close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sebuah tanker saat berlayar melintasi Selat Hormuz. Foto diambil pada 21 Desember 2018. REUTERS/Hamad I Mohammed
icon caption
Sebuah tanker saat berlayar melintasi Selat Hormuz. Foto diambil pada 21 Desember 2018. REUTERS/Hamad I Mohammed
Peristiwa
Jumat, 27 Juni 2025 08:24

Yang harus dilakukan jika Iran menutup Selat Hormuz

Indonesia belum sepenuhnya siap jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz dalam konflik melawan Israel.
swipe

Ancaman Iran untuk memblokade Selat Hormuz memicu kekhawatiran global, termasuk bagi Indonesia yang selama ini masih sangat bergantung pada impor minyak mentah. Jalur strategis yang mengangkut sekitar 20% pasokan minyak dunia ini menjadi titik krusial dalam rantai pasokan energi internasional.

Pakar hubungan internasional Universitas Budi Luhur (UBL) Jakarta Andrea Abdul Rahman Azzqy mengatakan Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi potensi gejolak energi global yang akan timbul jika Selat Hormuz benar-benar diblokade oleh Iran. 

“Indonesia belum memiliki cadangan minyak strategis yang memadai. Ketergantungan pada impor minyak mentah masih tinggi, dan belum ada diversifikasi rute maupun mitra suplai energi dari luar Timur Tengah,” jelas Andrea saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (25/6).

Menurutnya, dampak blokade Selat Hormuz bisa sangat terasa dalam bentuk lonjakan harga energi dalam negeri. Apalagi, harga minyak dunia yang Indonesia beli merujuk pada indeks Changi Oil Exchange Rate, yang sangat terpengaruh dinamika pasar global.

“Jika harga naik karena gangguan suplai, maka biaya impor akan melonjak dan ini bisa membebani fiskal nasional. Kita belum siap betul dari sisi integrasi energi dan pemantauan pasokan secara modern menggunakan teknologi seperti IoT (Internet of Things),” tambahnya.

Andrea menambahkan bahwa ancaman penutupan Selat Hormuz seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang. “Indonesia sebagai negara maritim yang ekonominya sedang berkembang harus menjadikan isu ini sebagai momentum untuk mempercepat transisi energi dan memperkuat kerja sama kawasan,” ujarnya.

Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta sepakat dengan pandangan tersebut. Ia menyoroti perlunya koordinasi lintas sektor untuk menjaga stabilitas energi nasional.

“Pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM dan Pertamina, harus jadi garda depan. Tetapi, kita juga perlu keterlibatan aktif dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam menjaga stabilitas ekonomi ketika harga energi melonjak,” kata Achmad kepada Alinea.id.

Menurut Achmad, pelaku industri energi swasta juga harus diajak aktif dalam memperluas investasi pada energi baru dan terbarukan. “Tanpa sinergi antar aktor, kita akan sulit menjaga ketahanan energi saat krisis global seperti ini,” ujarnya.

Ancaman energi global seperti blokade Hormuz juga menuntut keterlibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Achmad menyebutkan bahwa penghematan energi dan pemanfaatan sumber daya lokal bisa menjadi kunci pertahanan di masa krisis.

“Pemda bisa dorong konservasi energi, transportasi publik, dan pembangkit berbasis potensi lokal seperti surya, bioenergi, atau mikrohidro. Masyarakat juga bisa mulai beralih dari energi fosil ke alternatif seperti panel surya rumah tangga,” kata Achmad.

Ancaman blokade Selat Hormuz menjadi pengingat serius bagi Indonesia untuk segera membenahi ketahanan energi nasional. Kesiapan infrastruktur, cadangan strategis, diversifikasi pasokan, hingga partisipasi masyarakat menjadi komponen penting dalam menjaga stabilitas energi ke depan.

 

img
Ikhsan Bilnazari
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan