sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menanti kucuran investasi dari SWF

Dana investasi dari Indonesia Investment Authority (INA) ditargetkan bisa melepas ketergantungan proyek infrastruktur pemerintah dari utang.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 30 Mar 2021 07:16 WIB
Menanti kucuran investasi dari SWF

Sovereign Wealth Fund (SWF) atau di Indonesia disebut Lembaga Pengelola Investasi (LPI) akhirnya resmi berdiri pada akhir 2020 lalu. Lembaga ini difungsikan sebagai akselerator investasi dan penguatan ekonomi.

LPI yang kemudian bernama Indonesia Investment Authority atau INA, diberi kewenangan khusus oleh Presiden untuk mengelola investasi Pemerintah Pusat. Dalam hal ini, LPI diperbolehkan untuk melakukan penempatan dana dalam instrumen keuangan dan menjalankan kegiatan pengelolaan aset.

Kemudian, melakukan kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana perwalian (trust fund), menentukan calon mitra investasi, memberikan dan menerima pinjaman, dan/atau menatausahakan aset.

Payung hukumnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Lembaga Pengelola Investasi (PP 74/2020). PP ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengamanatkan pembentukan LPI.

Sebagai akselerator investasi, LPI bersama mitra investor akan membiayai proyek-proyek nasional dan memanfaatkan aset domestik strategis. “Dengan model bisnis tersebut, INA dan mitra investor bersama-sama melakukan penyertaan kepada perusahaan patungan (fund) sesuai kesepakatan bersama,” kata Juru Bicara LPI, Masyita Cristallin kepada Alinea.id, Jumat (26/3). 

Selain injeksi modal Rp15 triliun dari pemerintah, ada pula beberapa negara yang telah menyuntikkan dana investasi kepada lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden itu. Beberapa negara itu antara lain, Kanada sebesar US$2 miliar, Amerika Serikat senilai US$2 miliar, Jepang US$4 miliar, dan yang terbaru ada Uni Emirat Arab (UEA) sebesar US$10 miliar. 

Masyita bilang, setelah negara-negara asing itu menyuntikkan dananya untuk pembangunan infrastruktur nasional, LPI akan menindaklanjutinya dengan mengadakan one-on-one discussion. Hal ini dilakukan untuk membicarakan detil alokasi komitmen dan struktur investasi, termasuk preferensi aset.

Dia menambahkan ada dua jenis investasi yang dapat dilakukan yakni master fund maupun thematic fund atau investasi di jenis aset tertentu. "INA akan melakukan matching antara berbagai tipe investor dan aset dalam masing-masing thematic fund," tambahnya. 

Sponsored

INA, kata dia, juga dapat menjadi salah satu saluran investasi ke Indonesia, selain channel investasi yang sudah ada, seperti saham, obligasi, pinjaman, skema KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha) maupun investasi langsung lainnya.

Fokus proyek infrastruktur

Direktur Investasi LPI Stefanus Ade Hadiwidjaja menjelaskan, pada awal pembentukannya, LPI akan fokus menggarap proyek infrastruktur, seperti jalan tol, bandara dan pelabuhan. Proyek ini dinilai membutuhkan pendanaan yang besar namun mempunyai multiplier effect ke sektor lainnya. Pada akhirnya, proyek itu akan memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional. 

Pekerja berada di proyek tol Balikpapan-Samarinda di Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Meski sudah ada sektor yang disasar, Stefanus mengaku belum bisa membocorkan proyek -proyek apa saja yang telah masuk ke dalam pipeline LPI dan telah mendapat suntikan modal dari investor. 

"Kita sedang bekerja keras, berkoordinasi dengan berbagai pihak mulai dari Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan dan investor dari luar negeri untuk membuat sesuatu yang clear dan nyata dan sesuai dengan objektif kita," urainya, Rabu (3/3).

Lebih lanjut, Stefanus pun menjelaskan LPI akan melakukan komunikasi kepada investor untuk melihat peluang investasi infrastruktur di Indonesia. Misalnya soal sektor infrastruktur yang memiliki potensi besar, di mana pemerintah juga sudah berinvestasi cukup besar dan akan terus dilanjutkan. 

"Ada pula potensi return yang atraktif dengan multiplier effect dan adanya peluang value creation untuk lebih meningkatkan pengembalian," katanya. 

Selain proyek infrastruktur, LPI juga berpotensi untuk menggarap proyek-proyek lainnya dalam jangka waktu menengah dan panjang. Beberapa diantaranya, seperti proyek infrastruktur digital, logistik, pelayanan kesehatan, renewable energy, waste management, consumer, teknologi hingga pariwisata. 

Karenanya, pemerintah menilai transaksi awal investasi yang masuk LPI sangat penting karena dapat menjadi batu loncatan lembaga itu. Terlebih, proyek yang dibiayai LPI merupakan proyek-proyek jangka panjang, bukan hanya mencari keuntungan jangka pendek saja. 

"Mengingat LPI ditargetkan untuk segera beroperasi pada akhir kuartal-I 2020," ujar Wakil Menteri Keungan Suahasil Nazara, kepada Alinea.id, Kamis (25/3). 

Menurutnya, pembiayaan proyek nantinya akan dilakukan melalui ekuitas. Dengan begitu, proyek di Indonesia tidak akan lagi bergantung pada utang. "Semua akan bergantung pada perhitungan komersial antara investor dan INA,” tambahnya. 

Fokus LPI dalam menggarap proyek infrastruktur ini, lantas 'mengundang' BUMN karya berlomba menawarkan pekerjaan yang sedang atau akan mereka garap. Tujuannya tentu agar bisa mendapatkan pembiayaan dari para investor, melalui LPI. 

Menurut data Kementerian BUMN, sudah ada tiga BUMN karya, yakni PT Waskita Karya (Persero) Tbk., PT Jasa Marga (Persero) Tbk. dan PT Hutama Karya (Persero) yang telah menawarkan 24 ruas jalan tol yang mereka kelola. Keseluruhan nilai total ruas tol yang ditawarkan oleh ketiga perusahaan BUMN Karya tersebut mencapai Rp171,4 triliun dengan nilai ekuitas Rp36,8 triliun.  

Daftar konsesi 24 ruas tol yang dikerjakan 3 BUMN Karya
PT Waskita Karya (Persero) Tbk. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. PT Hutama Karya (Persero)
PT Semesta Marga Raya (SMR)-Kanci-Pejangan PT Jasamarga Semarang Batang (JSB) Hutama Karya Medan-Binjai
PT Pejangan Pemalang Toll Road (PPTR) PT Jasamarga Gempol Pasuruan (JGP) Hutama Karya Palembang-Indralaya
PT Pemalang Batang Toll Road (PBTR) PT Jasamarga Kualanamu Tol (JMKT) Hutama Karya Bakauheni-Terbanggi Besar
PT Trans Jawa Paspro Jalan Tol (TJPJT) PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) Hutama Karya Terbaggi Besar-P. Panggang-K. Agung
PT Kresna Kusuma Dyandra Marga (KKDM)-Becakayu PT Jasamarga Bali Tol (JBT)  
PT Citra Waspphutowa (CW)-Depok-Antasari PT Jasamarga Pandaan Malang (JPM)  
PT Trans Jabar Tol (TJT)-Bogor-Ciawi-Sukabumi PT Jasamarga Manado Bitung (JMB)  
PT Waskita Sriwijaya Tol (WST)-Kapal Betung PT Jasamarga Balikpapan Samarinda(JBPS)  
  PT Marga Trans Nusantara (MTN)  
  PT Jasamarga Surabaya Mojokerto (JSM)  
  PT Jasamarga Solo Ngawi (JSN)  
  PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK)  

Jadi alternatif pembiayaan

Sementara itu, Direktur Keuangan PT Jasa Marga Donny Arsal menargetkan 2 sampai 3 perusahaan pemegang konsesi jalan tol di bawah grup Jasa Marga akan dilepas ke LPI pada tahun ini. Nilai indikasi diperkirakan Rp1,5 triliun hingga Rp3 triliun. Kini, emiten dengan kode saham JSMR itu memiliki 21 anak usaha pemegang konsesi jalan tol yang seluruhnya diklaim siap untuk melakukan asset recycle.

Senada, Direktur Keuangan PT Waskita Karya Taufik Hendra Kusuma mengatakan, kehadiran LPI akan membantu BUMN pengembang infrastruktur dalam melakukan divestasi (asset recycle). LPI juga diharapkan bisa menjadi solusi alternatif pembiayaan bagi perusahaan dalam menyelesaikan penugasan pembangunan ruas-ruas jalan tol di seluruh Tanah Air. 

“BUMN akan kembali memiliki kapasitas baru khususnya keuangan untuk mendanai pembangunan proyek infrastruktur lainnya,” ujarnya.

Selain jalan tol, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai proyek strategis yang siap didanai LPI. Hal ini diungkapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam Webinar Potensi SWF dalam Pembiayaan Infrastruktur Transportasi, Rabu (3/3) lalu. 

“Kita ada Pelabuhan Garongkong di Sulsel (Sulawesi Selatan), lalu ada Pelabuhan Ambon dan Palembang,” rincinya.

Proyek yang ditawarkan pemerintah selanjutnya adalah proyek pembangunan bandara. Mulai dari Bandara Singkawang, beberapa bandara di Papua, bandara di Sumatera, hingga bandara di Nusa Tenggara Barat. Selanjutnya, ada pula transportasi darat, seperti terminal bus dan kereta api di kota-kota besar yang juga harus dikembangkan. 

Ilustrasi. Pixabay.com.

Dengan pembiayaan dari LPI ini, diharapkan nantinya proyek infrastruktur yang saat ini mangkrak akibat wabah Covid-19, dapat dilanjutkan kembali.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menjelaskan, ada beberapa risiko yang dapat ditanggung oleh pemerintah apabila proyek-proyek infrastruktur dibiayai oleh LPI. 

Menurutnya, sama halnya dengan Kementerian BUMN, pembiayaan proyek LPI juga harus diperiksa secara khusus nilai-nilainya. Dia khawatir akan ada masalah dalam hal akuntabilitas.

“Karena ini dananya (dana investasi) berbeda dengan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” katanya, kepada Alinea.id, melalui sambungan telepon, Sabtu (27/3). 

Pihaknya juga khawatir akan adanya risiko yang ditimbulkan oleh kepentingan politik. Terlebih, inti pengelola LPI adalah Kementerian BUMN, yang mana menurut Tauhid, di dalamnya sangat kental dengan pejabat-pejabat BUMN yang berasal dari titipan politik. 

Padahal, dengan adanya praktik politik di dalam LPI, akan menimbulkan ketidakobjektifan lembaga tersebut terhadap proyek-proyek infrastruktur yang akan dibiayai di kemudian hari. 

“Lalu ada risiko mendistorsi pasar di suatu negara. Karena kan ini didanai juga oleh asing. Jadi, nanti akan ada persaingan antara pembiayaan yang dilakukan Indonesia sendiri dengan negara lain,” tambahnya. 

Terakhir, dalam hal manajemen pengelolaan aset, Indonesia juga berpotensi kehilangan aset-aset penting apabila dana investasi LPI tidak dikelola dengan baik. Hal ini tak lain disebabkan oleh status SWF Indonesia sebagai lembaga independen.

“Namun, kalau tata kelolanya tidak prudent dalam pengelolaan investasi,” imbuh dia.   

Agar dana investasi digunakan dengan baik, Tauhid menilai pentingnya jaminan dari perusahaan-perusahaan Karya yang mendapat pembiayaan dari LPI. Sebut saja jaminan pembiayaan yang berasal dari Penjaminan Modal Negara (PMN) atau pembiayaan yang berasal dari lembaga keuangan seperti bank. Selain itu, ada juga jaminan aset yang dimiliki perusahaan. 

“Jadi, perusahaan-perusahaan yang akan menggarap proyek-proyek LPI, saya kira akan mengajukan hal yang sama dan ini menjadi suatu hal penting agar pembangunan infrastruktur berhasil,” tekan dia.

Menyambung Tauhid, Advokat dan Praktisi Hukum Bisnis M. Indra Kusumayudha mengatakan LPI harus memiliki tata kelola yang baik untuk menghindari berbagai risiko yang mungkin terjadi karena salah kelola dana investasi. LPI juga harus menghindari perilaku kurang transparan hingga minimnya ruang partisipasi publik dalam pelaksanaannya. 

“Problematika korupsi di sektor pelayanan publik dan ruwetnya proses birokrasi haruslah dihilangkan tanpa terkecuali,” katanya kepada Alinea.id, Jumat (26/3).

Terkait penyertaan aset dan pemindahan modal negara yang telah dijelaskan dalam Pasal 55 PP 74/2020 tentang pemindahtanganan aset negara dan BUMN kepada LPI, kata dia, harus dilakukan secara clean and clear. Hal ini patut dijadikan perhatian karena sering sekali aset negara hilang setelah proses pemindahtanganan.

Karenanya, untuk menghindari risiko terlepas atau hilangnya aset negara maka harus ada pembenahan atau pemutakhiran data atau revaluasi aset. “Apabila sudah optimal dalam hal manajemen maupun pengelolaan aset, dipastikan LPI mampu menampung dana dengan jumlah besar dan menghasilkan likuiditas untuk pembangunan nasional,” tutup Indra.
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid