Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali mengemuka usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal. Sejumlah elite politik di Gedung DPR terlihat rajin mempromosikan gagasan usang itu.
Salah satunya ialah Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid. Dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7), Jazilul mengusulkan agar revisi UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pemilu (UU Pemilu) mengatur supaya kepala daerah dipilih DPRD.
"Lebih hemat lagi kalau pilkadanya dipilih oleh anggota DPRD tingkat II sebagai representasi, sebagai orang yang diberi mandat oleh rakyatnya di tingkat II sehingga dia bisa menentukan siapa bupatinya, dan itu lebih mudah,” kata Jazilul.
Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin mengamini usulan Fraksi PKB. Menurut dia, pemilihan kepala daerah oleh DPRD sejalan dengan filosofi otonomi daerah, yakni desentralisasi, ada dekonsentrasi, dan tugas pengampuan.
"Istilahnya penugasan. Nah, desentralisasi itu lebih pasnya di kabupaten, sementara dekonsentrasi itu lebih pasnya di gubernur karena gubernur itu menjalankan tugas dan kewenangan itu delegatif dari pusat," ujar Khozin.
Analis politik dari Universitas Medan Area, Sumatera Utara, Khairunnisa Lubis menilai wacana mengembalikkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD terkesan naif jika hanya dibalut alasan menghemat biaya dan menyederhanakan pemilu.
Pilkada tak langsung, kata Nisah, akan hak mencabut hak masyarakat untuk memilih kandidat sendiri dan merupakan sebuah kemunduran bagi demokrasi. Skema itu sebelumnya dipraktikan pada era Orde Baru.
"Wacana ini juga terlihat seperti fenomena false demand (permintaan palsu)," kata Nisah, sapaan akrab Khairunnisa, saat dihubungi Alinea.id dari Jakarta, Senin (7/7).
Nisah menilai wacana agar kepala daerah dipilih DPRD akan mungkin terealisasi jika melihat situasi dinamika dan peta kekuatan politik di parlemen saat ini. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto adalah salah satu elite politik yang pernah mengusulkan agar pemilihan kepala daerah ditentukan DPRD.
"Persentasenya bisa di atas 50% karena DPRD yang diisi oleh partai partai besar dan partai- partai tersebut sudah pasti akan mengusung 'anak titipan' di daerah tersebut agar kekuasaan lebih tersentralisasi," kata dia.
Jika direalisasikan, Nisah menilai pilkada tak langsung akan punya beragam dampak negatif bagi demokrasi di tingkat lokal. Publik terutama akan kehilangan kedekatan personal dengan kepala daerah yang dipilih DPRD.
Di lain sisi, kepala daerah pilihan DPRD juga potensial lebih mengutamakan kepentingan parpol ketimbang aspirasi rakyat. "Kesejahteraan yang berfokus pada rakyat akan sedikit bergeser menjadi program kesejahteraan yang berfokus pada partai politik," kata Nisah.
Di tengah kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik-baik saja, Nisah berpendapat manuver mengembalikan pilkada tak potensial menyulut gelombang protes. "Kebijakan publik nantinya pun ditakutkan akan banyak terjadi perubahan ke arah yang menguntungkan elite saja," kata Nisah.
Pernyataan serupa diungkap peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti. Menurut Aisah, rencana mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan reaksi politis yang mendegradasi hak demokrasi masyarakat sipil.
Supaya tidak diloloskan oleh anggota DPR dalam revisi UU Pemilu, Aisah mengatakan kelompok masyarakat sipil, kalangan aktivis, dan akademisi di kepemiluan harus mengawasi proses politik yang berjalan di DPR secara intens.
"Tentunya ada banyak skema pemilu lain yang patut dipertimbangkan pilihan terbaiknya. Terkait dengan hal ini, maka pembuat kebijakan harus merevisi UU berbasis pada riset dan menjalin kerja sama dengan para aktivis dan akademisi," kata Aisah kepada Alinea.id.
Aisah berharap DPR mempertahankan skema pilkada langsung. Menurut dia, sistem proporsional terbuka sejalan dengan pemisahan pemilu nasional-lokal yang diputuskan MK. Dengan sistem proporsional terbuka, publik punya peluang menilai kinerja partai dan politisinya di lingkaran kekuasaan dan menghukum mereka yang berkinerja buruk lewat pilkada.