Undang-Undang TPKS dinilai belum tuntas, LBH Jakarta beri catatan

Pengesahan RUU TPKS menjadi kemenangan dari kerja keras banyak pihak selama 10 tahun terakhir. 

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menyampaikan laporan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS dihadapan seluruh peserta rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Foto: dpr.go.id/Jaka/Man.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengapresiasi DPR yang telah mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang pada Selasa (12/4). Menurut LBH, pengesahan undang-undang ini sebagai suatu kemenangan yang tidak lepas dari kerja keras banyak pihak selama 10 tahun terakhir. 

"Atas berbagai upaya advokasi kebijakan, LBH Jakarta memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada segenap korban, penyintas dan jaringan masyarakat sipil. Akhirnya, Indonesia memiliki regulasi yang mengatur berbagai tindak pidana kekerasan seksual dan jaminan atas hak-hak korban," ujar pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum dalam keterangan pers, Rabu (13/4).

Meski demikian, menurut LBH Jakarta, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang tersisa dari naskah terakhir RUU TPKS. Pertama, jaminan ketidak berulangan tidak tegas diatur sebagai asas undang-undang. Absennya asas ini berdampak pada kualitas beragam upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

Kedua, tindak pidana pemaksaan aborsi tidak diatur. Padahal, kata Citra, menurut laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat tujuh korban pemaksaan aborsi di tahun 2020. Sementara, menurut Komnas Perempuan, terdapat sembilan korban. 

"Sebagai upaya perlindungan,  perlu ada aturan yang menegaskan “tidak memidana” korban pemaksaan aborsi baik karena kedaruratan medis maupun kehamilan akibat kekerasan seksual," ujar Citra.