KUHP dan serangan terhadap pers di era Sukarno

Pasal-pasal dalam draf terbaru rancangan KUHP dianggap menggerus kebebasan pers.

Seorang bocah melintasi mural bergambar Presiden RI pertama Sukarno di Kampung Poncol Tangerang, Banten, Agustus 2019. /Foto Antara

Diwakili Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM) Omar Sharif Hiariej, pemerintah resmi menyerahkan draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI, Rabu (6/7). Dalam rapat usai serah-terima draf tersebut, DPR dan pemerintah menyepakati hanya ada 14 isu krusial yang perlu dibahas. 

Dalam rilis pers yang diterima Alinea.id, Kamis (7/7) lalu, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) berpendapat isi draf revisi KUHP terbaru masih penuh persoalan. Secara khusus, KKJ menyoroti pasal-pasal yang potensial mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Pasal-pasal tersebut di antaranya, rinci KKJ, di antaranya Pasal 218, 219, dan 220 yang mengatur tentang penghinaan presiden dan wakil presiden; Pasal 240 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah; serta Pasal 351 dan 352 yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. 

“Pasal izin keramaian yang di dalamnya mengatur penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi (Pasal 256), pasal penyebaran berita bohong (Pasal 263), hingga pasal terkait makar (Pasal 191-196),” tulis KKJ. 

Karena masih memuat banyak pasal bermasalah, KKJ meminta agar pemerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. Dalam proses pembahasan, KKJ menuntut agar pemerintah dan DPR transparan serta melibatkan partisipasi publik.