Kecelakaan politik, kegagalan partai, dan calon tunggal

Polarisasi pencalonan presiden pada dua figur bahkan satu figur dikhawatirkan mengurangi keragaman dalam agenda demokrasi mendatang.

Jokowi dalam lawatan ke petani jagung./ Antarafoto

Setelah melewati masa yang panjang, mulai dari pendaftaran sebagai calon peserta, tahap verifikasi, akhirnya beberapa waktu lalu Komisi Pemilhan Umum (KPU) meloloskan 14 partai peserta pemilu. Ditambah dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang akhirnya diloloskan Bawaslu dalam sidang ajudikasi.

Berdasarkan catatan Alinea, dari 15 parpol tersebut, hanya 10 partai yang memiliki kursi di DPR RI, lewat pemilu legislatif 2014. Lalu 4 parpol merupakan pemain baru, sedang PBB tak mendapatkan kursi di kontestasi politik sebelumnya.

Merujuk pada Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, dan dikuatkan Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tentang ambang batas presiden, maka sejumlah partai wajib berkoalisi untuk mengusung calon presiden. Sebab aturan ambang batas mengharuskan perolehan kursi minimal 20% atau 25% dari suara sah nasional.

Dari perolehan suara di pemilu 2014, sebetulnya ada potensi kemunculan sejumlah pasangan calon (paslon). Namun kecenderungan arah koalisi yang condong ke Jokowi, mengikis keragaman pencalonan tersebut.

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, seandainya PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PKB, Hanura, bahkan PPP menyatakan dukungannya ke Jokowi, maka peluang koalisi hanya tersisa Gerindra, PAN, dan PKS yang hanya bisa mencalonkan satu paslon. Sementara Partai Demokrat harus memilih bergabung dengan salah satu kubu atau malah menjadi penengah.