Sekitar 60-65% konsumsi batu bara dunia ada di China dan India. Sumber energi di kedua negara tersebut masih mengandalkan batu bara lantaran membutuhkan pasokan yang murah dan mudah.
Dengan memanfaatkan energi yang murah, terang eks Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, produk-produk yang dihasilkan India dan China lebih kompetitif dan bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri lainnya.
"India-China butuh energi murah agar produk bisa bersaing di luar. Mereka tidak akan investasi lagi di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di luar China," paparnya dalam "PGN Energy Economic Outlook 2022", Rabu (12/1).
Meski sudah tidak membangun PLTU di luar negeri, Arcandra berkeyakinan, terjadi penambahan signifikan di China. Imbasnya, permintaan batu bara bakal tinggi pada 2022.
Dia pun memproyeksikan harga batu bara tahun ini di atas US$70 per ton. Besaran harga dipengaruhi kemungkinan permintaan yang lebih tinggi daripada prapandemi, khususnya PLTU baru yang masuk pasar China.
Harga batu bara, sambung Arcandra, juga akan sangat dipengaruhi keberhasilan dunia dalam mengontrol pandemi. Lalu, pemanfaatan PLTU yang masih di China bakal berdampak pada tingginya kebutuhan.
"Faktor lain yang tentukan adalah hubungan dagang antara China dan Australia, trigger energi krisis di Eropa. China enggak mau nerima dan beli coal dari Australia, terjadi shortage (kekurangan)," ucapnya.
Mulanya, Kanada dan Amerika Serikat (AS) menyuplai batu bara ke Eropa. Lantaran China kekurangan pasokan, mereka akhirnya menjual batu bara ke "Negeri Tirai Bambu". Kekurangan pasokan ini membuat harga batu bara melambung hingga di atas US$200 per ton.
"Faktor lain, tergantung bagaimana negara produsen menaikkan produksi secara cepat," tutup Arcandra.