sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kala taipan saham jadi tersangka 'penjarah' Jiwasraya & ASABRI

Konglomerat Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat yang dikenal sebagai bos sejumlah perusahaan publik, kini menjadi tersangka Jiwasraya.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Senin, 27 Jan 2020 06:06 WIB
Kala taipan saham jadi tersangka 'penjarah' Jiwasraya & ASABRI

Senyum kecut Benny Tjokrosaputro tersungging usai diperiksa sebagai saksi. Dia tertunduk lesu saat keluar dari pemeriksaan sebagai saksi kasus skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Kejaksaan Agung.

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut konglomerat itu. Wajah muram pria yang akrab disapa Bentjok tersebut menyiratkan kegalauan lantaran dirinya telah ditetapkan sebagai tersangka.

Benny Tjokro yang sempat masuk jajaran 50 orang terkaya versi Majalah Forbes pada 2018 itu keluar dari Gedung Kejagung, Selasa (14/1) pukul 17.10 WIB petang. Taipan terkaya urutan 43 dengan kekayaan Rp9,3 triliun itu resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan untuk 20 hari ke depan.

Sembari menundukkan wajah, Bentjok yang mengenakan rompi merah muda itu langsung masuk ke mobil tahanan Kejagung. Dia ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa sebagai saksi untuk kedua kalinya.

Ya, Bentjok terseret kasus perusahaan asuransi pelat merah Jiwasraya dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau ASABRI.

Kedua perusahaan asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu mengalami kerugian dalam portofolio saham yang mereka investasikan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui reksa dana.

Kerugian tersebut menyebabkan Jiwasraya mengalami gagal bayar polis JS Saving Plan sebesar Rp12,4 triliun per Desember 2019. Sementara itu, Kejagung memperkirakan Jiwasraya berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp13,7 triliun hingga Agustus 2019. 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan kerugian yang dialami ASABRI antara Rp10 triliun–Rp16 triliun.

Sponsored

Dari semua emiten yang diinvestasikan oleh kedua BUMN asuransi tersebut, PT Hanson International Tbk. (MYRX); PT Trada Alam Mineral Tbk. (TRAM); dan PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP) memiliki keterkaitan langsung dengan aktor dugaan korupsi Jiwasraya.

Di sinilah keterkaitannya, yaitu Benny Tjokrosaputro sebagai Direktur Utama MYRX serta Heru Hidayat sebagai Komisaris Utama IIKP dan TRAM. 

Dua konglomerat itu diduga berperan dalam investasi yang dilakukan oleh Jiwasraya. Bahkan, keduanya sama-sama kelahiran Surakarta, Jawa Tengah.

Ketiga emiten tersebut acapkali disebut ‘saham gorengan’, lantaran kapitalisasi pasarnya yang masih rendah dan pergerakan sahamnya fluktuatif, sehingga memiliki risiko yang tinggi. 

Selama tahun 2019, saham MYRX, TRAM, dan IIKP berturut-turut anjlok sebesar 57,16%, 70,59%, dan 79,17%. Kini, saham ketiga emiten tersebut hanya bernilai Rp50 per lembar. Lantas bagaimana kinerja ketiga perusahaan tersebut?

PT Hanson International Tbk. (MYRX)/ Perseroan

PT Hanson International Tbk. (MYRX)

Perusahaan ini mulai berdiri pada 7 Juli 1971 dengan nama PT Mayertex Indonesia yang bergerak di bidang tekstil. Keluarga Tjokrosaputro mendirikan perusahaan ini setelah membeli sebuah pabrik garmen. 

Pada 1990, perseroan melaksanakan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) dan menjadi perusahaan terbuka dengan kode emiten MYRX. Kemudian, perusahaan berganti nama menjadi PT Hanson Industri Utama Tbk. pada 1994 dan PT Hanson International Tbk. sejak 2004 hingga sekarang. 

Benny telah menakhodai Hanson sejak 2014 sebagai direktur utama. Pada November 2017–November 2019, dia sempat menjabat sebagai komisaris utama dan kembali menjadi direktur utama setelahnya. Kakeknya, Kasoem Tjokrosaputro merupakan pendiri dari Batik Keris, sebuah nama batik ternama Indonesia asal Solo, Jawa Tengah.

Hanson International kini fokus bergerak di bidang properti sejak 2013 melalui PT Mega Mandiri Jaya. Per 31 Desember 2018, MYRX memiliki aset berupa tanah seluas 3.221 hektare (Ha) yang tersebar di Maja, Lebak (Banten); Tigaraksa dan Cisauk, Tangerang (Banten); Harapan Jaya dan Sukawangi, Bekasi (Jawa Barat), dan Parung Panjang, Bogor (Jawa Barat). 

Beberapa proyek yang sudah dikembangkan oleh MYRX di antaranya adalah Citra Maja Raya (bekerja sama dengan Grup Ciputra), Millenium City di Cisauk, serta Forest Hill di Parung Panjang. Pihaknya juga berencana mengembangkan 150 Ha lahan di sebelah barat Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. 

Hingga 30 September 2019, total nilai aset MYRX tercatat sebesar Rp12,9 triliun, lebih besar dari 31 Desember 2018 yang mencapai Rp11,62 triliun.

Kinerja keuangan MYRX terbilang positif. MYRX berhasil membalikkan kerugian bersih berjalan dari Rp85,27 miliar pada 2017 menjadi untung Rp148,79 miliar pada 2018. Pada kuartal III-2019, perseroan telah meraup laba bersih berjalan sebesar Rp98,13 miliar.

Pencapaian tersebut tampaknya tidak sejalan dengan pergerakan sahamnya. Setelah mengalami kenaikan saham sebesar 8,17% pada 2018, nilai saham MYRX ambrol hingga 57,16% pada 2019.

PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM)/ Perseroan

PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM)

Perusahaan yang bergerak di bidang jasa angkutan pelayaran laut ini, berdiri pada tahun 1998 dan mencatatkan kepemilikannya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2008 dengan nama PT Trada Maritime Tbk. (TRAM). 

Pada 2017, perusahaan ini baru berganti nama menjadi PT Trada Alam Minera Tbk. setelah diversifikasi usaha ke sektor pertambangan. Hal tersebut dilakukan melalui akuisisi PT Semeru Infra Energi, PT Black Diamond Energi, dan PT SMR Utama Tbk. (SMRU). 

Dua perusahaan pertama merupakan pemilik dari PT Gunung Bara Utama, sebuah tambang batu bara di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Adapun yang terakhir adalah perusahaan jasa pertambangan. Pada tahun yang sama , PT Graha Resources milik Heru Hidayat menjadi pemilik mayoritas saham TRAM.

Strategi diversifikasi tersebut awalnya membawa berkah. Perseroan mampu membalikkan rugi bersih berjalan Rp263,60 miliar pada 2016 menjadi laba bersih berjalan Rp3,94 miliar pada 2017. 

Hal ini terjadi dikarenakan lonjakan pemasukan dari pertambangan batu bara, jasa pertambangan, dan jasa angkutan cair dan gas. Kemudian, laba bersih TRAM naik pesat menjadi Rp228,26 miliar pada 2018 yang mayoritas berasal dari penjualan batu bara, yakni sebesar 68,36% dari total pendapatan. 

Selanjutnya tahun 2019, tampaknya membuat kantong TRAM semakin kering. Pasalnya hingga kuartal III-2019, perusahaan tersebut mengalami rugi bersih sebesar Rp38,34 miliar, seiring dengan anjloknya harga batu bara di pasar internasional. Hal ini berimbas pada terjungkalnya harga saham TRAM sebesar 70,59% sepanjang tahun 2019.

PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP)/ Perseroan

PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP)

IIKP adalah salah satu produsen ikan arwana terbesar di Indonesia. Saat didirikan, perusahaan ini bergerak dalam produksi plastik dengan nama PT Inti Indah Karya Plasindo dan melantai di bursa efek pada tahun 2002. 

Melihat peluang bisnis ikan arwana yang cerah, perseroan berganti nama menjadi PT Inti Kapuas Arowana Tbk. pada 2005 dan berubah menjadi PT Inti Agri Resources Tbk. sejak 2008. IIKP memiliki produk unggulan berupa ikan arwana super red di bawah merek dagang shelookRED dan memiliki dua gerai di Jakarta. 

IIKP memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Inti Kapuas Arowana dan PT Bahari Istana Alkausar. Selain menjadi komisaris utama, Heru Hidayat juga menjadi pemilik IIKP melalui PT Maxima Agro Industri (MAI) sebagai anak usaha PT Maxima Integra Investama, yang 99,5% sahamnya dimiliki oleh Heru.

Kinerja keuangan IIKP kerap mendapat rapor merah. IIKP tercatat mengalami rugi bersih sebesar Rp13,01 miliar pada 2017 dan membengkak menjadi Rp15,07 miliar pada 2018. 

Menurut laporan tahunan perusahaan, hal ini terjadi lantaran permintaan dari Tiongkok melorot. Pada kuartal III-2019, IIKP meraup laba bersih periode berjalan sebesar Rp88,32 miliar. 

Banjir fulus tersebut disebabkan oleh penjualan saham sebesar Rp96,49 miliar. Selama periode tersebut, ASABRI melepas 543,49 juta lembar sahamnya, sehingga kepemilikannya berkurang dari 13,19% menjadi 11,58%. 

Meskipun demikian, kepemilikan ASABRI masih lebih besar dibandingkan PT MAI yang tetap 6,30% hingga kuartal III-2019. Di sisi lain, muncul Dhanawibawa Ekuitas Syariah (PT Dhanawibawa Manajemen Investasi) sebagai pemilik baru yang menguasai 5,11% saham. 

Kenaikan drastis laba perusahaan Arowana tersebut tak sejalan dengan pergerakan harga sahamnya. Saham IIKP anjlok sebesar 27,17% pada 2018 dan terjun bebas sebesar 79,17% pada 2019. Seperti MYRX dan TRAM, IIKP telah masuk ke dalam kelompok saham gocapan

Infografik profil Benny Tjokrosaputro. Alinea.id/Dwi Setiawan

Pasar modal suram

Terseretnya konglomerat dalam pusaran kasus Jiwasraya dan ASABRI turut mendapatkan respons dari Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI).

Pengamat pasar modal AAEI Reza Priyambada berpendapat, pergerakan emiten saham dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu fundamental, sentimen pasar, dan persepsi pasar.

Menurut dia, pelaku pasar sudah menganggap MYRX, TRAM, dan IIKP adalah ‘saham gorengan’ yang memiliki volatilitas yang tinggi. “Sekarang, dengan terkuaknya permasalahan yang ada di tingkat institusi (Jiwasraya dan ASABRI), persepsi pasar akan lebih negatif lagi,” bebernya kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (22/1).

Meskipun MYRX dan TRAM relatif baik secara fundamental, persepsi negatif telah tertanam kuat di benak para pelaku pasar. Hal ini menyebabkan emiten-emiten itu sulit keluar dari klub saham gocapan

Reza menilai MYRX, IIKP, dan TRAM akan sulit bangkit dalam waktu dekat. “Agak sulit memulihkan persepsi pelaku pasar. Apalagi persepsi negatif. Persepsi negatif di balik ke positif agak repot. Ini butuh pembuktian. Pelaku pasar butuh diyakinkan kalau itu bukan saham-saham gorengan,” tegasnya.

Terpisah, Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma mengatakan, analisis fundamental dan analisis teknikal sudah tidak berlaku bagi MYRX, IIKP, dan TRAM. “Untuk saham-saham itu, kita enggak usah lihat kinerja. Itu memang terjadi permasalahan beberapa kasus terkait pemilik saham-saham itu kan,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Sentimen dari Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat sebagai market maker, kata dia, lebih berpengaruh terhadap pergerarakan saham ketiganya.

Suria melihat, sudah terlambat bagi para pemegang saham untuk ‘keluar’ dari tiga emiten tersebut karena harganya sudah mencapai Rp50 per lembar pada sisi offer (penawaran jual) di pasar reguler. 

Dia menambahkan, persepsi pasar yang negatif membuat ketiga emiten tersebut sulit menjual sahamnya. Ia menyarankan pemegang saham memanfaatkan pasar negosiasi apabila ingin menjual saham di ketiga emiten tersebut. 

“Orang mungkin antre di bawah Rp50 per lembar, mungkin belum tentu juga ada yang beli. Ada risiko saham-saham ini nanti bagaimana kan? Penyelesaiannya juga enggak tahu kan? Ada yang bertahun-tahun mati, terus delisting. Sahamnya dimiliki, tapi enggak bisa dijual,” ungkapnya. 

Manajemen risiko, ucapnya, menjadi penting bagi individu maupun institusi seperti Jiwasraya dan ASABRI dalam terjun ke dalam pasar modal. “Kalau untuk kondisi seperti ini mau dilikuidasi pun juga gimana sahamnya, enggak ada beat-nya. Kedua ada pilihan lainnya (memilih saham atau instrumen lain),” urainya.

Reza Priambada menilai, Jiwasraya dan ASABRI sebaiknya merustrukturisasi portofolio investasi mereka. Menurutnya, tiap institusi keuangan sudah memiliki pedoman dalam investasi dan menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG). 

“Jadi bukan salah sahamnya, tapi salah berbagai pihak, entah pihak atau oknum yang ada di institusi tersebut. Mereka sudah tahu pedomannya tidak membolehkan masuk ke saham-saham tersebut,” tuturnya.

Melihat perkembangan yang ada, Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan suspensi (penghentian sementara) terhadap kegiatan perdagangan efek MYRX, IIKP, dan TRAM. 

Keputusan ini berdasarkan surat yang dikeluarkan OJK No.SR-11/PM.21/2020 tanggal 22 Januari 2020 dan berlaku di semua pasar efek. Perdagangan MYRX telah disuspensi sejak 16 Januari lalu, sedangkan IIKP dan TRAM baru disuspensi pada 23 Januari. Sebagai anak usaha TRAM, SMRU juga dikenakan suspensi dalam perdagangan sahamnya per 23 Januari. 

“Pembukaan suspensi atas efek-efek di atas, hanya dapat dipertibangkan apabila Perusahaan Tercatat telah memenuhi kewajiban kepada BEI dan pihak OJK telah memerintahkan pembukaan suspensi atas efek-efek dimaksud,” tulis Sekretaris Perusahaan PT BEI Yulianto Aji Sadono dalam keterangan resmi, Rabu (22/1). 

Infografik profil Heru Hidayat. Alinea.id/Oky Diaz Fajar

Berita Lainnya
×
tekid