sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perfilman pascapandemi: Horor, romansa dan komedi tak selalu jadi primadona

Film dengan pesan kuat makin meramaikan perfilman nasional selain genre horor, komedi, maupun romansa.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 11 Apr 2022 15:08 WIB
Perfilman pascapandemi: Horor, romansa dan komedi tak selalu jadi primadona

“(Pandemi) Bukanlah satu halangan untuk menciptakan mahakarya yang luar biasa bagi dunia perfilman tanah air," ucap Reza Rahadian, dalam gelaran Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia, Rabu, 10 Oktober 2021 lalu.

Aktor yang menjadi Ketua Komite Film Festival Indonesia periode 2021-2023 ini menegaskan dalam perubahan yang terjadi, insan perfilman Indonesia tetap berjuang untuk berkarya. Pernyataan pelakon mantan Presiden Indonesia B. J. Habibie dalam film Habibie & Ainun ini, nyatanya bukan omong kosong belaka.

Terbukti dari jumlah film yang ditayangkan di bioskop sepanjang tahun 2021. Menurut catatan Pengamat Film Yan Widjaya, di sepanjang tahun lalu ada sebanyak 36 judul film di putar di berbagai bioskop di seluruh Indonesia. 

Jumlah tersebut tumbuh tipis dibandingkan tahun 2020 dengan 35 judul film yang ditayangkan di bioskop. Sedang pada tahun 2019, ada 121 judul film. Di tahun 2022 sendiri, hingga Kamis (7/4) lalu, berdasarkan data filmindonesia.or.id, sudah ada 41 judul film yang ditayangkan di bioskop. 

Sejauh ini, film 'Kukira Kau Rumah' karya sutradara muda Umay Shahab berhasil mendapatkan penonton terbanyak, yakni sekitar 2,2 juta orang. Kemudian disusul oleh 'Dear Nathan: Thank You Salma' karya sutradara Agus Nugroho atau yang lebih dikenal sebagai Kuntz Agus, dengan jumlah penonton 754.112 orang.

Penulis dan Editor Majalah Art Effect Miftachul Arifin mengungkapkan, salah satu alasan larisnya film 'Kukira Kau Rumah' yang ditulis oleh Monty Tiwa dan penulis anyar Imam Salimy ialah karena isu yang diangkatnya; kesehatan mental. 

Sponsored

Dalam film ini, baik Umay maupun produser sekaligus pemeran utama 'Kukira Kau Rumah' Prilly Latuconsina, nampaknya memiliki perhatian yang sama terkait permasalahan psikologis yang sebenarnya cukup banyak terjadi di tanah air. Dari film ini pula, keduanya ingin mengajak masyarakat agar menjadikan isu penting ini sebagai perhatian khusus.

“Terutama bagi mereka yang memiliki seseorang dengan permasalahan psikologis di sekitarnya. Dan 'Kukira Kau Rumah' dapat memberitahumu, bagaimana harus menyikapi orang tersebut, cara men-treatment dan bagaimana memosisikan diri ketika berada di sampingnya,” kata Miftachul, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Bukan hanya hiburan

Meski tak pesat, industri film Indonesia memang telah banyak berubah. Jika dulu film maker (pembuat film) hanya membuat karya tontonan ringan yang menghibur, kini film juga mempunyai pesan khusus di dalamnya. 

Hal ini pun diamini oleh Pengamat Film dan Budaya Pop Hikmat Darmawan. Dia menilai, sejatinya film bukan hanya produk hiburan saja, melainkan juga sebagai cerminan realitas kehidupan yang terjadi di masyarakat. Sehingga wajar saja, jika di dalam sebuah film, ada pesan yang tersembunyi, baik itu terkait isu sosial, budaya, kesehatan, hingga politik.
 
"Beberapa film maker ini beranggapan, kalau dengan menyelipkan pesan di dalam filmnya, nanti akan terlalu berat untuk dikonsumsi masyarakat. Padahal, film seperti Gundala saja itu ada pesannya. Malah, kalau tidak ada, nanti akan jadi film yang ecek-ecek," katanya, saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (8/4).

Bagusnya, sekarang sudah mulai banyak sineas yang memasukkan pesan-pesan kehidupan dalam film yang mereka buat, alih-alih hanya mengejar rating dan jumlah penonton saja. Meski tak dapat dinafikan, rating dan jumlah penonton tetap menjadi salah satu tujuan para sineas dalam membuat film.

Ilustrasi produksi film. Unsplash.com.

Demi balik modal, begitu kata Hikmat. Karena bagaimanapun, dalam memproduksi film dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi, dalam masa pandemi, ongkos produksi kian bertambah dengan masuknya anggaran kesehatan kru film.

Sebut saja untuk biaya swab tes, penyediaan protokol kesehatan di lokasi syuting, hingga penyesuaian jadwal yang mungkin dapat terjadi karena kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maupun saat ada kru film yang terjangkit virus Covid-19.

"Karena di situ, syuting menjadi lebih lama, sampai akhirnya biaya produksi juga membengkak," jelasnya. 

Sementara itu, beberapa sineas muda, terutama sutradara senantiasa menyisipkan pesan dalam filmnya. Mereka adalah Yosep Anggi Noen yang populer dengan filmnya 'The Science of Fiction' (2019), Kamila Andini dengan 'Yuni' yang berhasil membawa pulang 7 piala dari ajang Piala Maya 2022, Wregas Bhanuteja yang berhasil menyabet penghargaan Cannes Film Festival dengan 'Prenjak'-nya, Mouly Surya yang makin populer karena film 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak', Umay Shahab dengan film debutnya 'Kukira Kau Rumah', dan masih banyak lainnya. 

Kritikus Film ini menilai, ada beberapa hal yang menjadikan sineas-sineas muda ini berani menggarap film yang memiliki pesan kuat, bahkan tak jarang terkesan eksperimental. Pertama, sutradara-sutradara muda ini tumbuh dengan gaya produksi indie atau independen. Mereka, kata dia, memiliki kemerdekaan atau perspektif tersendiri dalam memperlakukan kamera atau elemen film lainnya. 

"Jadi mereka lebih eklektif lah. Dari segi rujukan juga mereka lebih kaya, karena memang mereka sudah bisa bergaul dengan film-film maker dunia, atau berasal dari sekolah film," imbuhnya. 

Meski tak banyak, nama-nama sutradara muda ini memberikan harapan bahwa masih ada sineas Indonesia yang berpegang pada prinsip pembuatan film. Di mana mereka tidak hanya berbicara tentang bagaimana untuk mendapatkan jumlah penonton yang banyak dan menjadikan sebuah film viral, tanpa melihat kualitas alur cerita dan pemilihan tokoh. Estetika dan isi film itu sendiri juga menjadi unsur penting untuk disajikan ke depan para penonton.
 
"Walaupun risikonya, film-film mereka akan dijauhi olah masyarakat penonton, bahkan bioskop. Karena tidak sejalan dengan pasar film nasional," ungkap Penulis Skenario Gunawan Raharja, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (9/4).

Namun demikian, para sineas muda ini tak perlu mengkhawairkan berbagai hal, utamanya jumlah penonton. Sebab, se-eksperimental apapun film yang akan mereka buat, pasti akan mendapatkan penonton.

Bahkan, bisa jadi film-film yang diproduksi secara independen ini justru lebih sukses dan dapat menarik lebih banyak penonton, ketimbang film kebanyakan yang diproduksi dengan pendekatan pop, menghibur dan menghamba kepada masyarakat penonton. 

Hal ini, bahkan telah dibuktikan oleh beberapa sineas muda Indonesia, Kamila Andini misalnya. Dengan 'Yuni', putri sutradara senior Garin Nugroho ini berhasil menyabet penghargaan Platform Prize di Festival Film Internasional Toronto 2021. Pun dengan film teranyarnya 'Before, Now & Then (Nana)' yang kini masuk nominasi Berlin International Film Festival di Jerman. 

"Film-film seperti ini, yang memproyeksikan estetika akan tetap ada. Mereka bagian dari pola keberagaman tontonan masyarakat dan masing-masing akan punya ceruk penontonnya sendiri," imbuh Gunawan.

Ilustrasi Unsplash.com.

Di sisi lain, film dengan pendekatan pop, bersifat menghibur dan juga berpangku pada tren penonton juga akan terus diproduksi. Sebab, dengan memproduksi film-film yang biasanya memiliki tema besar komedi, romansa dan horor adalah salah satu cara agar para sineas atau rumah produksi khususnya dapat tetap bertahan di kondisi yang serba sulit ini. 

"Karena bagaimanapun film adalah industri yang butuh pasar untuk menghidupi karyawannya. Dan produksi film yang mengedepankan hiburan inilah yang akan memperpanjang napas industri film kita," ujarnya.

Horor masih jadi andalan

Hal ini pun lantas diamini oleh sutradara film pendek horor 'Makmum' dan 'Makmum 2' Riza Pahlevi. Menurutnya, sampai saat ini ketiga genre tersebut masih akan menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Bahkan, genre andalannya, horor juga masih sangat laris di pasaran. 

Hal ini terlihat dari jumlah penonton film horor yang masih menempati posisi 15 besar dalam kategori penonton terbanyak berdasarkan filmindonesia.or.id. Film horor 'Teluh' misalnya, menempati posisi ke-3 pada pemutaran film di 2022, dengan jumlah penonton sebanyak 500.039 orang. Atau Makmum 2, film horor yang disutradarai Riza, di mana pada 2021 lalu berhasil menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak, yakni 1,76 juta orang. 

Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton berdasarkan tahun edar

Tahun

Judul film

Jumlah penonton

2022

Kukira Kau Rumah

2.219.265

2022

Dear Nathan: Thank You Salma

754.122

2021

Makmum 2

1.762.847

2021

Nussa

446.482

2020

Milea: Suara dari Dilan

3.157.817

2020

Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini

2.256.908

2019

Dilan 1991

5.253.411

2019

Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan

2.662.356

2018

Dilan 1990

6.315.664

2018

Suzzana: Bernapas dalam Kubur

3.346.185

Sumber: Filmindonesia.or.id

Jumlah penonton tersebut masih dapat mengalami kenaikan, mengingat film yang diproduksi saat ini banyak juga yang ditayangkan melalui platform streaming, seperti Netflix, Disney Hotstar, atau media online lainnya.

Riza bilang, capaian ini sudah cukup fantastis, mengingat saat pandemi jam buka bioskop sering kali mengalami perubahan, karena harus mematuhi kebijakan PPKM yang berlaku. Apalagi, selama pandemi banyak penyesuaian harus dilakukan oleh industri film nasional. Karenanya, tidak heran jika pasca pagebluk, terjadi beberapa perubahan pada industri film Indonesia, baik dari sisi produksi maupun dari sisi pemasaran.

Menurutnya, dari sisi produksi, saat ini para sineas lebih banyak explore tempat untuk syuting. "Jadi, sekarang latar yang digunakan tidak hanya berfokus di Jawa. Kami juga sangat memperhatikan detil latar film. Apakah film ini berlatar saat pandemi, sebelum apa sesudah," jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (9/4).

Kondisi ini tidak hanya terjadi pada film pendek dan panjang saja, melainkan diterapkan pula pada produksi film dokumenter. Bahkan, cerita pada film dokumenter juga mengalami banyak perluasan. 

Ilustrasi Unsplash.com.

Jika pada periode sebelumnya film dokumenter yang banyak diminati masyarakat adalah yang berkaitan dengan sejarah, sekarang sudah tidak lagi. Bahkan, saat ini para sineas lebih banyak memproduksi film dokumenter dengan tema kesehatan, lingkungan, gender, hingga kehidupan suku-suku pedalaman. 

"Karena selama pandemi ini peminat film dokumenter juga semakin banyak. Makanya sutradara-sutradara film dokumenter berani untuk mengeksplor genre lain," jelas Sutradara film dokumenter 'The Flame (Bara)' Arfan Sabran, kepada Alinea.id, Kamis (7/4).

Sineas yang juga menyutradarai film 'Invisible Hopes' ini menilai, film dokumenter memiliki kekuatan besar dalam menyampaikan sebuah pesan dan topik yang lebih luas. Karena itu, penting bagi sineas untuk dapat menceritakan isu yang besar dengan gaya penceritaan yang personal, baik bagi pembuat maupun penonton. 

"Dalam konteks produksi, adalah bagaimana kita bisa menyampaikan secara personal saat mengangkat isu besar, seperti krisis lingkungan misalnya," lanjut Arfan.

Singkatnya, baik untuk film panjang, pendek, maupun dokumenter, film yang bakal banyak dirilis di masa depan oleh sineas-sineas muda adalah karya visual dengan pesan yang jelas dan positif. Dus, film tak hanya jadi hiburan semata namun juga ajang diskusi.

Namun demikian, untuk menciptakan film yang berkualitas, ada tantangan besar yang harus dihadapi oleh para sineas, utamanya bagi mereka yang baru terjun ke dunia perfilman. Tantangan tersebut tak lain ialah pendanaan. Apalagi, untuk mendaftarkan sebuah karya ke festival film, dibutuhkan dana tersendiri yang tidak termasuk dalam ongkos produksi. 

"Untungnya, sekarang sudah banyak yang pengirimannya bisa dilakukan secara digital. Jadi tinggal klik di website penyelenggara festival filmnya saja," kata Sutradara 'The Science of Fiction' Yosep Anggi Noen, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (10/4).

Terlepas dari itu, menurutnya, ada tiga syarat agar sebuah film layak untuk didaftarkan dalam festival film luar negeri. Syarat itu antara lain, film harus digarap dengan baik, memiliki identitas atau unik, serta topik film penting untuk dibicarakan. 

"Kalau sudah merasa memenuhi ketiga syarat itu, kirimkan saja. Tidak perlu takut, kalau kamu merasa punya film yang bagus," tegas Anggi.

Sementara itu, untuk mendukung perkembangan industri film dalam negeri, Deputi Bidang Produk Digital dan Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Himam mengungkapkan, sejak 2020 lalu pemerintah telah mengeluarkan program SCENE. Di mana melalui program ini, pemerintah menyediakan ajang masterclass pengembangan skenario film, TV dan Over The Top (OTT). 

Di tahun ketiganya ini, SCENE mengusung penyempurnaan konsep yang memungkinkan para penulis skenario untuk bisa menghasilkan produk yang lebih matang dan siap bersaing di industri, baik di dalam maupun luar negeri. 

"Saya berharap, program ini pada akhirnya dapat menghasilkan karya-karya berkualitas, yang dapat divisualkan menjadi sebuah film atau serial," katanya, kepada Alinea.id, Senin (11/4). 

Berita Lainnya
×
tekid