Partai-partai mapan masih terkesan angin-anginan dalam memperjuangkan isu-isu lingkungan yang penting bagi publik.
Persoalan-persoalan lingkungan masih menjadi isu pinggiran di dalam tubuh partai politik di Indonesia. Sebagai representasi rakyat, parpol-parpol terkesan angin-anginan mengawal isu-isu kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam di berbagai daerah.
Parpol yang berkantor di Senayan hanya "keras" saat ada isu kerusakan lingkungan yang viral dan jadi perhatian publik. Pada kasus kerusakan Pulau Gag, Raja Ampat, akibat pertambangan nikel, misalnya. Mayoritas parpol setuju penambangan nikel dihentikan. Lazimnya, parpol-parpol senyap dalam mengawal isu-isu lingkungan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin menilai Indonesia perlu sebuah partai formal yang prolingkungan sebagaimana Partai Hijau (Green Party) di Jerman. Persoalanya, persyaratan dan modal untuk mendirikan parpol yang bisa jadi peserta pemilu masih tergolong berat di Indonesia.
"Karena pembentukan partai di kita sangat berat dan harus mempunyai kantor dan kepengurusan di 100% di tingkat provinsi, 75% di tingkat kabupaten/kota, dan 50% di kecamatan. Jadi, hanya orang super kaya yang bisa membentuk parpol dan ikut pemilu di Indonesia," kata Usep kepada Alinea.id, Kamis (10/7).
Usep berkaca pada kasus-kasus kerusakan lingkungan yang terkuak dalam beberapa bulan terakhir. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat lebih dari 80 ribu lubang tambang di Indonesia. Hingga akhir 2018, setidaknya ada 3.092 lubang bekas tambang batubara yang belum direhabilitasi.
Menurut Usep, sebenarnya sudah ada Partai Hijau Indonesia (PHI) yang dideklarasikan di Bandung, Jawa Barat, pada 2012. Partai itu didirikan dengan tujuan mewujudkan Indonesia yang adil, bersih, dan lestari, serta berupaya menjadi wadah bagi berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan isu-isu sosial.