sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Larangan ekspor bijih bauksit: Upaya kerek pendapatan negara, tapi butuh kocek tebal

Pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri. Namun, sejumlah masalah mengintai.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Sabtu, 31 Des 2022 11:52 WIB
Larangan ekspor bijih bauksit: Upaya kerek pendapatan negara, tapi butuh kocek tebal

Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan waktu pasti pelaksanaan pelarangan ekspor bauksit mentah. Dalam Keterangan Pers yang ditayangkan secara daring melalui akun Youtube Sekretariat Presiden pada Rabu (21/12), dia mengungkapkan, keputusan ini diambil setelah melihat keberhasilan aturan penghentian ekspor nikel.

Dari catatannya, sejak pemerintah menghentikan ekspor bijih nikel mentah sejak 1 Januari 2020, nikel telah menunjukkan peningkatan ekspor hingga 19 kali lipat. Dari sebelumnya hanya sebesar US$1,1 miliar atau sekitar Rp17 triliun pada 2014, menjadi senilai US$20,9 miliar atau Rp326 triliun di tahun lalu. Hingga tutup tahun 2022, nilai ekspor nikel diperkirakan akan mencapai US$27 miliar hingga US$30 miliar atau sekitar Rp418,5 triliun hingga Rp465 triliun.

“Oleh sebab itu, keberhasilan ini akan dilanjutkan komoditas yang lain. Dan mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemulihan bijih bauksit di dalam negeri,” katanya.

Demi pundi-pundi rupiah

Pemimpin negara yang lebih akrab disapa Jokowi ini memperkirakan, dengan hilirisasi bahan baku aluminium ini pendapatan negara bisa terkerek hingga kurang lebih Rp62 triliun per tahun. Namun demikian, sebelum bisa merasakan keuntungan, dia sadar Indonesia bisa kehilangan pendapatan sekitar Rp21 trilun per tahun dari nilai ekspor dan devisa bauksit mentah.

“Biasanya awal-awal memang akan terjadi penurunan ekspor, tapi begitu nanti di tahun ke 2, 3 atau 4 mulai kelihatan lompatannya. Jadi bagi para menteri jangan ragu-ragu, kita harus yakin sama policy ini,” tegas dia.

Di saat yang sama, larangan ekspor bijih bauksit juga dimaksudkan untuk meningkatkan peluang kerja di tanah air. Selain meningkatkan pendapatan negara dari penerimaan pajak serta pendapatan negara bukan pajak (PNPB), devisa hingga royalty.

Ilustrasi pertambangan. Foto Pixabay.

Sponsored

Karenanya, untuk membangun industri bauksit agar lebih kuat lagi, pihaknya memberi kesempatan kepada para pengusaha, baik di dalam atau luar negeri, baik perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk bergabung bersama pemerintah.

“Pemerintah akan terus konsisten melakukan hilirisasi di dalam negeri agar nilai tambah dinikmati di dalam negeri, untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat,” imbuh mantan Walikota Solo itu.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, sama halnya dengan nikel, hilirisasi bauksit juga penting dilakukan. Apalagi, Indonesia memiliki cadangan bauksit yang sangat melimpah, yakni sekitar 3,2 miliar ton dengan ketahanan hingga 90 tahun hingga 100 tahun.

Sehingga sangat disayangkan, apabila bahan tambang yang kaya akan alumina ini hanya diekspor dalam bentuk mentah dan bauksit yang sudah dicuci. Dari catatannya, nilai ekspor bauksit yang telah dicuci paling banyak mencapai US$500 juta hingga US$600 juta. Di saat yang sama, Indonesia masih mengimpor aluminium yang merupakan komoditas turunan dari bauksit dengan nilai rata-rata Rp2 miliar per tahun.

“Jadi tentu, dengan adanya pabrik yang berproses di Indonesia ini, US$2 miliar ini akan menjadi penghematan devisa,” kata Airlangga pada saat mendampingi Jokowi dalam menyampaikan keterangan pers.

 

Sementara itu, untuk menyukseskan hilirisasi ini sekaligus juga mendorong industri permesinan serta konstruksi, pemerintah menargetkan pengoperasian 12 smelter atau fasilitas pengolahan bauksit sebelum aturan ini resmi diberlakukan enam bulan dari sekarang. Dus, Indonesia bisa memenuhi kapasitas produksi olahan bauksit sebesar 41,5 juta ton per tahun. Adapun sampai saat ini, disebutkan Airlangga, baru ada empat smelter existing dengan kapasitas produksi alumina sebesar 4,3 juta ton.

“(Fasilitas) pemurnian bauksit dalam tahap pembangunan. Kapasitas inputnya adalah 27,41 juta ton dan kapasitas produksi 4,98 juta ton atau mendekati 5 juta ton,” ungkap Ketua Umum Partai Golkar itu.

Baik cadangan maupun produksi bauksit nasional memang masih sangat tebal. Pada 2021 saja, menurut Survei Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survey/USGS), produksi hasil tambang ini mencapai 18 juta metrik ton. Menjadikan Indonesia sebagai produsen bauksit terbesar ke enam di dunia, setelah India dan Brasil yang masing-masing sebesar 22 juta metrik ton dan 32 juta metrik ton.

 

Butuh dana jumbo

Meski begitu, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baru terdapat tiga fasilitas pemurnian. Yakni, satu smelter milik PT Well Harvest Winning AR dengan produksi sekitar 1 Juta SGA (smelter grade alumina), smelter milik PT Indonesia Chemical Alumina dengan produksi 300.000 CGA (chemical grade Alumina), serta smelter PT Inalum yang memproduksi sekitar 250.000 aluminium ingot dan billet.

Untuk menggenjot pengolahan bauksit, pemerintah melalui Kementerian ESDM pun menargetkan pengoperasian 9 smelter baru dengan keluaran SGA, serta satu pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit dengan keluaran CGA.

Kata Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto, keberadaan smelter memang dapat efektif meningkatan nilai ekspor bauksit dan turunannya. Untuk mencapai nilai pendapatan negara yang diharapkan pemerintah, membutuhkan sedikitnya lima smelter untuk mengolah bauksit menjadi alumina.

Bagi pemerintah, ujarnya, mungkin mudah mengatakan bakal menggenjot pengolahan bauksit dengan penambahan smelter. Namun pada kenyataannya, untuk membangun sebuah smelter berkapasitas 2 juta ton membutuhkan biaya jumbo, sekitar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,7 triliun.

“Mau mencari investor baik dari dalam atau luar negeri juga enggak mudah. Kami tawarkan ke HIMBARA (Himpunan Bank Negara), mereka juga enggak mau. Apalagi nanti ke investor luar?” keluhnya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (28/12).

Di saat yang sama, pembangunan smelter juga masih terhambat ketidaksinkronan perizinan di pemerintah pusat dan daerah. Pun dengan ketersediaan energi besar untuk operasional smelter hingga akses transportasi dan keamanan.

“Pemerintah sebenarnya mewajibkan industri untuk mendirikan smelter, lewat Undang-Undang Mineral dan Batubara yang direvisi tahun 2020 dan kami (anggota APB3I) terus berupaya untuk mematuhi kewajiban ini,” imbuhnya.

Berbagai kerja sama pun telah dijajakinya dengan berbagai investor, namun hasilnya nihil. Tidak ada komitmen anyar hingga hari ini. Tak heran jika dari catatan APB3I, sampai saat ini baru ada dua smelter existing dengan konsumsi bijih bauksit sebanyak 12 juta ton per tahun. Dengan produksi yang mencapai 58 juta ton, maka ada 44 juta ton bijih bauksit yang belum terserap.

Hal lain yang terkadang menjadi soal, pihak smelter kerap kali seenaknya dalam menetapkan harga beli bijih bauksit. Artinya, keuntungan yang didapatkan oleh pengusaha bauksit pun sedikit. “Dengan harga sekitar US$0,03 per kilogram, lebih baik mengekspor bijih bauksit yang kami punya,” ungkapnya.

Terkait hal ini, Ronald pun berharap ada dukungan pembiayaan dari sisi pemerintah untuk pembangunan bijih bauksit. Jika tidak, kewajiban pembangunan smelter bisa diterapkan kepada perusahaan yang sudah siap dengan modal besar saja.

“Karena tidak semua perusahaan sanggup dan punya kemampuan buat bangun smelter. Atau lebih baik lagi kalau ada konsorsium smelter. Dengan konsorsium, nanti anggota-anggotanya bisa mengakses smelter yang ada,” sarannya.

Sebaliknya, jika peta jalan tidak dirancang dengan baik ataupun tidak ada campur tangan dari pemerintah, dia khawatir pengusaha bauksit harus merugi. Bahkan, lebih parahnya lagi banyak perusahaan bisa tutup apabila produksi bauksit mereka tidak terserap dengan maksimal.

Dari catatan Ronald, saat ini terdapat 30 perusahaan tambang bauksit yang sudah terdaftar dan memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), dengan rata- rata pegawai sekitar 200 hingga 250 orang.

“Puluhan perusahaan itu bisa terancam tutup kalau pemerintah tidak segera mengatasi kekurangan fasilitas smelter bauksit,” lanjut dia.

Sementara itu, berbeda dengan Ronald, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kadin Indonesia Carmelita Hartato mengungkapkan, pada dasarnya Kadin mendukung kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah bauksit. Meski begitu, butuh waktu lebih lama untuk menyiapkan fasilitas dan ekosistem industri.

Dengan begitu, industri bisa benar-benar efektif menyerap produk bauksit yang melimpah. Pasalnya, industri pengolahan bauksit masih jauh dari kata siap untuk menyambut kebijakan ini, berbeda dengan industri pengolahan nikel.

“Ini terlihat dari jumlah smelter existing yang baru empat, sedangkan produksi bauksitnya sendiri sangat melimpah,” ujarnya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/12).

Selain itu, untuk membangun delapan smelter lain hingga mengoperasikannya, waktu sekitar lima atau enam bulan jelas tidak akan cukup. Pasalnya, untuk membangun sebuah smelter dibutuhkan waktu untuk pembebasan lahan hingga mengurus perizinan. Di saat yang sama, pengusaha juga perlu mencari investor untuk mendukung pendanaan.

Ilustrasi. Foto Pixabay.

Belum lagi, Indonesia belum punya peta jalan (road map) hilirisasi bauksit yang jelas. “Kalau sudah ada peta jalan dan smelternya sudah siap, baru lah kebijakan ini bisa dilakukan,” imbuh dia.

Hal ini pun diamini Pengamat Ekonomi Energi sekaligus Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Dia bilang, kebijakan ini pada dasarnya memang bisa meningkatkan nilai tambah dari industri bauksit. Namun, pemerintah dan industri harus menghadapi tantangan utama berupa serapan bijih bauksit.

Apabila smelter belum siap, sedangkan ekspor sudah dilarang, dia khawatir pasokan bauksit yang ada akan terbuang sia-sia. Perusahaan berorientasi ekspor pun akan kehilangan pendapatannya.

“Karena itu, untuk menggenjot pembangunan smelter, pemerintah perlu memberikan berbagai insentif seperti tax holiday, tax allowance, sampai bebas bea impor untuk produk peralatan smelter,” kata dia kepada Alinea.id, Kamis (29/12).

Terpisah, Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios) Zakiul Fikri bilang, dalam jangka waktu panjang kebijakan larangan ekspor memang bisa menguntungkan Indonesia.

Namun, sebelumnya pemerintah harus siap menghadapi gugatan dunia di WTO (World Trade Organization) dan Uni Eropa, seperti halnya nikel. Untuk itu, pemerintah harus mampu mencari celah untuk meyakinkan dunia internasional bahwa kebijakan ini tidak bertentangan dengan kesepakatan internasional yang telah disepakati dan diberlakukan Indonesia.

Menanti skema terbaik

Di dalam negeri, pemerintah bersama industri perlu merumuskan skema terbaik dari hilirisasi bauksit ini. Sebab, bagi industri, kebijakan untuk menjalankan larangan ekspor dan membangun fasilitas pemurnian, pengusaha membutuhkan dana yang tidak sedikit.

“Ini perlu dibahas baik-baik. Kalau tidak, kebijakan ini justru bisa jadi bumerang bagi Indonesia,” tegasnya.

Sementara itu, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik, Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengungkapkan, pemerintah tengah merumuskan peta jalan hilirisasi bauksit di Tanah Air. Dengan langkah cepat pemerintah, dia memperkirakan peta jalan akan selesai pada akhir bulan ini dan siap direalisasikan awal tahun 2023.

“Kami sudah punya gambarannya. Kalau 4 juta bauksit itu jadi 2 juta alumina, jadi 1 juta aluminium. Itu rule of thumb-nya,” katanya, kepada Alinea.id, Kamis (29/12).

Meski sudah punya gambaran jelas, pihaknya masih memperhitungkan investasi yang bisa didapatkan dari proses hilirisasi ini. Sebab, bagaimanapun kunci dari pengembangan industri di Indonesia ialah investasi.

Taufiek bilang, pihaknya tak ingin bila nantinya hilirisasi justru akan menelan industri bauksit yang sudah ada dan berjalan untuk memenuhi kebutuhan nasional.

“Jadi kami masih akan terus komunikasikan dengan kementerian lain. Sehingga policy ini bisa benar-benar menguntungkan semua pihak,” imbuhnya.

Terpisah, Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, pihaknya telah memanggil pengusaha bauksit untuk membahas pelaksanaan hilirisasi bauksit ini. Dengan demikian, diharapkan tidak ada gejolak setelah larangan ditetapkan.

Tapi yang pasti, penerapan kebijakan larangan ekspor ini sudah menjadi harga mati yang harus dilakukan baik oleh pemerintah maupun dunia usaha untuk meningkatkan nilai tambah komoditas bauksit di tanah air.

“Kami sudah rapat dengan para pelaku usaha langkah-langkah yang akan dilakukan, supaya saat larangan ini terjadi kami bisa menyikapinya secara produktif,” jelasnya, kepada Alinea.id, Jumat (30/12).

Berita Lainnya
×
tekid