Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengeluarkan aturan untuk melarang akses terhadap 16 jenis dokumen calon presiden dan calon wakil presiden untuk pemilu mendatang. Ketentuan itu diatur dalam Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan KPU.
Ketua KPU RI Mohammad Afifudin berdalih ketentuan itu hanya penyesuaian terhadap isi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU itu memang menyebutkan data pribadi hanya bisa diakses atas persetujuan pemilik.
"Pada intinya, kami hanya menyesuaikan pada dokumen-dokumen tertentu yang ada, dalam tanda kutip, pada aturan untuk dijaga kerahasiaannya, misalnya berkaitan dengan rekam medis," kata Afif kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (15/9).
Keenam belas dokumen calon presiden dan calon wakil presiden yang dirahasiakan, yakni fotokopi KTP dan akta kelahiran, surat keterangan catatan kepolisian, surat keterangan kesehatan, laporan harta kekayaan pribadi, surat keterangan tidak pailit.
Selain itu, ada surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota legislatif, NPWP dan bukti laporan pajak lima tahun terakhir, daftar riwayat hidup, dan pernyataan belum pernah menjabat presiden/wakil presiden dua periode.
Dokumen lainnya ialah pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945, surat keterangan tidak pernah dipidana, bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau surat tanda tamat belajar, surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang, surat pernyataan kesediaan maju sebagai capres/cawapres, serta surat pernyataan pengunduran diri dari TNI/Polri/PNS dan dari badan usaha milik negara/daerah.
Keputusan KPU RI No. 731/2025 ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum KPU dan Ketua KPU Afifudin pada 21 Agustus 2025. Keputusan berlaku selama lima tahun. Dokumen yang dirahasiakan tetap dapat dibuka apabila pemilik dokumen memberikan persetujuan.
Keputusan KPU itu diprotes Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda. Rifqinizamy menuntut KPU mengklarifikasi secara jelas alasan lembaga tersebut mendadak merahasiakan dokumen-dokumen pribadi capres dan cawapres untuk pemilu berikutnya.
"Dokumen persyaratan pencalonan bukan merupakan rahasia negara dan tidak mengganggu privasi seseorang. Justru, sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas pemilu, dokumen itu seharusnya bisa diakses publik,” kata Rifqinizamy, dalam sebuah pesan suara, seperti dikutip dari Parlementaria.
Memicu spekulasi liar
Keputusan KPU itu memicu spekulasi liar di media sosial. Secara khusus, warganet menyoroti ijazah calon yang turut dimasukkan jadi dokumen yang dirahasiakan KPU dalam aturan itu. Ada yang berpendapat regulasi itu dikeluarkan untuk mengamankan kepentingan keluarga Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Saat ini, Jokowi sedang dibelit kasus dugaan ijazah palsu. Juli lalu, pakar digital forensik Rismon Sianipar melaporkan dugaan skripsi palsu milik Jokowi ke Polda DIY. Bersama pakar telematika Roy Suryo dan Dokter Tifa, Rismon rutin mempersoalkan dugaan ijazah palsu Jokowi.
Tak hanya ijazah Jokowi, belakangan riwayat pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga dipersoalkan. Belum lama ini, ijazah SMA Gibran digugat oleh Subhan Palal. Saat mendaftar jadi cawapres, Gibran dianggap tak mengantongi ijazah SMA yang diakui di Indonesia.
Subhan menuntut ganti rugi sebesar Rp125 triliun kepada Gibran dan KPU. Jika gugatannya menang, ia berjanji duit ganti rugi itu akan dikembalikan ke kas negara.
Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka. /Foto Instagram @prabowo
Apa kata pakar?
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari berpendapat keputusan KPU justru bertolak belakang dengan semangat keterbukaan yang dijamin undang-undang. Menurut dia, tak semestinya dokumen-dokumen pribadi untuk calon presiden dan calon wakil presiden dirahasiakan.
“Itu sebabnya publik wajar saja mencurigai bahwa upaya membuat peraturan ini motifnya adalah untuk menyembunyikan kebenaran dari data-data yang bermasalah,” ujar Feri seperti dikutip dari Media Indonesia.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil punya pendapat serupa. Menurut dia, transparansi pencalonan wajib dijamin dalam proses demokrasi.
"Jika KPU menutup informasi, mereka mengorbankan prinsip utama demi kenyamanan politik jangka pendek," kata Fadli.
Apa pendapat Istana terkait putusan itu?
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro buka suara terkait keputusan KPU itu. Secara diplomatis, Juri mengatakan pemerintah menghormati langkah KPU.
"KPU itu lembaga independen. Jadi, di dalam bekerja, dia enggak bisa dipengaruhi oleh lembaga lain, termauk oleh eksekutif. Dia lembaga independen, kami menghormati," kata Juri.