close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri Peringatan Hari Buruh Internasional di Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Foto dokumentasi BPMI Setpres.
icon caption
Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri Peringatan Hari Buruh Internasional di Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Foto dokumentasi BPMI Setpres.
Bisnis
Kamis, 07 Agustus 2025 11:51

Mungkinkah skema upah sektoral ala KDM dijalankan?

KDM menyebut perbedaan upah antarwilayah kerap jadi pemicu kesenjangan kesejahteraan buruh.
swipe

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM mengusulkan penggantian aturan soal upah minimum kabupaten/kota atau UMK yang berbasis wilayah dengan upah sektoral. Tak lagi berbasis wilayah, menurut Dedi, akan lebih tepat jika upah ditetapkan berbasis jenis industri. 

“Bagaimana kalau upah itu sektoral, tapi terpusat dan berlaku sama di seluruh Indonesia,” kata Dedi kepada wartawan selepas menghadiri pembukaan Rakornas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/8) lalu. 

Menurut Dedi, selama ini ketimpangan kesejahteraan terjadi karena perbedaan upah yang bisa mencapai lebih dari Rp500 ribu untuk daerah yang bertetangga. Masalah lainnya adalah pabrik yang berpindah domisili karena mengejar daerah dengan upah yang lebih rendah. 

“Dari Karawang lari ke Indramayu karena UMK-nya rendah. Nanti, dari Indramayu naik lagi, lari ke Jawa Tengah. Kan harusnya tidak begitu,” kata politikus Gerindra itu. 

Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat menilai wacana upah sektoral memang memungkinan untuk direalisasikan dan sudah direncanakan sejak lama. Namun, kendala terbesar adalah mencari persetujuan dari pelaku industri. 

"Tantangan utamanya adalah variasi kondisi ekonomi antar daerah (biaya hidup, pertumbuhan industri, struktur ketenagakerjaan). Ketimpangan kekuatan perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha di tiap sektor. Kesiapan data dan basis pembanding antar sektor," kata Mirah kepada Alinea.id, Rabu (6/8).

Mirah mengataka ada banyak kriteria atau aspek penting yang perlu dihitung dalam menetapkan upah sektoral berbasis industri secara nasional, semisal karakteristik dan klasifikasi sektor industri, jenis industri semisal padat karya versus padat modal, risiko kerja dan beban fisik, tingkat keahlian dan pendidikan pekerja. 

"Kemampuan dan produktivitas industri, laba perusahaan di sektor tersebut, rata-rata produktivitas pekerja, pertumbuhan sektor per tahun, kondisi ekonomi makro dan regional, inflasi nasional dan regional, pertumbuhan PDB, daya beli dan kebutuhan hidup layak (KHL). Indeks kebutuhan hidup pekerja di sektor tersebut, semisal komodasi, makan, transportasi, kesehatan, pendidikan," kata Mirah. 

Mirah menilai usulan Gubenur Jawa Barat perlu dikaji secara menyeluruh, terutama dengan tetap mengutamakan prinsip perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan pekerja. "Serikat pekerja harus dilibatkan dalam pembentukan sistem upah sektoral nasional agar hasilnya berkeadilan dan akuntabel," kata Mirah. 

Peneliti kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andy Ahmad Zaelany menilai upah sektoral bakal sulit direalisasikan. Berpatokan pada UMK saja, menurut Andy, masih banyak perusahaan yang menunggak atau menunda pembayaran. 

"Apalagi kalau diterapkan upah sektoral berbasis industri yang ditetapkan secara nasional. Saya mengkhawatirkan kelancaran pelaksanaannya pembayarannya," kata Andy kepada Alinea.id. 

Jika memang pemerintah ingin menerapkan upah sektoral secara nasional, Andy menilai ada beberapa hal yang harus ditimbang. Pertama, tiap daerah itu berbeda unggulan industrinya. Kedua, upah sektoral artinya lebih besar dibandingkan besaran upah biasa. 

"Lantas bagaimana penerapannya? Apakah perusahaan sanggup membayar. Ketiga, kalau ditetapkan secara nasional, harus diperhatikan juga bahwa tiap daerah beragam harga produk, beragam besaran ongkos produksi, dan beragam biaya hidup," kata Andy.

Guru besar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Trisakti, Aloysius Uwiyono sepakat upah sektora akan sulit ditetapkan secara nasional. Pada dasarnya, upah tidak dapat disamakan karena upah minimum sangat bergantung pada biaya hidup di kota atau provinsi antara satu dengan yang lain. 

"Dengan demikian, enggak mungkin upah minimum itu sama besar. Jadi, sungguh tidak adil jika hendak disamakan secara nasional. Ketentuan yang harus sama secara nasional adalah kewajiban membayar pesangon kepada buruhnya yang diputuskan hubungan kerja," kata Aloysius.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan