close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sebuah pom bensin di bilangan Baleendah, Bandung, Jawa Barat./Foto Hanindito Prabandaru/Unsplash.com
icon caption
Sebuah pom bensin di bilangan Baleendah, Bandung, Jawa Barat./Foto Hanindito Prabandaru/Unsplash.com
Peristiwa
Rabu, 08 Oktober 2025 17:00

Kandungan etanol dalam bensin, apa untung-ruginya?

Apakah lebih ramah lingkungan?
swipe

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan, Presiden Prabowo Subianto sepakat mandatori campuran etanol (E10) 10% untuk bahan bakar minyak (BBM). Tujuannya, mengurangi emosi karbon dan ketergantungan terhadap impor BBM.

Kandungan etanol dalam bensin ramai disorot usai pihak penyedia BBM swasta PT Vivo Energy Indonesia atau Vivo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XII DPR di Jakarta pada Rabu (1/10) membatalkan kesepakatan dengan Pertamina Patra Niaga terkait jual-beli bahan bakar murni (base fuel). Alasannya, ada temuan etanol sekitar 3,5% pada hasil uji laboratorium.

Sebelumnya, pada Jumat (26/9), Pertamina Patra Niaga sudah menjalin kesepakatan dengan Vivo. Dalam kesepakatan, Vivo setuju membeli 40.000 barel bahan bakar murni dari 100.000 barel yang diimpor Pertamina Patra Niaga. Pihak Vivo menginginkan, base fuel yang benar-benar murni, tanpa kandungan lain. Termasuk etanol. Sebab, mereka bakal meracik sendiri BBM-nya.

Apa itu etanol?

Menurut Department of Energy Amerika Serikat, etanol adalah cairan jernih dan tidak berwarna, yang dibuat dari berbagai jenis bahan tumbuhan—secara umum dikenal sebagai biomassa. Bahan ini juga dikenal sebagai etil alkohol, alkohol biji-bijian, atau EtOH.

Di Amerika Serikat, sumber bahan baku etanol berasal dari jagung, sedangkan di Brasil berasal dari tebu. Etanol juga bisa dihasilkan dari serpihan kayu atau sisa tanaman.

Proses penyediaan etanol sebagai bahan bakar kendaraan dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, bahan baku biomassa ditanam, dikumpulkan, lalu diangkut ke fasilitas produksi etanol. Di fasilitas itu, bahan baku diolah menjadi etanol, lalu dikirim ke terminal bahan bakar atau pengguna akhir lewat kereta, truk, atau tongkang.

Etanol memiliki angka oktan lebih tinggi dibandingkan bensin, sehingga sering digunakan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar menjadi premium. Angka oktan penting karena mencegah ketukan mesin (engine knocking) dan memastikan kenyamanan berkendara. Bensin dengan oktan rendah biasanya dicampur dengan 10% etanol untuk menapai standar oktan 87.

Namun, etanol mengandung energi per galon yang lebih sedikit dibandingkan bensin, dengan selisih tergantung pada persentase etanol dalam campuran. Etanol terdenaturasi (98% etanol) punya sekitar 30% energi lebih sedikit per galon dibandingkan bensin. Dampak etanol terhadap efisiensi bahan bakar tergantung pada kadar etanol dan apakah mesin kendaraan dioptimalkan untuk bensin atau etanol.

Selain E10, etanol juga tersedia dalam bentuk E85, atau bahan bakar fleksibel, yang bisa digunakan pada kendaraan flex-fuel (bahan bakar fleksibel) yang dirancang untuk beroperasi dengan campuran bensin dan etanol hingga 83%.

“Campuran lain yang dikenal sebagai E15 juga telah disetujui untuk digunakan pada kendaraan ringan dengan model tahun 2001 ke atas,” tulis Department of Energy Amerika Serikat.

Dikutip dari situs Energy Information Administration Amerika Serikat, secara umum ada tiga jenis campuran etanol-bensin yang digunakan, yakni E10, E15, dan E85. E10 adalah bensin yang mengandung 10% etanol, E15 mengandung 15% etanol, dan E85 adalah bahan bakar fleksibel yang bisa mengandung hingga 85% etanol.

Bagaimana pengaruhnya terhadap mesin dan apakah ramah lingkungan?

Dalam penelitian yang dipublikasikan di Journal of Automotive Engineering Education pada Juni 2025, para peneliti dari Fakultas Pendidikan Teknik dan Industri, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menemukan, penggunaan bahan bakar bensin RON 92 yang dicampur dengan etanol, menunjukkan potensi besar untuk meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

“Penambahan etanol berkontribusi pada pengurangan emisi polutan berbahaya seperti karbon monoksida dan hidrokarbon, yang berdampak langsung pada peningkatan kualitas udara,” tulis pada peneliti.

“Selain itu, etanol memiliki angka oktan yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan ketahanan terhadap knocking, memungkinkan rasio kompresi yang lebih tinggi, dan sedikit meningkatkan daya serta torsi pada beberapa kondisi operasi mesin.”

Ilustrasi pengisian BBM./Foto Engin_Akyurt/Pixabay.com

Riset yang dipublikasikan di jurnal Bioinorganic Chemistry and Application pada 2022, melakukan studi eksperimental dilakukan pada mesin bensin kecil dengan piston berlapis nano yang menggunakan campuran etanol-bensin serta oksihidrogen sebagai aditif. Dalam penelitian ini, digunakan tiga campuran etanol dengan volume oksihidrogen yang tetap.

Hasilnya, penambahan etanol dan oksihidrogen mampu meningkatkan efisiensi termal rem hingga 23% pada campuran 15% etanol dan 32% pada campuran 20% etanol. “Peningkatan ini terjadi karena kecepatan nyala yang lebih tinggi dan spektrum nyala yang lebih luas ketika oksihidrogen dan etanol digunakan bersamaan,” tulis para peneliti.

Selain itu, laju pembakaran campuran etanol-bensin meningkat secara signifikan setelah penambahan oksihidrogen. Konsumsi bahan bakar juga menurun secara nyata—antara 5% hingga 28% tergantung pada kondisi beban mesin.

Emisi karbon monoksida berkurang 3% hingga 11% pada berbagai campuran etanol, disebabkan oleh peningkatan volume pembakaran yang lebih sempurna. Konsentrasi hidrokarbon juga menurun hingga 18% pada beban maksimum dan 22% pada beban minimum, berkat reaksi berantai yang diperkuat oleh hidrogen.

“Secara keseluruhan, etanol merupakan bahan bakar bioorganik yang berpotensi besar sebagai pengganti bahan bakar fosil dalam sektor transportasi. Penggunaannya dapat berkontribusi pada dekarbonisasi transportasi dan peningkatan kinerja lingkungan,” tulis para peneliti.

Apakah ada penggunaannya ada efek buruk?

Dikutip dari Antara, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyatakan, mobil-mobil di Indonesia saat ini sudah kompatibel dengan BBM yang mengandung etanol hingga 20%. Namun, pemerintah saat ini masih menetapkan batas campuran etanol sebesar 5%.

Sebab, keterbatasan pasokan bahan baku etanol daam negeri, seperti jagung dan tebu. Apalagi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tak mau kalau harus impor. Menurutnya, ke depan Indonesia diproyeksikan mampu memproduksi 150.000-300.000 kiloliter etanol per tahun dari perkebunan tebu di Marauke, Papua Selatan.

Akan tetapi, apakah penggunaan etanol untuk BBM benar-benar tak ada problem? Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Combustion Engines baru-baru ini mengungkap, penggunaan etanol menimbulkan tantangan teknis, seperti risiko korosi pada sistem bahan bakar, kesulitan menyalakan mesin pada suhu rendah, serta peningkatan emisi nitrogen oksida (NOx) akibat proses pembakaran yang lebih intensif.

“Campuran bahan bakar dengan kadar etanol tinggi, seperti E85 dan E100, dapat meningkatkan daya dan torsi mesin pada kecepatan tinggi. Hal ini disebabkan oleh sifat etanol yang memiliki angka oktan tinggi, densitas lebih besar, dan kandungan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan bensin murni,” tulis para peneliti.

Lebih dari itu, penelitian yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada awal 2022 menemukan, etanol berbahan dasar jagung yang selama bertahun-tahun sudah dicampur dalam jumlah besar ke bensin yang dijual di Amerika Serikat, diduga merupakan penyumbang pemanasan global yang jauh lebih besar daripada bensin murni.

Penelitian ini menemukan, etanol dari jagung berpotensi menghasilkan emisi karbon setidaknya 24% lebih tinggi dibandingkan bensin, terutama karena emisi yang timbul dari perubahan penggunaan lahan untuk menanam jagung, serta proses pengolahan dan pembakarannya.

Sebagai konsekuensi dari kebijakan massifnya penggunaan etanol berbasis jagung, menurut penelitian itu, budidaya jagung meningkat 8,7% dan meluas hingga sekitar 6,9 juta hektare lahan tambahan antara 2008 dan 2016.

Ekspansi ini menyebabkan perubahan besar dalam penggunaan lahan, termasuk pembukaan kembali lahan pertanian yang sebelumnya telah direstorasi atau dimasukkan dalam program konservasi, serta intensifikasi penanaman jagung di lahan yang sudah ada.

Kegiatan pengolahan tanah untuk menanam jagung melepaskan karbon yang tersimpan di dalam tanah, sementara aktivitas pertanian lainnya, seperti penggunaan pupuk nitrogen, juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon di atmosfer.

“Etanol dari jagung bukanlah bahan bakar yang ramah iklim,” ujar asisten peneliti di Pusat Keberlanjutan dan Lingkungan Global, University of Wisconsin-Madison sekaligus penulis utama studi, Tyler Lark, dikutip dari Reuters.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan