sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Memutus dilema harga beras: Mencari titik temu perlindungan petani dan konsumen

Harga beras yang naik sejak tahun lalu perlu distabilikan agar daya beli konsumen terjaga. Catatannya, bagaimana keuntungan petani terjamin.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Rabu, 08 Mar 2023 09:03 WIB
Memutus dilema harga beras: Mencari titik temu perlindungan petani dan konsumen

Penyaluran beras melalui operasi pasar ini, lanjut Maino, menjadi penting karena pada dasarnya permasalahan tingginya harga beras disebabkan oleh minimnya cadangan beras yang dimiliki pemerintah. Pada tahun lalu misalnya, pemerintah lewat Bulog hanya memiliki cadangan beras sekitar 400 ribu ton.

"Psikologis pasar juga bisa melihat bahwa pemerintah tidak memiliki stok, sehingga harga kami lihat tetap bertahan tinggi. Tentu ini ada kaitannya juga dengan penyerapan," katanya.

Karena itu, Bapanas lantas menugaskan kepada Bulog, agar pada semester-I 2023 Bulog dapat bisa menyerap 1,75 juta ton beras atau sekitar 50-70% dari total pengadaan tahun ini. Minimnya cadangan beras pemerintah ini berbanding lurus dengan penurunan stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. 

Selama ini, Pasar Induk Beras Cipinang menjadi parameter pasar beras di seluruh Indonesia. Ketika harga naik, bakal diikuti kenaikan harga di pasar beras lainnya. Demikian pula sebaliknya. Pada Januari-Februari 2023, kata Maino, stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang sempat menyentuh 12.000 ton. Padahal, idealnya pasokan beras di pasar induk ada di 30 ribu ton.

"Ini tentu sangat memprihatinkan. Sehingga menjadikan harga tetap tinggi," tuturnya.

Upaya menstabilkan harga beras melalui Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) hingga SPHP dalam beberapa tahun ini terbukti mampu membuat harga beras tidak bergejolak. Setidaknya sepanjang 2019-2021. Namun, menurut anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) M Husein Sawit, dampak dari stabilnya harga beras tersebut cukup luas.

Bagaimana tidak, keberhasilan menekan perbedaan harga antara harga langit-langit yang saat ini bernama HET (Harga Eceran Tertinggi) dan harga dasar bernama HPP  (Harga Pembelian Pemerintah) atau width of price band ditumpukan sepenuhnya pada instrumen HET yang bersifat mandatory. Berlaku untuk semua pelaku usaha. Jika tidak mematuhi, kata Husein, bisa dijatuhi sanksi. Bahkan sampai penutupan usaha. 

HET beras ditetapkan sejak 2017. Paling tinggi untuk wilayah Maluku dan Papua HET, yakni untuk beras medium Rp10.250 per kg, sedangkan beras premium Rp13.600 per kg. Kemudian untuk wilayah Sumatera lainnya (kecuali Lampung dan Sumatera Selatan), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan HET beras medium Rp9.950 per kg, sedangkan harga beras premium Rp13.300 per kg.

Sponsored

Selanjutnya, wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi sebagai daerah penghasil beras HET beras mediumnya Rp9.450 per kg, sedangkan harga beras premium Rp12.800 per kg.
Sementara HPP menurut aturan sebelumnya ialah sebesar Rp8.300 per kg. Perlu diketahui, saat ini Bapanas sudah menetapkan aturan fleksibilitas HPP beras di harga Rp9.000 per kg di gudang-gudang Bulog.

"Rentang harga yang tipis ini membuat harga stabil hingga perbedaan harga antarwilayah dan antarmusim hilang," kata M Husein Sawit, Jumat (3/3).

Kebijakan dari hulu hingga hilir

Jika instrumen ini diteruskan, dalam jangka panjang diperkirakan bakal semakin memukul pelaku usaha perberasan, salah satunya penggilingan padi. "Untuk jangka panjang, tidak bisa dipertahankan. Kalau ingin dipertahankan, impor dipertahankan, banyak usaha mati, swasta tidak akan bergerak, usaha penggilingan padi terkena dampak luas akibat ini," lanjutnya.

Selain itu, kata Husein, rezim KPSH dan SPHP dengan instrumen utama operasi pasar telah melanggar prinsip-prinsip stabilisasi harga sekaligus juga merusak mekanisme pasar. Pasalnya, operasi pasar dilakukan saat panen. Lewat cara ini, harga beras berhasil dikendalikan pemerintah, namun di saat yang sama harga gabah di tingkat petani akan rendah.

"Kemudian yang terjadi pengusaha penggilingan memaksa petani untuk menjual berasnya di harga murah. Kalau begitu petani tidak mau jual. Mereka lebih milih buat mencukupi kebutuhan pangan rumah tangganya," jelas Husein.

Padahal, pasokan beras paling banyak ada di petani. Pemerintah lewat Bulog tidak akan mampu menggantikan swasta. Karena kemampuan Bulog terbatas. Sampai saat ini sekitar 94% produksi beras domestik diserap oleh swasta.

Karena outlet penyaluran pasti beras tidak ada, Bulog pun menekan pengadaan. Ketika terjadi gejolak harga dan pemerintah tidak memiliki memiliki stok memadai, kata Husein, impor akan jadi jalan keluar. "Kebijakan dengan rentang harga beras yang sempit ini membuat pemerintah terjebak pada impor beras," kata Husein.

Agar ini tidak terulang, Husein mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan price band diperlebar antara 10-13% dari saat ini hanya 3%. Meskipun stabilitas harga beras lebih rendah, biaya stabilisasi harga lebih murah. Kejatuhan harga gabah di bawah HPP juga rendah. Pemerintah pun hanya perlu menguasai stok yang wajar.

"Dari HET juga perlu disesuaikan, karena HET yang berlaku sekarang sudah terlalu lama," imbuhnya.

Tidak hanya itu, Husein juga menyarankan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan HET yang bersifat mandatory. Pun demikian dengan HPP yang sebaiknya bisa dipertimbangkan untuk diterapkan secara multikualitas. Di saat yang sama, pemerintah pun perlu memperluas Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan beras kualitas premium.

Foto Pixabay.com.

Pada kesempatan yang sama, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai, dibandingkan KPSH maupun SPSH, outlet penyaluran beras Bulog lebih efektif ketika Raskin/Renstra masih ada. Pada 2014-2016 misalnya, Bulog menyalurkan 3.295.022 ton beras. Dari jumlah itu, 2.919.739 ton beras di antaranya terserap untuk Raskin/Rastra.

Efektifnya penyaluran ini, kata dia, tak lain karena pada saat itu kebijakan perberasan terintegrasi hulu-tengah-hilir. Kewajiban pengadaan di hulu yang besar oleh Bulog dijamin oleh kepastian outlet penyaluran pasti beras di hilir.

"Ketika Raskin/Rastra diubah jadi Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), outlet ini hilang. Sebagai gantinya, pemerintah menciptakan kebijakan KPSH, yang secara prinsip tidak ada bedanya dengan SPHP beras saat ini," jelasnya.

Ketika KPSH dan SPHP dijadikan outlet utama penyaluran beras Bulog, kata Khudori, ini menjadi krusial. Sebab, jelas dia, KPSH dan SPHP dengan instrumen utama operasi pasar keberhasilannya sangat bergantung pada kondisi pasar. Karena sifatnya yang kondisional, volume operasi pasar tidak pernah ditargetkan. Ketika volume operasi pasar ditargetkan, bahkan dengan adanya target harian, jelas Khudori, akan membuat penetrasi pasar lemah.

Hal ini tercermin dari volume KPSH rentang 2018-2022 yang hanya 843.646 ton per tahun atau hanya 28,8% dari rerata penyaluran Raskin/Rastra sebesar 2.919.739 ton beras per tahun. Turunnya penyaluran ini lantas diikuti oleh penurunan pengadaan beras Bulog dari rata-rata 2,16 juta ton jadi 0,811 juta ton.

Sementara itu, ketidakpastian KPSH sebagai outlet penyaluran beras Bulog, jelas Khudori, tampak dari volume beras yang fluktuatif: hanya 544.723 ton beras pada 2018 dan mencapai 1.261.215 ton beras pada 2022. 

"Ketika SPHP/KPSH yang tidak pasti dijadikan outlet utama penyaluran beras Bulog, ketidakpastian itu ditransfer ke Bulog dalam berbagai bentuk risiko. Salah satunya risiko keuangan," kata dia.

Untuk mengatasi hal ini, Khudori  menyarankan agar pemerintah mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan hulu-tengah-hilir. Caranya, dengan mewajibkan penerima BPNT yang mendapatkan bantuan Rp200 ribu untuk membeli beras Bulog dalam jumlah tertentu. Misalnya, 5 kg per bulan per keluarga. Dengan harga Rp10.000/kg hanya keluar uang Rp50.000.

Ilustrasi penjualan beras di ritel. Foto Reuters.

Menurutnya, jumlah ini cukup moderat. Karena penerima BPNT masih punya Rp150 ribu sisanya untuk membeli berbagai pangan pokok, seperti telur, minyak goreng atau gula. Agar preferensi konsumsi beras penerima BPNT tetap terjaga, kata dia, Bulog bisa diwajibkan menyediakan beras lebih dari satu kualitas.

"Selain itu, Bulog bisa diwajibkan menjual beras dengan harga yang sama di seluruh Indonesia," lanjutnya.

Hal ini bisa menjadi opsi untuk menyediakan pangan dengan harga lebih terjangkau, khususnya bagi masyarakat di luar Jawa. Sebab, selama ini harga pangan, termasuk beras, di luar Jawa selalu lebih mahal ketimbang Jawa. Ini menyebabkan nilai tukar penerima BPNT di luar Jawa jauh lebih rendah ketimbang mereka yang ada di Jawa.

Di saat yang sama, sebagai upaya stabilisasi stok dan harga beras, menurut Khudori, Bapanas juga bisa mengembangkan outlet lain untuk golongan anggaran yang lebih luas, seperti PNS/ASN, TNI maupun Polri, serta pegawai BUMN. "Mereka-mereka ini bisa diwajibkan membeli beras Bulog," sarannya.


Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Setali tiga uang, upaya ini juga bisa mendorong pemerintah untuk mengisi CBP dengan beras kualitas lainnya, selain medium. Sejak tahun 1970-an sampai sekarang, CBP hanya diisi beras kualitas medium yang digunakan untuk operasi pasar dan berbagai bantuan bencana. Padahal, dengan cuma satu jenis kualitas beras, intervensi pasar seringkali tak efektif.

Melalui berbagai upaya ini, dia menilai, kebijakan perberasan bisa lebih terintegrasi. Dus, secara tidak langsung pemerintah juga akan punya instrumen stabilisasi harga yang langsung tersambung ke konsumen akhir. Ketika ada gejolak harga beras, pemerintah bisa menambah volume bantuan BPNT dalam bentuk wajib membeli beras Bulog.

"Instrumen tidak langsung ini terbukti efektif mengendalikan harga beras dan inflasi, seperti saat Raskin/Rastra masih ada. Ini juga akan menekan aneka potensi penyimpangan seperti pada operasi pasar Bulog saat ini," jelas dia.

 

Berita Lainnya
×
tekid