprotes putusan itu. Sebagai satu-satunya parpol "oposisi", PDI-P juga terkesan tak bisa menerima putusan tersebut.
NasDem protes keras
Protes keras terutama dikemukakan kader-kader NasDem. Dalam siaran pers kepada wartawan, awal Juni lalu, anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem Lestari Moerdijat mengatakan putusan itu melanggar konstitusi dan berpotensi menimbulkan krisis ketatanegaraan.
Secara khusus, Lestari menyoroti penambahan masa jabatan anggota DPRD di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota hingga minimal dua tahun karena putusan itu. Menurut dia, tak ada landasan hukum yang memungkinkan penambahan masa jabatan tersebut.
Jabatan anggota DPRD, kata Lestari, adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana pasal 22E UUD 1945. Pasal yang sama juga menegaskan bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu.
"Sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” kata Lestari.
Golkar masih abu-abu
Sikap Golkar terkait putusan MK masih abu-abu. Menurut Sekjen Golkar Sarmuji, partainya masih mengkaji putusan MK. Dua hal yang jadi pertanyaan Golkar, yakni apakah keputusan MK itu mengikat dan apakah MK itu lembaga yang memiliki kewenangan menafsirkan konstitusi.
"Kalau kita masih bersepakat dalam dua hal itu, opsinya menjadi terbatas. Opsinya mengikuti keputusan MK atau kita membuat undang-undang baru yang tidak melanggar, yang sesuai dengan keputusan MK tersebut,” kata Sarmuji di Bali, Minggu (13/7) sore.
Kesepakatan di kalangan elite parpol penguasa parlemen, kata dia, akan menentukan arah pembentukan sistem kepemiluan ke depan. Lewat revisi UU Pemilu, misalnya, parpol-parpol bisa saja bersepakat mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
"Gubernur dipilih oleh DPRD itu kan juga bisa. Masih memungkinkan. Jadi, keputusan MK tidak menghalangi revisi Undang-Undang Pemilu, termasuk revisi Undang-Undang Pilkada,” jelas Sarmuji.

PKS ikut menolak
Penolakan juga datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPP PKS, Zainudin Paru mengatakan putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
"Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur,” tegas Zainudin dalam keterangan tertulis, Rabu (1/7).
Menurut Zainudin, perubahan fundamental terhadap norma-norma konstitusi seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, bukan Mahkamah Konstitusi. "Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita,” imbuh dia.
Bakal merepotkan
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Dede Yusuf mengatakan pemisahan pemilu nasional dan lokal bakal merepotkan jika dijalankan. Pasalnya, putusan MK bakal memunculkan kewajiban untuk merevisi banyak undang-undang.
Tak hanya UU Pemilu, menurut Dede, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU Otonomi Khusus Papua juga harus dirombak sebagai buntut dari putusan MK.
"Oleh karena itu, ini tentu akan sulit memisahkannya karena pada dasarnya nanti akan merubah beberapa undang-undang lainnya," jelas Dede.


