sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengenang Dwi Koendoro pencipta komik Panji Koming

Komik Panji Koming tidak lagi terbit setelah 40 tahun mengisi kolom hiburan di Kompas.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 21 Nov 2019 14:25 WIB
Mengenang Dwi Koendoro pencipta komik Panji Koming

Puluhan karya komik legendaris Panji Koming tengah dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, 19–24 November 2019. Komik-komik karya mendiang Dwi Koendoro Brotoatmodjo itu menyajikan sejumlah parodi dan sindiran terkait peristiwa-peristiwa aktual yang telah terjadi.

Selain digelar untuk mengenang komikus Dwi Koen yang meninggal pada 22 Agustus 2019 lalu, pameran bertajuk “Parodi Priyayi Panji Koming” ini juga menjadi semacam kenang-kenangan bagi publik. 

Sebab komik Panji Koming tidak terbit lagi setelah selama 40 tahun mengisi kolom hiburan di harian Kompas edisi Minggu.

Komik-komik strip Panji Koming tak sedikit yang memuat kritik sosial lewat gambar dan kata. Pada komik bertanggal 17 Juli 1983 misalnya, menyinggung tentang Petrus (penembak misterius) yang marak di Indonesia pada 1982–1985. 

Komik-komik strip Panji Koming tak sedikit yang memuat kritik sosial lewat gambar dan kata. Pada komik bertanggal 17 Juli 1983 misalnya, menyinggung tentang Petrus (penembak misterius) yang marak di Indonesia pada 1982–1985.Alinea.id/Robertus Roni

Melalui goresan tangan Dwi Koen, isu kelam tersebut dikemas secara terselubung dengan menampilkan karakter Denmas Aryo Kendor sebagai parodi atas wajah pejabat yang munafik, gila hormat, dan korup.

Dalam komik itu, Dwi Koen tampak menyisipkan pesan bahwa seorang yang tampak bagus pada penampilan luar, belum tentu bersih dan baik budinya.

Dalam komik lainnya edisi 23 Oktober 2016, Dwi Koen menyalurkan keprihatinan terhadap arah kurikulum pendidikan yang dikembangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kebijakan terbaru yang santer diberitakan kala itu ialah rencana Kemendikbud menerapkan pendidikan karakter kepada siswa-siswi sekolah dengan penambahan kegiatan kesiswaan yang bersifat kokurikuler.

Pilihan kata dalam komik Panji Koming terkesan sederhana, jelas, dan kerap lugas menyampaikan sindiran. Dengan menampilkan tokoh Pailul yang berkarakter cerdik dan berani mengambil risiko, Dwi Koen menyisipkan kritik pendidikan di Indonesia yang cenderung terburu-buru dan hanya berfokus mengurusi masalah teknis ketimbang akhlak dan budi pekerti.

Teladan Komikus Muda

Tommy Thomdean, kartunis yang biasa mengisi ilustrasi di harian Kompas memiliki kesan mendalam terhadap sosok Dwi Koen. Karya komik Panji Koming yang dihasilkannya, bagi Tommy, menarik dan berbobot dengan kelugasan sindiran terhadap kondisi bangsa mutakhir. Menurut Tommy, hal itu didasari cara dan proses kreatif Dwi Koen yang konsisten dan penuh ketelitian.

“Pak DK (Dwi Koen) selalu menekankan agar isi kritik dalam komiknya berbobot. Dia guru buat kami, dan dia konsisten berkarya setiap minggu,” ujar Tommy kepada Alinea.id pada Rabu (20/11).

Kecerdasan Dwi Koen itu tampak kuat dengan pengemasan isu bangsa dengan tokoh-tokoh unik dalam latar Kerajaan Majapahit sekitar 500 tahun silam. Selain Denmas Aryo Kendor yang mewakili tokoh pejabat, ada karakter kerakyatan Panji Koming yang lugu sebagai representasi rakyat kebanyakan yang miskin, tak berpendidikan, dan kerap dikibuli. Ada juga Pailul, Dyah Gembili, dan Ni Woro Ciblon.

Tommy menuturkan, Dwi Koen menjalankan metode tertentu dalam menciptakan komik yang dimuat setiap minggunya. Disiplin itu bertahap meliputi observasi dan menentukan isu atau permasalahan, verifikasi atas isu, dan membuat kritik melalui humor dalam permainan kata seperti metafora.

Dwi Koen menjalankan metode tertentu dalam menciptakan komik yang dimuat setiap minggunya. Disiplin adalah kuncinya.Alinea.id/Robertus Roni

Kreativitas tersebut dipandang Tommy patut dijadikan pedoman bagi kartunis-kartunis muda. Terlebih, kata dia, berlimpahnya informasi akhir-akhir ini rentan memunculkan kabar bohong atau hoaks. Sebagai kartunis, Tommy pun mengembangkan cara kerja serupa dengan mengupas persoalan aktual terlebih dahulu sebelum dituangkan dalam karya kartun.

“Kartun atau komik strip di koran itu bukan dibuat berupa gambar semata, tapi kita harus cari tahu isunya lebih dulu. Bisa baca berita, nonton televisi, diskusi dengan wartawan. Dari situlah sumber idenya,” kata Tommy.

 

Jurnalisme Komik yang Manual

Sementara itu, M. Syaifuddin Ifoed, kartunis yang kenal dekat dengan mendiang Dwi Koen, memetik banyak pembelajaran secara langsung semasa bekerja bersama-sama di majalah Humor pada 1980–1990-an.

Majalah Humor yang didirikan pada 1981 oleh Dwi Koen memuat beberapa komik strip, antara lain komik dengan tokoh “Sawung Kampret” dan “Setrum”.

Kala itu, kata Ifoed, Dwi Koen lebih sering menggambar komik di rumah ketimbang di kantor redaksi majalah Humor.

“Ide cerita komik gambaran Pak DK khas sekali, karakternya lucu dan menarik. Saya banyak belajar anatomi kartun dari komik Panji Koming. Banyak sekali yang meniru gambarannya,” kata Ifoed, yang kini bekerja sebagai kartunis di surat kabar Indopos.

Sebagai kreator komik strip “Setrum” di majalah Humor yang terbit hingga 1997 silam, Ifoed menirukan teknik Dwi Koen dalam membuat anatomi organ tubuh, seperti tangan dan kaki.

Dwi Koen pernah dilihatnya menggambar secara manual menggunakan pensil dan kuas bertinta hitam, termasuk menuliskan kata-kata dalam cerita komik. Cara itu juga dilakukan Dwi Koen dalam mencipta komik Panji Koming yang terbit di Kompas.

Ide cerita komik gambaran Pak DK dinilai khas karakternya lucu dan menarik.Alinea.id/Robertur Roni

Namun, kata Ifoed, sejak sekitar 2010 pembuatan komik Panji Koming sudah dilakukan dengan bantuan media digital. Cara ini, kata dia, dilakukan sesudah penyakit stroke membuat kesehatan Dwi Koen menurun.

Wafat dalam usia 78 tahun, Dwi Koen tetap produktif hingga menjelang akhir hayatnya. Komik Panji Koming yang terbit pada 18 Agustus 2019 merupakan karya terakhirnya yang dipersembahkan sebagai pelepasan atas meninggalnya P. Swantoro, wartawan senior Harian Kompas. Kurang dari sebulan, Dwi Koen menyusul kepergian P. Swantoro.

Dalam komik tersebut, Dwi Koen seakan merangkum karya mereka selama puluhan tahun dalam dunia jurnalisme. Melalui percakapan Panji Koming dan Pailul yang sedang memahat tulisan di atas batu, kita diingatkan tentang pentingnya menulis sejarah sebagai sebuah aktivitas yang menyenangkan.

Begini dialognya:

Panji Koming: Sedang menulis apa, Lul?

Pailul: Sejarah

Panji Koming:  Sejarah Majapahit?

Pailul: Bukan, ini sejarah lima abad mendatang.

Panji Koming: Tentang apa, Lul?

Pailul: Tentang janji untuk tidak melupakannya. Asyik lho menulis sejarah...

Berita Lainnya
×
tekid