sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Risiko berlarut-larutnya utang rafaksi migor

Janji pemerintah membayar utang rafaksi minyak goreng terkatung-katung lebih dari 2 tahun.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Selasa, 02 Apr 2024 23:05 WIB
Risiko berlarut-larutnya utang rafaksi migor

Pemerintah menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menindaklanjuti tagihan rafaksi minyak goreng (migor). Kejaksaan bertugas menganalisis pembayaran dari aspek hukum.

Utang ini muncul ketika pemerintah berjanji membayar selisih harga penugasan Rp14.000/liter dengan ongkos produksi Rp17.650/liter memakai uang Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) maksimal 17 hari kerja usai kelengkapan dokumen pembayaran berdasarkan hasil verifikasi. Penugasan berlaku per 19 Januari 2022 hingga akhir bulan tersebut. Namun, hingga kini tidak juga terealisasi pembayarannya.

Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung, Feri Wibisono, menyampaikan, pihaknya sudah membuat naradamping (liaison officer/LO) untuk memastikan kebijakan yang diambil tak memiliki resiko hukum di kemudian hari. Dalam perkembangannya, tidak semua klaim pengusaha terakomodasi lantaran terbentur permasalahan dokumen, seperti tak lengkapnya berkas pendukung.

"Kami mengacu pada perhitungan yang dilakukan oleh Sucofindo selaku surveyor," katanya beberapa waktu lalu.

Dalam analisis Sucofindo, sebanyak 54 pelaku usaha, baik ritel modern maupun usaha tradisional, mengajukan klaim pembayaran rafaksi. Hasilnya, hanya Rp474 miliar yang terverifikasi.

Terpisah, peneliti CORE, Eliza Mardian, menilai, telatnya pembayaran rafaksi migor bisa mengganggu kinerja keuangan perusahaan. Akibatnya, dapat memunculkan masalah kepercayaan (trust issue) perusahaan kepada pemerintah. 

"Ini terindikasi dari kebijakan DMO (domestic market obligation) seringkali tidak sesuai targetnya. Bahkan, realisasinya bahkan kurang dari separuh targetnya," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (2/4).

Padahal, ungkap Eliza, APBN masih surplus Rp22,8 triliun per 15 Maret 2024. Karenanya, ia menyarankan pemerintah melakukan refocussing anggaran sehingga bisa mencicil utang kepada perusahaan.

Sponsored

Menurutnya, pemerintah juga harus melihat kembali prioritas belanja. Dengan ruang kapasitas fiskal yang terbatas, negara mestinya lebih bijak dalam membelanjakan APBN dengan menunda terlebih dahulu pendanaan proyek mercusuar yang boros dan belum urgen.

Sementara itu, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho, khawatir dana yang akan digunakan nantinya diambil dari pos anggaran lainnya. Ia pun sangsi pemerintah kali ini serius menunaikan kewajibannya karena tak tak memberikan jawaban pasti soal pembayaran dilakukan.

Padahal, ia mengingatkan, Sucofindo sudah rampung melakukan verifikasi dan BPDPKS masih "berdompet tebal". "Jadi, tunggu apa lagi? Ini cerminan pemerintah lamban," ucapnya kepada Alinea.id.

Lebih jauh, Andry berpandangan, berlarut-larutnya pembayaran utang rafaksi migor menunjukkan pemerintah memamerkan aibnya sendiri. Imbasnya, pengusaha maupun pedagang bakal angin-anginan untuk kembali mengiyakan penugasan dari negara.

Ia ragu pembayaran dapat dilakukan dalam waktu cepat sekalipun sebenarnya memiliki anggaran dan verifikasi sudah selesai. Namun, dipengaruhi bedanya pengambil kebijakan di Kemendag.

"Prosesnya tidak dilakukan menteri perdagangan yang tidak jabat lagi sekarang. Prosesnya jadi tidak jelas dan berlarut," jelasnya. Penugasan migor 1 harga diberlakukan era Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, yang menjabat hingga 15 Juni 2022.

Berita Lainnya
×
tekid