sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Potret kebijakan stunting dan pertaruhan Indonesia Emas 2045

Kebijakan penanganan stunting mesti terukur demi menciptakan SDM unggul jelang Indonesia Emas 2045

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 27 Nov 2023 16:01 WIB
Potret kebijakan stunting dan pertaruhan Indonesia Emas 2045

Sebuah video viral menggambarkan menu Program Pemberian Tambahan Makanan (PMT) Kota Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Seorang perempuan menarasikan menu PMT yang hanya terdiri dari dua potong tahu dan kuah serta tiga potong perkedel. Makanan tersebut dikemas dalam wadah kecil, dengan stiker Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok Mohammad Idris dan Imam Budi Hartono tertempel di tutupnya. 

Selain menu tersebut, warga Depok juga melaporkan, menu lain. Di antaranya, bubur, bola-bola singkong dan kentang, makaroni telur puyuh, nugget tempe, dan bola-bola nasi wortel. Usut punya usut, makanan itu termasuk dari Program PMT Kota Depok, yang semula bakal dilaksanakan sejak 10 November hingga 7 Desember 2023. Sasaran program ini ialah balita berusia 6 sampai 59 bulan dengan kategori gizi kurang, berat badan kurang, tengkes (stunting), dan berat badan stagnan atau tidak naik. 

Menu kelewat sederhana ini lantas menuai kritik masyarakat. Bagaimana tidak, dengan anggaran jumbo dan alokasi dana untuk makanan setiap harinya yang tidak sedikit, makanan yang diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok jauh dari pemenuhan standar kebutuhan gizi. 

“Anakku tiap hari dikirimi makanan pakai stoples yang ada stiker Pak Wali begini. Kemarin dapat nugget, ekspektasi kita nugget ayam, ternyata tempe. Terus kemarin-kemarinnya sup tahu putih sama sawi ijo. Bener-bener tahu direbus doang, kirain tengahnya ada adonan baksonya,” kisah Nurul Kurnia Sari (30), kepada Alinea.id, Jumat (24/11). 

Ibu tiga anak itu semakin kaget ketika menu-menu yang diterima anaknya viral di media sosial. Bahkan, ia tak menyangka bahwa alokasi makanan untuk satu hari itu sebesar Rp18.000. Padahal, menurutnya, jika dikalkulasikan menu yang diterimanya hanya menghabiskan dana di kisaran Rp9.000 atau Rp10.000. 

Sebagai informasi, untuk pelaksanaan program ini Pemkot Depok menggelontorkan dana sebesar Rp4,9 miliar. Dengan alokasi dana makanan harian senilai Rp18.000, termasuk pajak, biaya kemasan dan ongkos kirim. Sementara itu, dana ini diperuntukkan bagi 9.882 balita selama 28 hari program berlangsung. 

“Bukan apa-apa. Tapi kalau menunya kayak gitu, saya sebagai orangtua juga masih bisa ngasih. Bahkan yang lebih bergizi dari itu,” ujarnya. 

Ia mengaku semakin kesal saat kader Posyandu yang mendatangi rumahnya bilang kalau anaknya kurang gizi karena berat badannya kurang. Menurut Nurul, dibanding anak pertama dan ketiga, anak tengahnya memang relatif kurus karena sulit makan. Meski begitu, dia berani menjamin jika gizi putrinya itu tercukupi. 

Sponsored

“Katanya (kader Posyandu) terlalu kurus nih anaknya, kurang gizi. Padahal saya belum lama ini ke dokter spesialis anak dan dokternya enggak bilang apa-apa. Memang kurus, tapi enggak sampai kurang gizi,” sesal warga Cinere ini. 

Setelah mengundang banyak perdebatan, Pemkot Depok akhirnya menghentikan Program PMT ini selama tiga hari, dimulai sejak Jumat (24/11). Upaya ini dilakukan menyusul banyaknya masukan dari berbagai pihak, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok hingga masyarakat. 

"Dalam waktu tiga hari kedepan, Dinkes, Puskesmas, dan lintas sektor pelaksanaan kegiatan akan melakukan evaluasi pemberian PMT lokal, edukasi dan pemberdayaan," tutur Kepala Dinkes Kota Depok, Mary Liziawati kepada Alinea.id, Jumat (24/11). 

Evaluasi yang akan dilakukan meliputi pemantauan kenaikan berat badan balita sasaran, penguatan sosialisasi kepada masyarakat dan kader serta tetap melakukan edukasi Gizi Seimbang dan Pemberian Makan bagi Anak dan Balita (PMBA) kepada pengasuh atau ibu balita. Juga, pemantauan pertumbuhan balita sasaran serta memperbaiki mekanisme pelaksanaan di lapangan. Dengan jeda ini maka akhir kegiatan rangkaian PMT Lokal ini yang semula 7 Desember 2023 akan mundur menjadi 11 Desember 2023. 

“Program PMT lokal tidak dihentikan sepenuhnya. Karena bermanfaat, khususnya untuk balita yang berisiko stunting, balita dengan gizi kurang, balita dengan berat badan kurang, atau berat badan tidak naik,” tegasnya. 

Terlepas dari itu, capaian Depok terkait penanganan stunting sebenarnya sudah cukup bagus, karena prevalensi stunting di kota itu hanya sebesar 12,6% pada 2022. Lebih rendah dari target nasional yang sebesar 14% pada 2024. Sementara berdasar data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) 2022, prevalensi stunting nasional ada di angka 21,6%. 

Belum fokus pada pencegahan

Namun, dengan viralnya menu PMT Depok yang kelewat sederhana ini dapat menjadi satu potret penanganan stunting yang tidak cukup serius. Seharusnya, untuk mencapai target penurunan stunting di tahun 2024 yang sebesar 14%, pemerintah harus menetapkan target ambisius dan regulasi baru. Upaya ini harus dilakukan karena Indonesia setidaknya harus menurunkan prevalensi stunting sebesar 7,6% per tahun. 

Stunting kalau kita lihat dari angkanya, bukan hanya orang miskin yang kena. Yang mengalami stunting juga keluarga kelas menengah, karena pola makan yang buruk, kemudian mereka tidak tahu bagaimana memenuhi gizi, akibatnya ini akan membahayakan Indonesia di masa yang akan datang,” kata Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani beberapa waktu lalu. 

Ilustrasi anak penderita stunting. Alinea.id/Firgie Saputra.

Menurutnya, dengan menambah alokasi anggaran kesehatan dari sebelumnya hanya 3% menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebenarnya sudah memberikan awal yang baik untuk mewujudkan program penanganan stunting. Sayangnya, aturan terkait kesehatan, termasuk penanganan stunting lebih banyak dibuat dengan mendasarkan saat setelah kejadian, seperti setelah orang sakit atau setelah anak ketahuan mengalami stunting. 

Padahal, sebetulnya yang lebih penting, kebijakan berfokus pada pencegahan. Dalam hal penanganan stunting, pemerintah bisa membuat kebijakan terkait pemenuhan gizi pada ibu hamil sampai periode setelah melahirkan, hingga anak berusia tiga tahun. 
“Ini (stunting) sudah sangat mengkhawatirkan, maka memang perlu ada policy-policy yang harus diubah,” tegasnya. 

Soal kebijakan, pemerintah pusat dan daerah nampaknya perlu memiliki peta jalan yang jelas terkait penanganan stunting, baik untuk jangka waktu pendek, menengah, hingga panjang. Sebab, dengan peta jalan, pemerintah pusat dan daerah dapat lebih fokus untuk mencapai target-target yang sudah dimuat di dalam dokumen itu. 

Selain itu, melalui peta jalan, pengamat kebijakan Trubus Rahardiansah juga menilai, pemerintah pusat dan daerah bisa sekaligus menentukan langkah untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum dalam realisasi anggaran penanganan stunting. 

“Selama ini belum ada aturan yang jelas terkait pengawasan dan penegakan hukum. Dengan penguatan dua hal ini, kalau ada penyimpangan atau penyalahgunaan anggaran, bisa dilakukan audit serta penegakan hukum oleh aparat hukum. Jadi anggarannya bisa tepat sasaran dan efektif,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (24/11). 

Terkait pengawasan, pemerintah bisa melibatkan masyarakat untuk menjalankan fungsi ini. Hal ini juga menjadi upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait permasalahan stunting. “Tapi yang paling penting adalah pemerintah harus membangun kesadaran masyarakat untuk hidup sehat,” imbuh pengajar di Universitas Trisakti itu. 

Fokus para capres

Pentingnya isu stunting pun menjadi fokus utama tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden 2024. Hal ini terlihat dari janji-janji yang mereka buat untuk upaya penurunan prevalensi stunting. 

Paslon nomor urut 1 misalnya. Dalam hal penurunan tengkes, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), bakal melibatkan peran PKK dan posyandu sebagai tonggak utama. Selain itu, Anies juga menilai perlunya upaya penanganan stunting sejak awal, yakni saat ibu hamil dan bahkan ketika perempuan belum menikah. 

“Ada guideline dari pusat, apa yang harus dibereskan dari stunting. Kemudian kesehatan ibu hamil, ini semua saat ini tidak ada. Insyaallah kebijakan yang kami lakukan justru mengembalikan itu semua,” ujarnya, dalam Dialog Terbuka Muhammadiyah, Rabu (23/11). 

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, berencana mengeluarkan tiga kartu sakti untuk mengatasi masalah menahun ini: Kartu Anak Sehat, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Sehat Lansia. “Kartu Anak Sehat ini untuk pencegahan stunting,” ungkap Gibran Rakabuming Raka, di depan konstituen, di Gelora Bung Karno, Oktober lalu. 

Selain kartu, Prabowo-Gibran juga bakal menjamin pemenuhan gizi anak dengan pembagian makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren. Kemudian juga memberikan bantuan gizi untuk balita dan ibu hamil. 

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Di sisi lain, pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berjanji untuk menurunkan angka stunting di bawah angka 9% di akhir kepemimpinannya. Untuk mencapai target itu, Paslon nomor urut 3 ini menjanjikan pemberian dukungan gizi dan akses layanan kesehatan kepada perempuan selama masa kehamilan dan menyusui. Selain itu, Ganjar-Mahfud juga bakal menyosialisasikan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif sampai bayi menginjak usia 6 bulan, setelahnya bayi bisa diberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) sehat untuk mendukung pertumbuhan bayi. 

“Pencegahan stunting sangat penting. Karena biaya pencegahan stunting lebih murah dan dampaknya akan lebih terkendali, daripada apabila sudah terjadi stunting,” ungkap Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Siti Rahmayati, Jumat (24/11). 

Melihat pelbagai visi dan misi dari ketiga Capres-Cawapres ini, Ekonom Senior INDEF Aviliani bilang, janji-janji itu belum cukup kuat untuk bisa mengurangi angka stunting secara signifikan dan mewujudkan mimpi Indonesia Emas 2045. Sebab, kebijakan-kebijakan yang dipaparkan masih bersifat populis dan belum fokus. 

“Harus berbicara soal lima, sepuluh, bahkan dua puluh lima tahun ke depan di mana kita punya struktur sumber daya manusia yang lebih baik,” katanya. 

Sebagai contoh, untuk mewujudkan generasi Emas yang bebas tengkes di 2045 nanti, kebijakan harus difokuskan pada perwujudan SDM unggul, dengan dimulai dari kampanye hidup sehat. Hal ini menjadi penting, khususnya bagi wanita, karena untuk melahirkan anak yang sehat, pemenuhan gizi dan penerapan pola hidup sehat harus dilakukan jauh sebelum perempuan tersebut menikah dan hamil. 

Berikutnya, kebijakan harus difokuskan kepada perempuan yang sudah menikah dalam memasuki periode kehamilan. Pada masa ini, sangat penting bagi ibu hamil untuk memenuhi asupan gizinya. 

“Dana stunting itu kebanyakan jumlahnya tidak terlalu besar, kemudian juga tidak bisa sampai lahir. Harusnya, dari masa kehamilan sampai anak itu berusia tiga tahun itu terus mendapatkan gizi, sehingga bisa dipantau secara jelas bahwa mereka tidak terkena stunting,” jelas Aviliani. 
 

Berita Lainnya
×
tekid