Vivere pericoloso demokrasi Indonesia

Cawe-cawe Jokowi yang berlebihan di kontestasi elektoral Pilpres 2024 potensial membunuh demokrasi di Indonesia.

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) saat menyerahkan sejumlah pesawat baru untuk TNI, Januari 2024. /Foto Instagram @prabowo

Kualitas demokrasi elektoral memburuk dengan tiba-tiba pada era Pemilu 2024. Cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berlebihan dalam proses kontestasi elektoral menjadi salah satu penyebab utamanya. Jika tidak disikapi serius, mimpi Indonesia emas pada 2045 tidak akan kesampaian. Indonesia bahkan bisa mengalami regresi menjadi negara otoriter. 

Demikian benang merah diskusi publik bertajuk "Demokrasi di Ujung Tanduk" yang digelar di ruang seminar Gedung, Widya Graha, Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN) di Jalan Gatot Subroto, Rabu (7/2). Hadir sebagai pembicara sejarawan Asvi Warman Adam, dan tiga pakar ilmu politik dari BRIN, yakni Dewi Fortuna Anwar, Siti Zuhro, dan Firman Noor. 

Siti Zuhro mengatakan indikasi memburuknya kualitas demokrasi elektoral tergambar jelas dari ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Kedua lembaga itu ia anggap "masuk angin" lantaran lebih sering tunduk kepada tekanan penguasa dan partai politik ketimbang mematuhi aturan terkait kepemiluan. 

"Kalau penyelenggaranya sudah tidak dipercaya, tentu menimbulkan ketidakpercayaan dari seantero Indonesia. Tidak ada penalti (kepada penyelenggara), selain peringatan keras. Peringatan keras kok tidak ada penaltinya? Ini hukum betul betul ditekuk," kata Wiwi, sapaan akrab Siti Zuhro. 

Belum lama ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU dan komisioner lainnya. KPU dianggap melanggar etika lantaran menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto sebelum merevisi PKPU terkait pencalonan.