Di tengah tren digitalisasi ritel, supermarket-supermarket di Amerika Serikat mulai beralih dari label harga kertas ke label harga digital—layar kecil elektronik yang memungkinkan perubahan harga secara instan dari pusat komputer. Meski menawarkan efisiensi tinggi bagi pengecer, kehadiran teknologi ini memicu kekhawatiran di kalangan konsumen dan pembuat kebijakan tentang potensi manipulasi harga secara dinamis.
Label digital memungkinkan toko mengubah harga ribuan produk hanya dalam hitungan menit, alih-alih membutuhkan waktu berjam-jam mengganti label satu per satu. Namun, beberapa konsumen khawatir label ini bisa dimanfaatkan untuk menaikkan harga saat permintaan tinggi—misalnya, harga es krim saat cuaca panas atau payung ketika hujan. Kekhawatiran ini merebak di media sosial dan bahkan mendorong sejumlah legislator AS mengusulkan pembatasan hingga pelarangan total penggunaannya.
Belum terbukti picu lonjakan harga
Meski dikelilingi kekhawatiran, hasil studi terbaru menunjukkan bahwa label digital belum terbukti menyebabkan lonjakan harga. Penelitian lima tahun terhadap jaringan supermarket di AS yang tidak disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa hanya 0,0006 persen produk mengalami kenaikan harga sesaat setelah label digital diperkenalkan—angka yang sangat kecil. Bahkan, diskon justru tercatat sedikit lebih sering diberikan setelah label digital diterapkan.
“Ketakutan soal harga yang naik mendadak tidak didukung bukti sejauh ini,” kata Ioannis Stamatopoulos, ekonom dari University of Texas yang terlibat dalam studi tersebut.
Stamatopoulos menjelaskan bahwa penggunaan label manual membuat toko enggan sering mengubah harga, padahal secara teori harga buah-buahan yang hampir busuk, misalnya, bisa segera diturunkan. Label digital membuat proses ini jauh lebih mudah.
Teknologi yang sudah umum di Eropa
Di Eropa, label harga digital telah digunakan di lebih dari 80 persen supermarket. Namun di AS, adopsinya masih tergolong rendah—baru mencakup sekitar 5 hingga 10 persen pasar. Salah satu penyebabnya adalah biaya: satu label digital berkisar antara $5 hingga $20, sementara rata-rata supermarket menjual lebih dari 100.000 produk.
Meski begitu, pemain besar seperti Walmart dan Kroger mulai melangkah serius. Walmart menargetkan penggunaan label digital di 2.300 tokonya pada 2026. Kroger dan Whole Foods juga memperluas uji coba mereka tahun ini.
Antara efisiensi dan kekhawatiran privasi
Selain mempercepat pembaruan harga, label digital juga dapat diintegrasikan dengan teknologi lain. Instacart, layanan belanja daring, telah memasang sistem yang memungkinkan label menyala saat pembelanja berada di dekat produk. Sementara jaringan supermarket di Belanda dan Belgia sudah menerapkan sistem kecerdasan buatan untuk menurunkan harga produk mendekati kedaluwarsa setiap 15 menit—mengurangi limbah makanan hingga ratusan ton per tahun.
Namun tak semua pihak antusias. Senator Elizabeth Warren dan Bob Casey menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan data dan pengawasan pelanggan. Dalam suratnya kepada Kroger, mereka menyoroti kerja sama perusahaan dengan Microsoft yang melibatkan pemasangan kamera untuk memberikan penawaran yang dipersonalisasi berdasarkan usia dan jenis kelamin pelanggan. Kroger membantah penggunaan teknologi pengenalan wajah, dan menegaskan label digital mereka tidak dipakai untuk memanipulasi harga di jam sibuk.
Ancaman bagi tenaga kerja?
Isu lain yang mengemuka adalah kekhawatiran hilangnya lapangan kerja. Legislator Arizona Cesar Aguilar menolak label digital karena dinilai berpotensi mengurangi jumlah pekerja toko. “Harga terus naik, pekerja kasir berkurang, dan teknologi malah menggantikan manusia,” ujarnya.
Namun Amanda Oren dari Relex Solutions berpendapat sebaliknya. Menurutnya, label digital justru memungkinkan toko menggunakan tenaga kerja secara lebih strategis. “Ini soal bekerja lebih cerdas, bukan memangkas tenaga kerja. Teknologi ini membebaskan staf dari pekerjaan repetitif dan membosankan,” ujarnya.(independent)