Polemik penundaan pemilu dinilai momen tepat hidupkan lagi UU Referendum

Solusi paling memungkinkan terkait polemik penundaan pemilu adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini.

Sekretaris Jenderal Rumah Gerakan 98 (Sekjen RG 98), Arif Bawono. Foto Dok File

Wacana penundaan pemilu terus bergulir. Keinginan untuk memperpanjang masa pemerintahan saat ini bisa saja dicari jalannya agar konstitusional, namun hal itu akan menimbulkan persoalan legitimasi di kemudian hari. Pembangkangan rakyat.

Sebenarnya, usulan penundaan pemilu atau pun penambahan masa jabatan presiden saat ini akan menemui jalan buntu. Konstitusi UUD 1945, secara tegas di Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun begitu, penundaan pemilu juga bukan hal yang mustahil. 

“Meskipun terhalang oleh konstitusi, namun hal itu (penundaan Pemilu) juga bukan hal yang mustahil. Sebab, pada dasarnya UUD 1945 pun merupakan konstitusi yang terbuka terhadap perubahan. Ingat Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD,” ujar Sekretaris Jenderal Rumah Gerakan 98 (Sekjen RG 98), Arif Bawono, dalam keterangannya, Minggu (27/3).

Arif menambahkan, dalam pasal tersebut, UUD dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR. Usul perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR. 

Setiap usulan perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan. Usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan. Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.