sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menilik keberpihakan kandidat dalam isu kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan di Indonesia.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Sabtu, 03 Feb 2024 10:12 WIB
Menilik keberpihakan kandidat dalam isu kekerasan terhadap perempuan

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan di Indonesia. Pasalnya, jumlah korban terus meningkat setiap tahunnya.

Tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden telah menyampaikan visi dan misinya terkait isu penanganan pengentasan kekerasan terhadap perempuan. Paslon nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar memasukan perempuan ke dalam kelompok 28 Simpul Kesejahteraan.

Dalam agenda khusus itu, Anies dan Muhaimin akan melarang diskriminasi terhadap perempuan dan dukungan khusus bagi perempuan yang menjadi kepala keluarga. Selain itu, pasangan AMIN juga menjanjikan para perempuan aman dari kekerasan, dengan layanan krisis terintegrasi di setiap daerah melalui adanya nomor layanan darurat 24 jam, Rumah Aman, visum, pengobatan dan layanan psikologis gratis, serta bantuan hukum gratis.

“Hadirkan dan tegakkan aturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk melindungi para perempuan,” tulis AMIN dalam dokumen visi dan misinya, dikutip Jumat (2/2).

Di sisi lain, paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyinggung soal perlindungan terhadap perempuan melalui misi ke-4, yaitu ‘Memperkuat Pembangunan sumber daya manusia (SDM), Sains, Teknologi, Pendidikan, Kesehatan, Prestasi Olahraga, Kesetaraan Gender, serta Penguatan Peran Perempuan, Pemuda, dan Penyandang Disabilitas’.

Melalui misi ini, mereka berjanji memastikan setiap kebijakan yang dibuat bersifat inklusif, berperspektif gender, serta memprioritaskan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Kemudian, Prabowo dan Gibran juga sesumbar akan memprioritaskan pembuatan undang-undang yang terkait dengan perlindungan perempuan dan anak serta memperkuat penegakan hukum terhadap kaum rentan.

Kemudian, paslon nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menyebut bakal melindungi perempuan dan anak dari seluruh tindak diskriminatif dan kekerasan. “Revitalisasi pendampingan terhadap korban kekerasan baik perempuan maupun anak, termasuk kekerasan seksual dan tindak kekerasan dalam rumah tangga,” kata Ganjar dan Mahfud dalam dokumen visi dan misinya.

Jumlah korban meningkat

Sponsored

Menukil data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sejak awal tahun hingga Jumat (2/2), sudah ada 1.710 perempuan yang menjadi korban kekerasan. Sementara pada 2023, jumlah perempuan korban kekerasan mencapai 26.161, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 25.053 korban.

Jika dirinci, berdasar data 2023, 58,4% kekerasan terjadi di lingkup rumah tangga. Sedangkan berdasar jenis pekerjaan, perempuan yang menjadi korban kekerasan paling banyak berasal dari kalangan pelajar (38,7%) dan disusul oleh ibu rumah tangga (20,1%).

“Padahal isu perempuan dan anak merupakan bagian dari pilar utama yang menjadi komitmen pemerintah dan bagian penting untuk membangun masa depan. Terkait isu perempuan dan anak ini tidak bisa dan keniscayaan jika ini ditinggalkan,” kata Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) Ratna Susianawati, dalam keterangannya, kepada Alinea.id, Jumat (2/2).

Tidak hanya itu, pengarusutamaan isu gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan juga menjadi bagian dari pilar utama untuk memastikan semua kementerian dan lembaga, serta daerah untuk melaksanakan tugasnya. Pun setelah pemerintahan berganti nantinya.

"Ini penting untuk mengurai tidak hanya diskriminasi, tidak hanya eksploitasi tapi bagaimana memastikan ruang-ruang aksesibilitas, ruang partisipasi, ruang pengambilan keputusan yang kemudian bisa memastikan manfaat pembangunan dirasakan adil dan setara,”imbuh dia.

Sementara itu, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan, hal yang paling krusial untuk segera ditangani adalah terkait terus meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dari waktu ke waktu. Komnas Perempuan mencatat dalam rentang 22 tahun, diperkirakan lebih dari 60.000 kasus kekerasan seksual dilaporkan ke Komnas Perempuan dan pengada layanan, baik di ranah personal (24,480 kasus) dan di ranah publik (36,446 kasus).

Dengan kekerasan seksual yang dimaksud terutama perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual yang terjadi dalam kondisi sehari-hari. Dalam hal ini, terbitnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi angin segar bagi para korban kekerasan seksual.

Oleh karena itu Komnas Perempuan mendorong pemimpin terpilih agar punya komitmen kuat dalam implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut.

“Salah satunya adalah dengan memberikan perhatian dan dukungan yang penuh terhadap lembaga-lembaga layanan pendamping korban kekerasan di daerah yang menjadi ujung tombak bagi pencegahan dan pelayanan perempuan korban kekerasan,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad, kepada Alinea.id, Jumat (2/2).

Selain itu penting pula bagi para pemimpin bangsa terpilih nantinya untuk dapat menciptakan Ruang Aman Perempuan dalam Keluarga dan Dunia Kerja. Hal ini seiring dengan masih tingginya jumlah korban perempuan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Karena itu, presiden dan wakil presiden 2024-2029 dinilai perlu mengoreksi elemen diskriminatif berbasis gender dan disabilitas pada UU Perkawinan, memastikan penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan lembaga layanan tentang UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pada saat yang sama juga perlu mengembangkan program rehabilitasi dan membangun instrumen deteksi dini untuk mencegah KDRT yang berujung pada femisida alias pembunuhan ataupun kekerasan pada perempuan akibat kebencian seseorang terhadap perempuan.

Selain di dunia nyata, perlindungan terhadap perempuan di dunia maya juga perlu ditingkatkan. Sebab, dengan semakin majunya teknologi digital dan internet, berpotensi memperburuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

“Kerentanan perempuan di ruang luring sudah bermigrasi ke ruang digital berupa Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG), risiko perempuan menjadi sasaran pinjaman online ilegal karena tekanan ekonomi, hingga risiko pemutusan hubungan kerja karena adanya kecerdasan buatan atau kesenjangan dalam akses dan pemanfaatan teknologi,” rinci Fuad.

Dalam hal ini, pemimpin bangsa berkewajiban mengintegrasikan program penguatan literasi digital dan keamanan digital bagi perempuan serta memperkuat kapasitas berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan keamanan digital berperspektif keadilan gender. Selain itu, perlu ada pengembangan mekanisme penghapusan konten digital dan dukungan pemulihan kepada korban.

Di sisi lain, Fuad juga menuntut pemerintah selanjutnya untuk menjamin tidak adanya praktik penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi di tempat tahanan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Konvensi Menentang Penyiksaan. Pasalnya, sampai saat ini Komnas Perempuan masih menemukan banyak praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ini dilakukan kepada perempuan yang berada di balik jeruji besi, atau tempat serupa.

“Pemimpin terpilih nanti perlu mencegah tindak penyiksaan atau penghukuman tidak manusiawi, dengan meratifikasi protokol opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dan mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi,” tandas Fuad.

Berita Lainnya
×
tekid