Kursi MPR untuk Cak Imin tak cocok dengan logika demokrasi

Wasekjen PKB Daniel Johan menyebut Cak Imin cocok untuk mengisi kursi pimpinan MPR. Namun, jabatan untuk Ketum PKB itu dianggap inkonstitusi

Rapat paripurna penngesahan UU MD3/AntaraFoto.

Aksi walk out Fraksi PPP dan Fraksi Nasdem, tak menghalangi rapat paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi UU. Pemerintah yang diwakili Menkumham Yasonna Laoly, tak mempermasalahkan adanya penambahan tiga kursi pimpinan MPR, satu kursi pimpinan DPR, dan satu kursi pimpinan DPD.

Setelah sah diundangkan, Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan menganggap Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar bersedia untuk menjadi Wakil Ketua MPR. Daniel menyebut, sosok yang akrab disapa Cak Imin itu bahkan diminta oleh Pimpinan MPR lainnya guna memperkuat doktrin 4 pilar.

"Nanti pimpinan dan kesekjenan MPR RI yang akan menentukan waktu pelantikannya," kata Daniel Johan seperti dikutip dari Antara, Rabu (14/2).

Namun, pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Syaiful Bahkri menilai anggota MPR harus berasal dari anggota DPR atau DPD. Alhasil, penunjukkan kursi pimpinan, harus berasal dari kalangan internal parlemen. Meski seandainya di UU MD3 memiliki pengecualian untuk pengangkatan sosok pimpinan dari luar anggota legislatif, tidak serta merta anggota parlemen menunjuk sosok yang bukan anggota dewan.

“Kalau memang memungkinkan, berarti tidak cocok dengan logika demokrasi,” terang Syaiful saat berbincang dengan Alinea.

Karena itu, Syaiful menyarankan agar Cak Imin menolak jabatan pimpinan MPR. Tak hanya inkonstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, kursi pimpinan MPR juga dianggap bisa merugikan karir politik Cak Imin yang berkeinginan untuk menjadi wakil presiden. “itu akan dapat penilaian politik dari msayrakat,” sambungnya.