sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

'Memungut' dan menjual sampah demi ekonomi sirkular ala startup

Startup lingkungan menjalankan bisnis pengelolaan sampah yang mendatangkan keuntungan sekaligus menjaga ekonomi sirkular.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 17 Okt 2022 14:02 WIB
'Memungut' dan menjual sampah demi ekonomi sirkular ala startup

Indonesia menduduki peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, menyusul Amerika Serikat (AS), India, China, dan Brazil, yakni mencapai 9,13 juta ton sampah plastik per tahun. Hal ini terungkap dalam laporan lembaga survei World Population Review baru-baru ini.

Fakta ini semakin menguat dengan data lain dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia KLHK  Ade Palguna mengungkapkan ada sebanyak 30,43 juta ton timbulan sampah di bumi pertiwi. Terbanyak adalah sampah sisa makanan, yang mencapai 40,14% dan sampah plastik 17,56%.

Bicara soal sampah plastik, Ade mengakui, sampai saat ini Indonesia belum bisa menangani permasalahan sampah ini dengan baik. Banyak masyarakat yang masih menangani sampah plastik dengan dibakar, padahal asap dari pembakaran sampah plastik menimbulkan polusi udara.

Sementara sebagian besar lainnya, dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPS) atau tempat pembuangan akhir (TPA). Sayangnya, sampah yang berakhir di kedua tempat ini pun belum bisa dikelola dengan baik, hanya menjadi gunungan sampah yang siap menjadi bencana kapan saja. Adapun sampah plastik yang berhasil di daur ulang, hanya sekitar 5% dari total sampah plastik. 

“Banyak yang malah dibuang di tanah, ke aliran sungai, dan ini akan berakhir di laut,” katanya, kepada Alinea.id, Selasa (27/9).

Dengan kondisi ini, tak heran jika Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik di laut terbesar di dunia, setelah Tiongkok. Jika mengacu pada data Jambeck yang dirilis tahun 2015, papar dia, ada sebanyak 187,2 juta ton sampah plastik di laut yang dihasilkan oleh Indonesia. Sementara China memproduksi sekitar 262,9 juta ton sampah plastik di laut.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pun merancang Rencana Aksi Nasional (RAN) Sampah Laut 2018-2025 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Setelah berjalan selama tiga tahun, upaya ini diklaim pemerintah efektif mengurangi sampah plastik di laut sebanyak 25%.

Meski capaian ini patut diapresiasi, Ade menilai tidak hanya pemerintah namun juga berbagai pihak perlu lebih ambisius untuk mengurangi sampah plastik yang kebanyakan berasal dari daratan ini. Bagaimana tidak, dalam RAN 2018-2025, Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik di laut mencapai 70% pada 2025 dan mendekati 0 pada 2040.

Sponsored

“Mengurangi sampah plastik sangat dipengaruhi oleh upaya dan kontribusi dari masyarakat, serta sektor lainnya seperti swasta atau dunia usaha,” tegas Ade.

Ilustrasi Pixabay.com.

Selain masalah persampahan, Indonesia pun masih berjuang untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam dokumen terbaru Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang disampaikan oleh KLHK selaku National Focal Point United Nation Convention on Climate Change (UNFCCC) 23 September kemarin, pemerintah menargetkan peningkatan NDC.  

Target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri pada Updated NDC (UNDC) sebesar 29% meningkat ke 31,89% pada ENDC, sedangkan target dengan dukungan internasional pada UNDC sebesar 41% meningkat ke 43,20%.

Untuk mencapai target ini, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawati mengungkapkan, berbagai langkah akan ditempuh pemerintah. Seperti misalnya menurunkan emisi di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada 2030, dengan penerapan Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030. 

“Melalui penguatan kebijakan, kelembagaan dan perangkat pendukung, peningkatan target penurunan emisi GRK dan penguatan komitmen, maka Indonesia dapat lebih mengatasi dampak perubahan iklim di tingkat nasional dan berkontribusi ke tingkat global,” ungkapnya, kepada Alinea.id, Jumat (7/10).

Kontribusi dunia usaha

Di sisi lain, dunia usaha pun berusaha untuk mengambil peran aktif dalam upaya penurunan emisi GRK dan untuk mencapai target emisi nol emisi pada 2060 ini. Inovasi bisnis yang berdampak pada lingkungan bermunculan, seiring dengan makin banyaknya pemodal yang mengedepankan faktor Environmental, Social and Government (ESG) atau lingkungan, sosial dan tata kelola) untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis dari hasil investasi bisnis atau usahanya.

Inovasi dari bisnis yang berkelanjutan ini salah satunya ditandai dengan munculnya banyak perusahaan rintisan alias startup berbasis ESG. Mulai dari yang berfokus pada manajemen atau pengelolaan sampah, perubahan iklim, hingga energi terbarukan.

Mengutip Startup Studio Indonesia, dalam lingkup startup ESG juga bisa diartikan sebagai pendekatan kepemimpinan holistik yang mencakup isu-isu di luar lingkup tradisional perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan teknologi harus bisa memberi nilai yang berdampak bagi sekitar.

“Selain memikirkan tentang urusan profit (keuntungan-red), startup juga fokus memberikan dampak positif bagi lingkungan dan sosial,” kata Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (6/10).

Ilustrasi Alinea.id/Enrico. P. W.

CEO sekaligus Founder Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano tak menampik jika bisnis rintisan yang digelutinya ini dibentuk untuk mereguk besarnya ceruk ekonomi sirkular nasional. Namun lebih dari itu, pihaknya ingin mengatasi masalah pelik yang masih menghantui Indonesia; manajemen persampahan.

Masalah pengelolaan sampah, bahkan sudah tidak bisa lagi ditangani hanya dari aspek teknis saja, melainkan harus menggunakan pendekatan holistik. Contohnya, untuk mengatasi peliknya permasalahan sampah ini, tidak bisa hanya sistem daur ulang dan pengumpulan sampah saja yang diperbaiki, melainkan juga perlu untuk mengubah pola pikir serta perilaku masyarakat tentang penanganan sampah.

“Masyarakat mengumpulkan sampah dan membuangnya ke TPA. Tidak ada upaya pengelolaan sampah,” kata laki-laki yang sering disapa Sano ini, saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Di waktu bersamaan, karena fasilitas pengelolaan sampah yang tidak memadai, akhirnya keamanan dan kesejahteraan pemulung pun dipertaruhkan. Sano bilang, sektor informal kini memang sudah banyak menyerukan dukungannya terkait pentingnya pengelolaan sampah di indonesia. Tidak hanya itu, beberapa bahkan sudah mempraktikkan konsep 3R, Reduce, Reuse dan Recycle (Mengurangi, Menggunakan kembali dan Mendaur ulang).

“Sayangnya, mereka biasanya hanya mengumpulkan bahan daur ulang yang paling berharga seperti Botol PET, Karton, dan Kaca. Sementara, material lain yang kurang menguntungkan seperti plastik PP, kemasan multilayer, dan styrofoam masih menjadi tantangan untuk didaur ulang,” imbuhnya.

Karena itu, pada 2014 lalu, Sano berkomitmen untuk mendirikan Waste4Change dengan tujuan untuk menawarkan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab secara holistik bagi rumah tangga dan perusahaan domestik. Dalam mempercepat pelaksanaan pengelolaan sampah, Pendiri Greeneration Indonesia ini juga menggandeng beberapa perusahaan swasta, perumahan, hingga pemerintah untuk mendapatkan suplai sampah.

Tidak hanya itu, perusahaan rintisan pengelola sampah ini juga melibatkan juga platform perdagangan sampah. Untuk pengelolaan sampah yang sudah dikumpulkannya, perusahaan yang bermarkas di Bekasi, Jawa Barat ini memanfaatkan integrasi teknologi. Tujuannya, agar proses pengelolaan sampah dapat berjalan efisien.

Perlu diketahui, sampai kuartal-I 2022, Waste4Change telah berhasil mengelola 9.237 ton sampah dan mengurangi 53% sampah yang berakhir di TPA. Dengan lokasi pengelolaan sampah yang kini sudah tersebar di beberapa kota seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Semarang, dan Sidoarjo.

Menurut Sano, tantangan startup berbasis ESG tidak lagi soal pendanaan. Dengan fokus pembiayaan berkelanjutan oleh investor, pendanaan kepada startup lingkungan pun menjadi semakin luas.

Dia mencontohkan, pada Maret 2020, perusahaan mendapat pendanaan tahap awal yang tidak disebutkan jumlahnya dari Agaeti Ventures, East Ventures, dan SMDV. Dana segar ini akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah di Rumah Pemulihan Material (Material Recovery Facility) Waste4Change menuju kapasitas 2 ribu ton per hari di 2024.

“Selain itu, dana yang didapat juga kami alokasikan untuk pengembangan solusi tata kelola sampah kota menggunakan teknologi IT berupa platform smart city,” ungkap Sano.

Tidak hanya itu, venture builder yang mengembangkan Waste4Change Ecoxyztem (PT Greeneration Indonesia) juga baru saja mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor, yakni PT TAP Applied Agri Services, PT Konservasi Hutan Indonesia, Pegasus Tech Ventures, dan angel investor Ketua Yayasan Medco Roni Pramaditia. 

Ilustrasi Pixabay.com.

“Dana ini nantinya juga akan kami gunakan untuk modal kerja dalam mengembangkan empat startup yang ada di bawah Greeneration secara intensif,” tutur Sano yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur Ecoxyztem ini.

Standarisasi harga sampah

Terpisah, Co-Founder dan CEO OCTOPUS, Moechammad Ichsan mengungkapkan, persoalan daur ulang di Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar. Apalagi, saat ini jumlah industri atau pelaku usaha di tanah air juga terus bertambah.

Namun, permintaan besar dari kalangan industri tersebut, belum dibarengi dengan ketersediaan pengelola sampah. “Jumlah pemulung hingga pengepul sampah memang banyak dan tersebar di banyak lokasi. Namun banyaknya lapisan atau proses penjualan yang harus dilalui oleh para pemulung dan pemulung ini terkadang malah menyusahkan mereka untuk menjual sampah,” jelas Ichsan saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (1/10).

Bahkan tak jarang dirinya masih melihat adanya trust issue antara pemulung dan pengepul. Dengan kondisi ini, baik penghasilan pemulung atau pengepul dari hasil jual sampahnya menjadi tidak maksimal. Apalagi, tidak ada patokan pasti dari harga sampah yang diperjualbelikan oleh kedua pihak ini.

“Dengan alasan itulah OCTOPUS ingin menjadi platform yang bisa memberikan standarisasi untuk harga penjualan hingga volume yang sesuai antara pengepul dan pemulung, atau yang kita sebut di OCTOPUS ini sebagai pelestari,” katanya.

Sementara itu, untuk memangkas lapisan yang diklaim sudah terlalu berlapis hingga menyulitkan industri mendapatkan barang secara langsung, OCTOPUS memberikan kesempatan bagi para pengepul untuk bisa menjual semua barang daur ulang yang telah mereka dapatkan dari para pelestari langsung kepada industri. Di saat yang sama, platform yang juga didirikan oleh Hamish Daud ini dapat memberikan rekomendasi kepada para pengepul untuk menyesuaikan skala usaha mereka.

Contohnya, pengepul yang masih dalam skala kecil disarankan bisa fokus kepada barang seperti plastik kemasan dan botol PET. Sedangkan pengepul dengan skala menengah menengah bisa fokus kepada barang kardus. Lalu untuk usaha pengepul yang masuk dalam kategori besar bisa fokus kepada barang tertentu seperti sampah daur ulang elektronik.

"Dengan menjembatani langsung antara industri dan sektor informal tersebut, kita menciptakan solusi sebagai agregator yang memiliki impact ke lingkungan hingga ekonomi sosial dengan menyelesaikan persoalan di supply chain," lanjut Ichsan.

Lebih lanjut, Ichsan mencatat, startup lulusan Grab Velocity Ventures (GVV) Batch 4 ini, sampai sekarang sudah berhasil memulai operasionalnya di kota-kota lapis 2 dan 3. Selain itu, tercatat ada sebanyak 200 ribu pengguna yang tersebar di Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar yang telah menggunakan platform ini. Tidak hanya itu, OCTOPUS juga telah berkerjasama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi.

Potensi tumbuh

Terlepas dari dua startup pengelola sampah itu, Direktur Digital Business Telkom indonesia Muhammad Fajrin Rasyid mengungkapkan, ke depan, perusahaan rintisan lingkungan diprediksi akan tumbuh semakin besar. Ini seiring dengan individu maupun perusahaan yang menjadi pelanggan atau pengguna startup ini.

Namun, di balik potensinya, startup lingkungan harus menghadapi tantangan terbesar, yakni terkait model bisnis apa yang menjadi core atau inti bisnis startup tersebut. “Meskipun banyak pihak yang akan menggunakan startup karena memiliki manfaat terhadap lingkungan, kalau tidak ada model bisnis yang memungkinkan startup tersebut memperoleh pendapatan, dia tidak akan bertahan,” jelasnya kepada Alinea.id, bulan lalu.

Karenanya, Fajrin menyarankan agar pemilik dan pendiri startup dapat memetakan pihak-pihak yang nantinya akan terkait dengan startup tersebut. Kemudian, manfaat apa saja yang bisa didapatkan oleh pihak-pihak tersebut saat menggunakan platform. Agar lebih menarik, pendiri startup juga tidak harus menarik biaya dari setiap pihak.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Bisa saja misalnya kalian menarik biaya dari pihak korporasi, namun tidak menarik biaya dari pihak individu. Ini yang disebut dengan model bisnis ganda atau double side business model,” imbuh dia.

Tidak kalah penting ialah terkait sumber daya manusia (SDM) pengembang startup. Fajri bilang, dalam suatu startup, sebaiknya ada satu atau beberapa orang petinggi yang menguasai bidang yang menjadi dasar pengembangan startupnya. Sebagai contoh, dalam satu startup pengelolaan sampah, setidaknya ada satu co-founder yang berasal atau sangat memahami tentang bidang pengelolaan sampah.

“Karena dengan itu, implementasi dari core bisnis startup akan berjalan lebih baik. Selain itu, penting untuk terus mengembangkan kemampuan dan update akan isu-isu terkini agar startup kalian tetap relevan,” tutur dia.
 
 

Berita Lainnya
×
tekid