close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi minyak goreng. Dokumentasi Kemendag
icon caption
Ilustrasi minyak goreng. Dokumentasi Kemendag
Bisnis
Rabu, 03 April 2024 21:52

Keliru, bayar utang rafaksi migor pakai dana BPDPKS

Dalam analisis Sucofindo, sebanyak 54 pelaku usaha mengajukan klaim pembayaran rafaksi. Namun, hanya Rp474 miliar yang terverifikasi.
swipe

Rencana pemerintah membayar tagihan rafaksi minyak goreng (migor) menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dinilai keliru. Sebab, sumber pungutan ekspor yang dikumpulkan organ di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu mestinya dimanfaatkan untuk hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit.

Utang ini muncul lantaran pemerintah berjanji membayar selisih harga penugasan Rp14.000/liter pada 19 Januari 2022 hingga akhir bulan tersebut dengan ongkos produksi Rp17.650/liter memakai uang BPDPKS maksimal 17 hari kerja usai kelengkapan dokumen pembayaran berdasarkan hasil verifikasi. Namun, hingga kini tidak kunjung terealisasi pembayarannya.

Dalam analisis Sucofindo, lembaga yang ditugaskan, sebanyak 54 pelaku usaha ritel modern maupun usaha tradisional mengajukan klaim pembayaran rafaksi. Hasilnya, hanya Rp474 miliar yang terverifikasi.

Peneliti CORE, Eliza Mardian, menyatakan, target peremajaan sawit yang dilakukan hingga kini masih jauh panggang dari api. Bahkan, tidak mencapai 10% dari target yang dicanangkan. Ada sekitar 5 juta ha kebun sawit yang sudah tidak berproduksi dan perlu segera diremajakan.

"Jika [dana BPDPKS] digunakan untuk membayar utang pemerintah ini, seperti uangnya dipungut dari perusahaan karena mereka ekspor, lalu BPDPKS membayar utang tersebut. Ini sama saja uangnya kembali lagi ke perusahaan karena pemerintah gagal bayar," katanya kepada Alinea.id, Selasa (2/4) malam.

Ia melanjutkan, buruknya tata niaga komoditas migor menyebabkan kerugian negara. Apalagi, mayoritas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) diolah perusahaan swasta dan pemerintah tidak bisa mengintervensi harga.

Menurut Eliza, pemerintah seharusnya menambah kapasitas pabrik olahan CPO yang menyerap sawit petani dan perkebunan milik negara. Tujuannya, mengimbangi swasta sehingga harga relatif terkendali dan bersaing.

Sayangnya, perusahaan swasta marak menanam di lahan hak guna usaha (HGU) milik pemerintah. Yang terjadi juga swasta terpaksa menyuplai migor untuk memenuhi kebutuhan nasional sekalipun tanpa adanya kebijakan domestic market obligation (DMO). 

Kini, akibat perang Rusia-Ukraina, harga yang berkaitan komoditas sawit dan turunannya melesat. Tidak heran jika perusahaan cenderung mengolah sawit menjadi biodiesel daripada memproduksi migor.

"Sebuah ironi, lahan sawit terbesar, tapi penduduk Indonesia sampai harus membeli migor dengan standar harga internasional. Karena mengikuti harga yang tinggi itu, akibatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan DMO untuk memberikan subsidi agar masyarakat, terutama kalangan menengah bawah, membeli dengan harga terjangkau," tuturnya.

Harus segera tuntas

Terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menyarankan polemik penundaan pembayaran rafaksi migor diselesaikan sebelum pergantian kepemimpinan nasional pada Oktober 2024. Artinya, rezim Joko Widodo (Jokowi) tidak mewariskan masalah kepada pemerintahan berikutnya.

"Sebelum Oktober, harus dibayar. Jangan dibebani ke presiden baru," ujarnya kepada Alinea.id.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan