sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Apa penting Erick Thohir minta BUMN setor dividen jumbo?

Rencana Erick Thohir memberi batas minimal dividen BUMN kepada negara bisa berdampak pada berkurangnya kualitas pelayanan perusahaan BUMN.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Jumat, 06 Mar 2020 07:07 WIB
Apa penting Erick Thohir minta BUMN setor dividen jumbo?

Akselerasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus menjadi sorotan berbagai pihak semenjak Erick Thohir menjabat sebagai menteri pada pertengahan tahun lalu. Gebrakan yang dilakukan Erick dalam tubuh Kementerian BUMN kerap dibingkai media sebagai sesuatu yang kontroversial dan layak dibicarakan.

Terbaru, Erick mematok batas minimum setoran dividen perusahaan BUMN kepada negara. Kebijakan ini nantinya menjadi dasar perhitungan besaran tantiem (bagian keuntungan yang dibagikan kepada karyawan) yang diterima jajaran direksi dan dewan komisaris perusahaan pelat merah.

“Nanti perusahaan BUMN yang untung kami akan cap (patok) minimum dividen berapa. Apakah 30%, apakah berapa persen, nanti ada formulanya, semua terukur. Ini mau kami pastikan, jangan sampai kontribusi ke negara turun,” kata Erick di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (21/2).

Hal tersebut dilakukan guna menggenjot kontribusi royalti dan pajak dividen BUMN dari Rp400 triliun pada 2018 menjadi Rp700 triliun pada 2024. Menurut Erick, target ini hanya bisa dicapai dengan cara menggenjot laba bersih BUMN dan menambah persentase dividen untuk negara.

Kini, formula batas dividen minimum tersebut tengah digodok Kementerian BUMN. Belum pasti kapan formula tersebut bakal diumumkan kepada khalayak.

Di sisi lain, menteri yang lebih senang dipanggil ‘Mas Erick’ ini juga berencana untuk memasukkan sejumlah perusahaan pelat merah ke lantai bursa. Strategi ini dilakukan, kata dia, guna mendorong praktik tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) di tubuh BUMN.

Opsi lain seperti buyback saham (membeli kembeli saham perusahaan) dan privatisasi BUMN (melepas perusahaan kepada swasta) juga sempat disinggung Erick dalam beberapa kesempatan.

“Kami terus mendorong good corporate governance, karena itu kami juga dengan kondisi bursa seperti ini, kami coba masukin beberapa perusahaan BUMN ke bursa tahun ini. Kita juga sedang mempelajari buyback saham,” tutur Erick saat disambangi Alinea.id di Graha Tribrata, Jakarta Selatan, Rabu (4/3).

Sponsored

Wacana privatisasi pernah juga disampaikan Wakil Menteri BUMN I Budi Gunadi Sadikin (BGS) dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI beberapa waktu lalu. Langkah privatisasi ini, kata BSG, diambil untuk melakukan efisiensi terhadap perusahaan pelat merah yang secara kinerja kurang maksimal.

Menurut BGS, saat ini Kementerian BUMN masih menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) baru terkait pelimpahan wewenang untuk melakukan merger dan likuidasi terhadap perusahaan pelat merah yang berkinerja buruk tersebut. Dalam peraturan ini, sambung BGS, ada opsi untuk privatiasasi atau melepas perusahaan BUMN kepada pihak swasta.

“Opsinya yang sedang dikaji, bisa dikonsolidasikan jadi satu (merger), bisa didivestasikan,” ujar BGS seperti dinukil Tempo.co, Senin (24/2).

Alinea.id telah menghubungi BGS untuk mendapatkan informasi terperinci terkait pernyataannya tersebut. Namun hingga naskah ini diterbitkan, BGS hanya menjawab melalui pesan singkat.

“Sebaiknya kontak Arya (Staff Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga),” tulis dia.

Arya saat dikonfirmasi juga hanya menjawab dengan seadanya. Menurut dia, hingga saat ini belum ada rencana untuk melakukan privatisasi perusahaan pelat merah seperti yang disampaikan BGS.

“Siapa yang mau privatisasi BUMN? Belum ada agenda tersebut,” terangnya melalui pesan WhatsApp.

Menteri BUMN Erick Thohir (tengah) dengan Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin (kiri) dan Kartiko Wirjoatmodjo (kanan). Erick meminta perusahaan pelat merah memberikan setoran dividen lebih besar untuk negara. / Facebook @KementerianBUMNRI

Respons positif

Terlepas dari silang pendapat antara Arya dan BGS itu, beberapa rencana yang dilontarkan Erick terkait optimalisasi BUMN ternyata cukup mendapatkan tanggapan positif dari sejumlah petinggi perusahaan pelat merah. Tanggapan positif ini datang untuk rencana Erick terkait batasan minimum setoran dividen BUMN kepada negara.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. alias Bank BRI, Sunarso mengaku, sangat mendukung rencana menteri BUMN untuk meminta dividen besar kepada perusahaan pelat merah. Menurut dia, apapun yang sudah menjadi key performance indicators (KPI) dari menteri BUMN perlu mendapatkan dukungan penuh dari semua jajaran dan anak buahnya.

“Itu ‘kan KPI-nya Pak Menteri. Dan kami anak buahnya Pak Menteri. Dan kami harus support KPI-nya Pak Menteri,” katanya kepada Alinea.id usai acara diskusi bersama sejumlah pengusaha di Menara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di kawasan Kuningan, Jakarta, pekan lalu.

Untuk itu, sambung dia, saat ini BRI tengah berusaha keras untuk meningkatkan laba bersih agar permintaan dividen besar tersebut tidak mengganggu keuangan perusahaan.

“Ya pasti didukung. Makanya kami harus kerja keras untuk meningkatkan laba, meningkatkan profitabilitas sehingga dividen pay out ratio kami bisa naik tanpa menggangu permodalan kami,” katanya sembari melangkah ke mobil.

Akan tetapi, optimisime yang ditunjukkan Sunarso ini jelas bukanlah perkara mudah bagi perseroan. Pasalnya, saat ini dunia ekonomi sedang dihadapkan dengan sejumlah persoalan global, termasuk dampak yang mungkin disebabkan oleh wabah coronavirus (COVID-19).

Salah satu problematika yang amat dikhawatirkan ialah dampak coronavirus terhadap rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Untuk itu, pada kesempatan berbeda, Sunasro menyampaikan bahwa pihaknya kini tengah bersiap melakukan stress test guna menjawab tantangan tersebut.

“Kami siap dan sigap dan melalui gejala fenomena sudah kita siap dengan stress testing. Jadi optimistis hadapi masalah dan tantangan melalui kolaborasi dan sinkronisasi kebijakan,” terang dia usai pertemuan perbankan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamis (5/3).

Emiten bersandi saham BBRI ini sendiri merupakan salah satu bank Himbara (Himpinan Bank Milik Negara) dengan setoran dividen terbesar sejak beberapa tahun belakangan.

Berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 2019, BRI telah menyetor dividen sekitar Rp11,7 triliun untuk negara atau 60% dari total dividen yang diatribusikan kepada seluruh pemegang saham Rp20,6 triliun.

Setali tiga uang dengan BRI, PT Pertamina (Persero) juga mengaku cukup mendukung langkah Erick Thohir meminta dividen besar kepada perusahaan BUMN. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman mengatakan, pihaknya bakal menyerahkan sepenuhnya kewenangan pembagian dividen kepada pemilik saham.

“Terkait dengan dividen, ini merupakan kewenangan pemegang saham. Pertamina selaku BUMN akan menjalankan keputusan yang diatur dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham),” kata wanita yang akrab disapa Ziah tersebut kepada Alinea.id pekan lalu.

Untuk mencapai target minimal dividen itu, Pertamina sudah mempersiapkan strategi dan program kerja utama yang akan dilaksanakan perseroan dalam beberapa tahun mendatang. Sejumlah rencana yang bakal dikerjakan Pertamina dalam waktu dekat antara lain, mengoptimalisasi produksi dan lifting minyak dan gas, menambah cadangan dan sumber daya migas, serta meningkatkan pertumbuhan volume penjualan perusahaan.

Selain itu, Pertamina juga berupaya mempertahankan market share, memenuhi permintaan melalui maksimalisasi bahan mentah domestik dan impor produk, serta meningkatkan keandalan infrastruktur hulu hingga hilir.

“Pertamina sudah mempersiapkan strategi dan program kerja utama untuk memastikan target perusahaan dapat tercapai,” terang Ziah.

Pernyataan Ziah tersebut agaknya berangkat dari sindiran Erick Thohir yang menyebut Pertamina kerap ‘offside’ dalam menjalankan bisnisnya. Dalam beberapa kesempatan, Erick kerap menyindir Pertamina yang juga merambah bisnis hotel dan rumah sakit.

Melalui anak usahanya PT Patra Jasa, Pertamina tercatat memiliki enam unit hotel dengan klasifikasi bintang empat dan lima di sejumlah wilayah. Salah satu hotel milik Pertamina yang paling mentereng namanya adalah The Patra Bali Resort & Villas.

Sedang untuk bisnis rumah sakit, Pertamina kini tengah mengelola setidaknya 16 rumah sakit di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya. Termasuk salah satunya Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). PT Pertamina Bina Medika ditunjuk sebagai pengelola rumah sakit tersebut.

“Pertamina buat apa punya bisnis rumah sakit sama hotel, orang bisnis minyaknya saja lifting-nya turun terus. Impor didiemin. Sudahlah yang namanya bisnis hotel kita gabungin sama bisnis hotel,” kata Erick dalam acara Indonesia 2020 Business Outlook, Rabu (4/3).

Akan tetapi, terlepas dari sindirin Erick tersebut, Pertamina rupanya cukup berperan besar pada setoran dividen ke negara. Merujuk pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018 di Kementerian Keuangan, Pertamina masuk ke dalam daftar 10 perusahaan pelat merah dengan setoran dividen terbesar yakni Rp8,56 triliun.

Setoran Pertamina hanya kalah dari PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. alias Telkom (TLKM) dengan dividen sebesar Rp8,65 triliun. Diikuti BRI sebesar Rp7,47 triliun, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. senilai Rp5,57 triliun, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. sebesar Rp2,85 triliun, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) senilai Rp1,91 triliun.

Sementara jika ditotal dari 142 BUMN yang masih hidup saat ini, jumlah setoran dividen kepada negara pada 2018 hanyalah Rp43 triliun. Lalu pada 2019, jumlah setoran dividen itu ditaksir bakal mencapai Rp45,9 triliun.

Akan tetapi, angka ini masih dianggap belum memberikan kontribusi maksimal kepada pendapatan negara. Terlebih nilai Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN tahun lalu juga cukup besar, yakni Rp20,2 triliun.

Lantas jika dihitung sejak 2009 hingga 2019 lalu, pendapatan negara dari setoran dividen BUMN baru menyentuh angka Rp402,6 triliun. Tidak sampai dua kali lipatnya dari PMN di periode yang sama, yaitu Rp246,98 triliun.

Gedung Kementerian BUMN. / Facebook @KementerianBUMNRI

Perlu pertimbangan

Untuk itu, rencana Erick Thohir memberi batas minimum setoran dividen kepada BUMN amatlah wajar mengingat perusahaan pelat merah merupakan representasi negara untuk perekonomian nasional. Jika setoran dividen besar, maka otomatis pendapatan negara juga bakal semakin banyak.

Namun demikian, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, rencana tersebut perlu dipikirkan secara matang dan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Pasalnya, kata Enny, tidak semua perusahaan bisa diberlakukan setara.

Beberapa perusahaan BUMN yang berorientasi pada pelayanan (public service obligation/PSO) perlu mendapatkan pengecualian dalam hal ini. Sebaliknya, jika perusahaan yang dimaksud memang berorientasi pada bisnis, maka Enny sangat mendukung rencana tersebut.

“Jadi itu ukurannya kalau memang dia komersial, perannya dividen ya oke. Tapi kalau dia menjalankan fungsi PSO, (berarti) peran optimalnya adalah punya multiplier effect kepada ekonomi dan masyarakat,” terangnya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (3/3).

PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias KAI dan merupakan salah satu BUMN dengan orientasi PSO yang dimaksud Enny. Perusahaan seperti ini, sambung dia, tidak bisa ditekan untuk memberi dividen besar.

Alasannya, jika rencana itu diterapkan kepada KAI, maka kemungkinan besar perseroan harus mengurangi bujet pelayanan konsumennya demi memenuhi setoran dividen tersebut. Kemungkinan lain, kata Enny, KAI akan meningkatkan harga tiketnya yang tentu akan merugikan masyarakat.

“Jadi pastikan tidak ada yang dirugikan dengan rencana itu. Karena enggak mungkin kalau dengan biaya yang harus ditekan, kualitasnya optimal. Enggak ada prinsip ekonomi seperti itu,” jelasnya.

Intinya, Enny tidak setuju jika rencana tersebut harus di-gebyah uyah kepada semua BUMN. Harus ada aspek-aspek tertentu yang perlu dipikirkan Kementerian BUMN sebagai pemangku kebijakan.

Formula batas minimum dividen harus dipikirkan secara matang sehingga tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan. Bahkan untuk perusahaan pelat merah yang berorientasi komersial pun jumlah minimum dividennya masih harus dipikirkan secara matang.

Enny mengambil contoh Pertamina yang terpaksa harus mengorbankan kemampuan produktivitasnya di sektor hulu demi bisa memberikan dividen besar ke negara. Pertamina, terang Enny, harus fokus pada bisnis hilir yang keuntungannya justru lebih banyak diambil calo atau mafia.

“Kayak Pertamina kan selama ini mengorbankan apa namanya, kemampuan untuk meningkatkan produktivitas di sektor hulunya, karena bersilangan di bisnis hilir. Padahal di bisnis hilir keuntungannya bukan kepada masyarakat, tapi lebih kepada para calo, mafia,” tambah dia.

Sementara jika pemerintah ingin mengoptimalkan perusahaan pelat yang berkinerja buruk, Enny menyarankan agar Kementerian BUMN melakukan audit secara menyeluruh pada setiap perusahaan. Audit ini dilakukan dari induk hingga ke anak-cicitnya.

Dengan begitu, pemerintah dapat memahami bagaimana seharusnya perusahaan BUMN bekerja. Mana saja yang menyebabkan kerugian dan harus diberhentikan atau ditambah permodalan, dan mana saja yang perlu dioptimalkan.

Beberapa sektor, kata dia, juga harus lebih dioptimalkan. Sektor-sektor yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang negara perlu digenjot sehingga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Infografik BUMN penyetor dividen terbesar kepada negara. Alinea.id/MT Fadillah

Berita Lainnya
×
tekid