Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan tetap melakukan pemberantasan penangkapan ikan ilegal l meskipun Menteri KKP Susi Pudjiastuti tak lagi menjabat. Dirjen Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar mengatakan bahkan Indonesia terus menyuarakan pemberantasan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di tingkat global.
Zulficar menuturkan dia mewakili Indonesia menyuarakan hal tersebut dalam KTT tentang Keselamatan Kapal Perikanan dan IUU Fishing yang berlangsung di Malaga, Spanyol, Oktober 2019.
Dalam KTT internasional tersebut, Zulficar menyampaikan, Indonesia mendorong pemberantasan penangkapan ikan ilegal melalui peningkatan standar kualitas keselamatan dan keamanan kapal perikanan.
Konferensi ini bertujuan untuk mendorong ratifikasi Cape Town Agreement 2012 (CTA 2012), sebuah instrumen internasional terkait keselamatan kapal perikanan. Berlakunya CTA 2012 akan membantu setiap negara untuk memberantas IUU Fishing dengan membentuk standar keselamatan internasional bagi kapal perikanan.
"Hal ini tak lain karena pada praktiknya, pelaku IUU Fishing seringkali menggunakan kapal-kapal yang tidak memenuhi standar keamanan dan kelayakan kapal," kata Zulficar dalam keterangan resmi, Kamis (24/10).
Di hadapan perwakilan 148 negara yang hadir, Zulficar menyampaikan Indonesia telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang tegas dalam upaya memberantas IUU Fishing.
"Beberapa di antaranya melalui penenggelaman kapal untuk memberikan efek jera, larangan alih muat di tengah laut, dan larangan alat tangkap yang merusak lingkungan," ujarnya.
Menurut Zulficar, kebijakan-kebijakan tersebut sejalan dengan Sustainable Development Goals 14 yang bertujuan untuk menjaga agar pemanfaatan laut dilakukan secara keberlanjutan.
Selain itu, ujar dia, pemberantasan IUU Fishing juga dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan negara, menjamin keberlanjutan sumber daya ikan, dan memastikan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan.
Zulficar menjelaskan, sebagai upaya preventif terhadap praktik IUU Fishing, Indonesia juga telah meratifikasi dua instrumen internasional mengenai pencegahan IUU Fishing. Keduanya yakni Port States Measures Agreement pada tahun 2016 dan Standard Training and Certification and Watchleeping for Fishing Vessel Personel pada tahun 2019.
"Pekerjaan di atas kapal perikanan merupakan pekerjaan berisiko tinggi dan rentan terhadap kecelakaan dan kematian. Praktik kerja di atas kapal seringkali mengakibatkan adanya kekerasan fisik, jam kerja awal kapal yang berlebihan, dan minimnya kelayakan kondisi kerja. Memperhatikan kondisi ini, Indonesia menyampaikan komitmennya untuk meratifikasi CTA 2012," ucap Zulficar.
CTA 2012 akan berlaku dalam jangka waktu 12 bulan setelah paling sedikit 22 negara, dengan total keseluruhan jumlah kapal sebanyak 3.600 dengan panjang minimal 24 meter yang beroperasi di laut lepas menyatakan kesepakatannya untuk terikat dalam perjanjian ini.
Hingga saat ini, terdapat 13 negara yang telah meratifikasi CTA yaitu Belgia, Congo, Kepulauan Cook, Denmark, Prancis, Jerman, Islandia, Belanda, Norwegia, Saint Kitts and Nevis, Sao Tome and Principe, Afrika Selatan, dan Spanyol.
"Ratifikasi terhadap CTA 2012 ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen kuat dalam pemberantasan IUU Fishing," kata Zulficar.
Jaminan kesejahteraan nelayan
Di sisi lain, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan pemerintah dapat memenuhi mandat yang terdapat di dalam Undang-Undang 7/2016 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
"Mandat di dalam (UU No 7/2016) itulah yang menjadi landasan atau titik berangkat jika mau mewujudkan poros maritim," kata Sekjen Kiara, Susan Herawati.
Menurut dia, mandat itu penting karena di dalam UU tersebut ada tugas KKP untuk memberikan kepastian usaha kepada para subjek di dalam peraturan perundang-undangan itu.
Dengan demikian, lanjutnya, dalam perikanan tangkap ada kepastian ruang bagi nelayan tetap melaut. Namun, ia berpendapat bahwa selama ini UU tersebut hanya terkesan mengurus soal asuransi nelayan saja. "Tapi tidak berani bicara atau menjalankan mandat lebih dari itu," katanya.
Susan juga mengaku skeptis bahwa dengan susunan kabinet yang ada bisa mewujudkan poros maritim dunia.
Sebelumnya, Sekjen Kiara juga menyatakan, sosok yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan harus bisa melampaui aktivitas penenggelaman kapal ikan ilegal.
"Kami melihat, kedaulatan yang dibangun selama ini oleh KKP hanya sebatas penenggelaman kapal, tapi tidak masuk ke dalam ranah perampasan ruang hidup nelayan dan perempuan nelayan," katanya.
Menurut Susan Herawati, selama masa tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Poros Maritim Dunia masih sebatas mimpi.
Hal itu, ujar dia, antara lain karena orientasi kebijakan investasi yang tidak berpihak kepada kehidupan masyarakat pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.