sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Impor beras serampangan yang tak bisa tekan harga beras mahal

Impor beras Indonesia naik gila-gilaan. Namun, harga beras justru terbang semakin tinggi.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 20 Feb 2024 10:34 WIB
Impor beras serampangan yang tak bisa tekan harga beras mahal

Indonesia mengalami peningkatan besar dalam impor beras, seiring upaya pemerintah untuk menambah stok bahan kebutuhan pokok itu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor beras nasional pada Januari 2024 mencapai 443.000 ton, naik 82% dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar 243.660 ton. Dari sisi nilai, impor beras di awal tahun mencapai US$279,2 juta atau sekitar Rp4,3 triliun, melonjak 135,1% dari impor pada Januari 2023, yang hanya sebesar US$118,7 juta atau sekitar Rp1,85 triliun.

Meski beras dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Myanmar telah membanjiri Indonesia, namun harga komoditas pangan utama itu belum juga terkendali. Sebaliknya, harga beras justru terbang semakin tinggi, karena pasokan yang masih seret di pasaran.

Berdasar Panel Harga Badan Pangan, harga beras premium pada Senin (19/2) tercatat berada di level Rp16.090 per kilogram (kg), naik 0,44% dari Senin pekan lalu yang hanya seharga Rp15.750 per kilogram. Sementara beras medium, pada periode yang sama tercatat ada di harga Rp14.080 per kilogram, naik 0,64% dari harga Senin (12/2) lalu yang senilai Rp13.830 per kg.

Pada awal Januari lalu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan, alasan pemerintah membuka keran impor beras di awal tahun adalah sebagai langkah antisipasi untuk menjaga agar harga beras tidak terkerek terlalu tinggi. Apalagi, produksi beras pada Januari dan Februari diperkirakan akan tipis, seiring dengan masa tanam padi pada Oktober dan November yang juga minim akibat curah hujan rendah, terimbas El-Nino.

“Defisit beras pada Januari-Februari 2024 masing-masing diperkirakan sebesar 1,61 juta ton dan 1,22 juta ton. Kondisi ini dapat menyebabkan eskalasi harga beras. Impor beras merupakan alternatif pahit, tapi harus kita lakukan,” kata Arief, dalam keterangan resminya, dikutip Senin (19/2).

Di sisi lain, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas), di sela-sela blusukannya ke Transmart Mall Kota Kasablanka, pada Senin (19/2) pagi menjelaskan, naiknya harga beras sekarang ini tidak lain disebabkan oleh pasokan dan permintaan komoditas tersebut yang tidak berimbang. Minimnya pasokan beras premium pun membuat harga beras dari golongan ini menjadi semakin tinggi, bahkan di tingkat produsen atau pemasok besar.

“Karena El-Nino, panen kita mundur dan suplai kita berkurang. Kedua, pemerintah mengambil solusi mempercepat beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) dari Bulog. Tadi kami lihat SPHP kan, itu harganya subsidi. Dijual 5 kg Rp54.000 lah. Kalau harga beras premium 5 kg di kisaran Rp72.000-Rp80.000,” katanya.

Stok melimpah

Sponsored

Berbeda dengan Zulhas, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai, kian mencekiknya harga beras didorong oleh perilaku panic buying atau pembelian secara berlebihan karena ada rasa panik dan takut akan kehabisan stok dari masyarakat setelah mendengar pada Januari dan Februari Indonesia diperkirakan mengalami defisit beras. Dalam hal ini, masyarakat lantas mengira pada dua bulan pertama 2024 pasokan beras nasional di pasaran minus.

“Sehingga seolah-olah kondisi perberasan kita ini sudah gawat banget. Sehingga ini tertransmisi menjadi panic buying. Nah panic buying ini yang meningkatkan harga dan masyarakat yang mampu beli, dia akan beli banyak, baik di pasar tradisional maupun ritel,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (19/2).

Padahal, kenyataan yang diketahuinya tidak demikian. Sejak sekitar 50 tahun lalu, Indonesia memang sudah biasa mengalami defisit beras pada bulan Januari hingga Februari. Hanya saja, karena intensitas hujan rendah akibat El-Nino berkepanjangan, membuat defisit beras terjadi lebih panjang, yakni sejak Juli 2023.

Andreas menambahkan, defisit beras yang seharusnya ditekankan pemerintah kepada masyarakat adalah hitungan defisit diperoleh dari jumlah pasokan beras pada bulan yang bersangkutan, Januari dan Februari, dikurangi dengan kebutuhan beras pada bulan tersebut. Meski begitu, jika menilik data perberasan yang hingga akhir 2023 masih terdapat stok sebesar 4,06 juta ton, tetap ada surplus beras sekitar 3 juta ton pada periode Januari hingga Februari.

“Kalau perhitungan Bapanas, stok awal tahun bahkan lebih tinggi, 7,4 juta ton. Sehingga kalau mau bicara, Januari hingga Februari surplus 4,6 juta ton. (Harusnya) bukan ngomong defisit, harusnya stok aman,” imbuh dia.

Bahkan, menurut hitungan pengamat pertanian itu, dengan panen yang telah terjadi pada Januari hingga Februari, membuat pasokan beras pada Maret 2024 mengalami surplus hingga 7 juta ton.

“Surplus itu kita bicara produksi bulan bersangkutan dikurangi konsumsi bulan bersangkutan, itu ada surplus 0,9 juta ton. Kalau surplus 0,9 juta ton ditambah stok 3,9 juta ton, berarti kan hampir 4 juta ton total stok di bulan maret. Amat sangat berlimpah,” jelas Andreas.

Dengan kondisi ini, Andreas mengira alasan defisit yang sebesar 1,63 juta ton pada Januari dan 1,17 juta ton pada Februari 2024 hanya menjadi justifikasi bagi pemerintah untuk melakukan impor beras secara serampangan. Dia mempertanyakan alasan pemerintah untuk membuka keran impor di awal tahun, di tengah pasokan beras masih bisa mencukupi kebutuhan pasar.

“Padahal, impor sudah diputuskan di Desember 2023 sebesar 2 juta ton. Januari 2024, Zulhas mengatakan, sudah ada kontrak dengan Thailand 2 juta ton dan India 1 juta ton. Karena keputusan yang serampangan itu tadi sudah disampaikan, kan pemerintah harus cari justifikasi supaya tidak disalahkan masyarakat kenapa kok impornya sedemikian besar,” ujar guru besar IPB tersebut.

Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2024, Direktur Serelia Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Ismail Wahab mengamini pendapat Andreas soal melimpahnya pasokan beras. Kata dia, seharusnya pemerintah masih punya stok beras sekitar 4,31 juta ton, yang didapat dari carry over sekitar 3 juta ton ditambah impor Januari 2024 sebanyak 0,4 juta ton.

Dus, jika kebutuhan beras nasional per bulan ada di kisaran 2,5 juta ton, seharusnya tidak ada defisit dalam pasokan beras Indonesia. “Artinya, beras itu cukup. Ini yang sekarang kita kurang punya pencatatan dari logistik ini, ke mana larinya 3 juta ton ini, sehingga beras kita sampai sekarang pun agak mahal dan kondisinya masih sulit?” tanya Ismail, dikutip akun Youtube Kementerian Dalam Negeri, Senin (19/2).

Meski begitu, dengan puncak hujan yang terjadi pada Januari 2024, dia berharap produksi beras di Maret akan lebih banyak dari bulan-bulan sebelumnya. Dengan proyeksi naiknya produksi beras tersebut, diharapkan harga dan inflasi bahan pangan pokok ini dapat ditekan pula.

“Yang kami pertanyakan adalah Januari, karena menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) merupakan puncak curah hujan, sehingga kami berharap pertanaman akan banyak. Maka Maret diharapkan akan banyak produksi agak puncak, sehingga inflasi di Maret bisa diturunkan,” ujar Ismail.

Terpisah, Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menjelaskan, paceklik berkepanjangan membuat produksi beras domestik terbatas. Dengan curah hujan sekarang ini, panen raya diperkirakan baru akan dimulai pada akhir April atau awal Mei 2024.

Dengan adanya periode Ramadan dan Lebaran 2024, pemerintah harus memastikan pasokan beras dalam jumlah memadai. “Jika tidak, harga potensial naik dan bisa menimbulkan kegaduhan, bahkan berdampak ke soal sosial-politik,” ramalnya.

Apalagi, merujuk data BPS, produksi Januari-Februari 2024 ini masih kurang 2,8 juta ton untuk menutupi kebutuhan konsumsi di dua bulan tersebut. Akhir tahun lalu, mengacu data yang disampaikan Bapanas dan Badan Urusan Logistik (Bulog), ada pasokan sebesar 1,4 juta ton beras di gudang Bulog. Ditambah impor Januari 2024, berarti ada pasokan sebanyak 1,843 juta ton.

Namun, jumlah ini tidak akan mencukupi kebutuhan beras nasional. Apalagi, sejak awal Januari, Bulog menyalurkan bantuan pangan beras kepada 22 juta keluarga yang masing-masing mendapatkan 10 kg beras dengan bantuan yang akan dibagikan hingga Juni 2024, artinya Bulog harus menyalurkan 1,32 juta ton beras.

Di luar itu, Bulog juga menyuntik beras ke pasar dalam bentuk operasi pasar SPHP. Januari 2024 lalu, jumlahnya 170.000-an ton. “Perkiraan saya, Februari ini SPHP perlu paling sedikit 150.000-an ton. Jika Maret dan April perlu jumlah yang sama, artinya empat bulan itu Bulog harus menyuntik pasar sejumlah 620.000 ton. Jadi, jumlah 1,843 juta ton itu enggak cukup,” urai Khudori.

Dengan adanya puncak musim hujan pada Januari, produksi beras pada Maret diproyeksi akan meningkat dan berbuah surplus sebesar 0,97 juta ton beras. Namun kelebihan pasokan itu bisa dipastikan akan menjadi rebutan banyak pihak, seperti penggiling dan pedagang.

Panen di April pun akan bernasib sama: jadi rebutan banyak pihak. Terutama untuk mengisi jaring-jaring distribusi yang berbulan-bulan kering kerontang karena paceklik.

Buat warga miskin, mereka tidak perlu khawatir karena sudah ada Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, bantuan pangan beras 10 kg per keluarga per bulan, bahkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Mitigasi Risiko Pangan yang dirapel tiga bulan sebesar Rp600.000/keluarga. Namun, yang perlu perhatian ada kelompok yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan.

“Kalau harga beras dan pangan naik, mereka potensial menjadi kaum miskin baru. Selama ini mereka belum tersentuh oleh aneka bantuan sosial dan jaring pengaman sosial itu,” imbuh Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP) itu.

Karena itu, menuju ramadan dan idulfitri hampir bisa dipastikan pengadaan yang paling mungkin adalah melalui impor.

“Jika impor bisa dieksekusi dengan baik, ada harapan pasar beras tidak ada gejolak. Tahun ini pemerintah mengeluarkan kuota impor 2 juta ton beras untuk Bulog,” tandas Khudori.

Berita Lainnya
×
tekid