MK "dikadali", kenapa tagar Reformasi Dikorupsi tak menyembul lagi? 

Protes mahasiswa dan masyarakat sipil terhadap skandal MK tak 'segila' saat menolak revisi UU KPK dan RKUHP pada 2019.

Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Massa pengunjuk rasa menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. /Foto Antara

Skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi kontestan Pilpres 2024 sempat bikin heboh publik selama bebebera pekan. Namun, protes terhadap bau nepotisme dalam putusan itu terkesan biasa saja. Tak ada gelombang aksi unjuk rasa besar yang diinisiasi kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil. 

Aktivis gerakan Reformasi 1998, Petrus Hariyanto memandang perlu upaya keras untuk membangkitkan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil. Menurut dia, mahasiswa dan publik sedang dalam sedang "dibius" rezim penguasa. Parpol dan aparat tengah digerakkan untuk memecah isu dan membangun citra kandidat tertentu. 

"Sekarang ini isu tidak tunggal atau terfokus. Masyarakat pun jadi terbelah mengikuti isu pilpres. Ada kekuatan yang tidak menghendaki isu soal tersebut meluas dan menjadi sangat besar," kata Petrus kepada Alinea.id di Jakarta, Jumat (17/11).

Pada September 2019, mahasiswa dan kelompok sipil sempat kembali turun ke jalan memprotes pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan rencana pemerintah mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). 

Tak hanya di Jakarta, aksi unjuk rasa bertagar Reformasi Dikorupsi itu digelar secara masif selama berhari-hari di berbagai daerah. Tekanan publik itu bikin rezim Jokowi goyah. Meskipun revisi UU KPK tetap berlaku, mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil sukses menunda pengesahan revisi KUHP.