sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Wawancara: Korupsi, kampung fiktif, hingga bukti sukses Dana Desa

Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi menjelaskan Dana Desa secara lengkap.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Selasa, 28 Jan 2020 06:06 WIB
Wawancara: Korupsi, kampung fiktif, hingga bukti sukses Dana Desa

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menambah alokasi Dana Desa hingga Rp400 triliun dalam lima tahun ke depan. Dana ini berpotensi diselewengkan oleh aparat desa, seperti yang terjadi pada desa fiktif beberapa waktu lalu.

Sejak awal masa bakti hingga sekarang, Presiden Jokowi selalu menggembar-gemborkan isu pembangunan desa tertinggal pada hampir setiap kunjungannya ke desa-desa.

Berdasarkan catatan, tak kurang dana sebanyak Rp187,68 triliun telah digelontorkan Jokowi untuk pembangunan desa pada periode awal kepemimpinannya (2014-2018).

Tahun ini, perdesaan kembali mendapatkan angin segar dengan gelontoran dana sebanyak Rp72 triliun. Bahkan, Jokowi juga berjanji akan mengalokasikan anggaran Rp400 triliun untuk pembangunan desa hingga 2024 mendatang.

Artinya, akan ada peningkatan anggaran rerata Rp80 triliun bagi urusan lokus di pedesaan setiap tahunnya. Lonjakan itu setara hampir 250% dari anggaran pada periode pemerintahan sebelumnya.

Tapi masalahnya, cerita sukses soal pembangunan desa yang digemborkan Jokowi selama ini masih sangat minim pemberitaan. Sebaliknya, yang kerap ramai diberitakan justru isu terkait penyelewangan Dana Desa oleh aparatur negara dan kabar adanya desa fiktif.

Seperti diketahui bersama, pada akhir 2019 lalu, beredar isu tentang adanya 56 desa fiktif yang mendapatkan aliran dana dari pemerintah. Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati bahkan terpaksa membekukan sementara pencairan dana untuk desa-desa tersebut.

Meskipun memang, hingga sekarang belum diketahui secara pasti total kerugian negara atas kasus ini. Namun, hal itu bisa menjadi potret lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah terkait, dalam hal ini tentunya Kementerian Desa Pembangunan Dearah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada urusan Dana Desa.

Sponsored

Reporter Alinea.id berkunjung ke kantor Kemendes PDTT untuk meminta klarifikasi atas penilaian miring tersebut. Wakil Menteri Desa PDTT Budi Arie Setiadi menyambut dengan hangat.

Usai merapikan sejumlah dokumen di meja dan menelepon seorang dokter untuk konsultasi kesehatan, aktivis yang juga pendiri Projo (Pro Joko Widodo) itu mulai memberikan penjelasan terkait berbagai isu.

Menurut Budi, pemerintah selama ini sudah melakukan pengawasan yang baik terhadap seluruh aliran Dana Desa. Data dan informasinya sudah lengkap tercatat dalam sistem. Jadi, katanya, tidak ada desa fiktif. Yang ada adalah desa yang tidak lengkap secara administrasi.

Gini lho, desa fiktif itu soal administratif. Malaadministrasi. Jadi gini, soal administrasi desa itu bukan urusan Kemendes. Itu urusan Dagri (Kemendagri) untuk administrasi desa, keberadaan desa. Kami cuma menjemput atau ngawasin di ujungnya,” kata Budi ketika berbincang di kantornya, Jakarta, Rabu (22/1).

Budi lantas memberikan keterangan lebih jauh atas sejumlah pertanyaan kami. Berikut adalah petikan wawancara reporter Alinea.id dengan Wamendes PDTT Budi Arie Setiadi. Beberapa teks yang keluar dari topik, kami pangkas supaya memudahkan pembaca.

Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi saat ditemui di Kementerian Desa, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (22/1). Alinea.id/Annisa Rahmawati

Polemik desa fiktif sampai saat ini sudah sejauh mana?

Gini lho, desa fiktif itu soal administratif, malaadministrasi. Jadi gini, soal administrasi desa itu bukan urusan Kemendes. Itu urusan Dagri (Kemendagri) untuk administrasi desa, keberadaan desa. Kami cuma menjemput atau ngawasin di ujungnya, di lapangannya. Kami sudah laporan dari 2017 bahwa ini ada desa bermasalah. 56 desa itu kan sudah dibekukan. Dan proses hukum jalan. Biar saja, enggak apa-apa.

Adanya desa fiktif membuat Kemenkeu semakin ketat mengucurkan Dana Desa, apakah ada dampak signifikan?

Ya, itu bagus mendukung. Kami dukunglah. Ini semua kalau untuk lebih baik, kami dukung. Karena buat kami, yang penting masyarakat desa yang terima penerima manfaat terbesar.

Langkah Kemendes PDTT untuk menghindari adanya desa-desa fiktif lagi seperti apa?

Oh, kami pantau. Kami sudah ada sistemnya. Pusat data informasi kami juga sudah lengkap. Semua ada datanya. Enggak ada itu desa fiktif. Lama-lama enggak ada, selama administrasi pemerintahannya makin lama makin baik. Jadi tanggung jawab semua pihak ini, bupati, kabupaten. Ini ‘kan tanggung jawabnya kabupaten. Ini data desanya benar, itu kan dia input. Kecamatan, desa, bupati, kan mereka menginput ini. Terus, terakhir Depdagri (Kemendagri) dan kami juga bantu lewat kewenangan kami untuk memantau benar-benar ada desa apa enggak. Jadi, sebenarnya bukan desa fiktiflah istilahnya, saya enggak terlalu setuju dengan istilah desa fiktif. Yang ada, desa yang bermasalah secara administrasi.

Berapa target pertumbuhan Dana Desa?

Ya, anggaran Dana Desa itu terus meningkat. ‘Kan Pak Presiden sudah merencanakan dalam 5 tahun ke depan Rp400 triliun. Jadi, dalam 5 tahun sekitar Rp80 triliunan rata-rata.

Dengan Dana Desa sebesar itu, apa tidak takut malah jadi celah korupsi?

Enggaklah. Kalau semuanya serba takut, ya enggak ini dong. Bahwa (nantinya) ada masalah, ya dihadapi. Kalau proses hukum, ya proses hukum kalau bermasalah. Semua ‘kan kami punya kerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kita sudah. Kami sudah sampaikan bahwa kalau ini (menyeleweng) kami tegur, kami beri tahu kalau enggak bisa juga dibilang, ya sudah berurusan dengan pihak yang berwajib. Gitu lho. Jadi spirit itu sudah terjadi. Kami sudah bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, KPK untuk ini. Jadi gini lho kepala desa yang masih (bisa) kami ingetin (untuk) jangan (korupsi), kami ingetin. Cuma kalau udah enggak bisa lagi, sudah keterlaluan, ya sudahlah berurusan dengan yang berwajib.

Selama ini Dana Desa banyak dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas fisik, hal ini berpotensi adanya korupsi ‘kecil-kecilan’ oleh aparatur desa. Siapa yang akan mengawasi di tingkat bawah?

Kami ‘kan ada aturannya. Kalau Dana Desa enggak dipampang, apa, penggunaannya enggak dipampang, kami tegur. Kalau bisa, kami bekukan itu Dana Desanya. Jadi, harus terbuka tentunya alokasi penggunaan Dana Desanya di seluruh desa. Lihat saja baliho-balihonya, ‘kan ada, ‘kan. Dana Desa sekian, untuk apa sekian. Dilaporkan secara terbuka, auditnya juga. Saya yakinlah ini baru lima tahun, ke depannya saya yakin akan lebih baik. ‘Kan bisa dilihat dari yang kena kasus apa segala macam, makin lama makin menurun, gitu.

Saat ini kewenangan Dana Desa masih dipegang tiga kementerian (Kemenkeu, Kemendagri, dan Kemendes PDTT), bukankah ini justru membuat penyaluran Dana Desa jadi tidak efisien?

Jadi, gini lho, kita ‘kan harus mengikis habis ego sektoral. Kementerian Desa ini kan bertugas lokusnya. Tapi, yang lain-lain ‘kan harus di-support kementerian-kementerian yang lain.

Jadi semua departemen atau sektornya bertanggung jawab sesuai dengan tupoksi masing-masing perbidangan. Perhubungan, PU (pekerjaan umum), kesehatan, pendidikan, SDM. Tapi kan tetep lokusnya di desa. Pertanian, kan lokusnya tetap di desa.

Kementerian Pertanian kan support juga Kementerian Desa.

Memang selama ini porsi kewenangannya seperti apa?

Itu ‘kan koordinasi. Kalau tugas keuangannya ‘kan memang Depkeu (Kemenkeu). ‘Kan langsung mengelola rekening pusat dan langsung ke rekening desa. Nah, sedangkan kalau untuk Depdagri (Kemendagri) ini ‘kan urusannya, urusan aparatur desa, pembinaan bina Pemdes (pemerintahan desa).

Sedangkan Kementerian Desa ini ‘kan lebih ke lokusnya. Dalam pengertian, ‘kan kita bicara perdesaan, jadi desa dalam pengertian sosio-politik kultural desa gitu. Jadi mulai dari pembangunan ekonomi, peningkatan sumber daya manusia dan lain-lain.

Sejak Dana Desa bergulir, sudah berapa desa tertinggal yang berhasil dientaskan?

Lihat nih (menunjuk ke arah data Indeks Desa Membangun di atas meja). Terjadi peningkatan per tahun dari desa berkembang, desa maju dan desa mandiri yang sangat pesat diikuti dengan penurunan desa tertinggal 50%. Jadi, penurunan desa tertinggal sudah setengahnya dalam lima tahun.

Pertanyaan terakhir, Pak. Jabatan wamen, baru ada tahun ini. Porsi kewenangannya seperti apa?

Ya ‘kan kalau wamen, ‘kan hanya membantu menteri. Tugasnya kan sudah jelas. Tugas wamen adalah untuk membantu menteri dalam mengkoordinasikan.

Tapi enggak sampai overlapping (tumpang tindih kewenangan) ‘kan, Pak?

Ya, enggak mungkin dong. Ya, namanya wakil, ya ikut saja.

Infografik Dana Desa dan pengawasannya. Alinea.id/Oky Diaz Fajar

 

Berita Lainnya
×
tekid