sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pelapak marketplace lokal berjibaku saingi produk impor

Jumlah UMKM lokal yang berjualan di marketplace masih kecil dan harus bersaing dengan produk impor.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Rabu, 03 Mar 2021 06:05 WIB
Pelapak marketplace lokal berjibaku saingi produk impor

Di belantara platform marketplace, persaingan produk lokal dan impor makin tak terelakkan. Semua pelapak dituntut untuk 'memutar otak' dalam menggaet konsumen.

Memang, pada era pandemi pelapak online mendapat peluang dengan perubahan pola konsumsi masyarakat yang beralih ke belanja daring. Namun, hal ini bukan tanpa halangan. Banyaknya pemain di marketplace membuat persaingan antar pelapak pun kian sengit. 

Salah seorang pelapak online Fergy Dyah (24), mengatakan agar bisa dilirik, pelapak harus menyajikan tampilan yang menarik. Proses itu menjadi kunci menggaet pelanggan.

"Foto yang bagus itu menurutku susah banget. Kalau foto enggak bagus dan pencahayaan enggak bagus gitu, jadi enggak menarik," ujar Fergy kepada Alinea.id, Senin (1/3).  

Penjual produk bingkisan berupa bouquet dan hampers itu menilai cara berkomunikasi hingga pelayanan konsumen juga menjadi faktor penting. Termasuk, pengelolaan media sosial untuk menunjang promosi di marketplace.

Salah satu UMKM melakukan sesi foto produk. Foto Antara.

"Mengatur feed dan membuat caption yang bagus," imbuh dia. 

Perempuan yang berdomisili di Tangerang Selatan ini mengakui pandemi memang sempat memukul bisnisnya. Imbasnya, keuntungannya juga merosot dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Sponsored

Di tengah situasi itu, ia melakukan beragam inisiatif agar tetap bisa menjaring pembeli. Pelapak lokal ini pun mengadaptasikan produknya sesuai kebutuhan konsumen seperti menjual bahan baku hingga membuat hampers

"Barangnya lama perputarannya, akhirnya aku menjual juga bahan-bahan (bouqet) dan mulai bikin hampers. Jadi kayak kotak isi makanan, make up," ujarnya. 

Aneka bingkisan dan hampers ini, lanjutnya, dipesan untuk berbagai momen perayaan seperti wisuda. Ada pula pesanan berupa bouqet bunga, makanan dan minuman ringan hingga kosmetik dan produk lainnya. 

Fergy mengaku, dirinya masih bisa menangkis persaingan yang masif di antara pelapak impor saat ini. Sebab, banyak konsumennya yang memang membutuhkan produk dengan kecepatan pengiriman. 

"Misalnya buket bunga, kalau terlalu jauh, kan kelamaan di jalan. Kan kalau impor, lama banget prosesnya, jadi malas pembeli, kecuali kalau baju gitu ya," kata pelapak yang telah merintis bisnis sejak 2018 itu.  

Berbeda halnya dengan cerita Bagus (23). Pelapak baju polos di marketplace ini mengakui adanya persaingan yang ketat antar pelapak. Termasuk, produk-produk impor yang banyak mewarnai dunia fesyen Tanah Air.

"Apalagi mereka kan pasang harganya miring-miring ya, jadi mesti ada yang beda nih kita," ujar Bagus kepada Alinea.id, Senin (2/3). 

Lulusan sebuah perguruan swasta di Jakarta itu menilai kualitas produk menjadi kunci untuk mempertahankan konsumen loyal. Di sisi lain, pelayanan yang optimal juga sangat berarti. Hal ini ditunjukkan dengan pelayanan yang responsif hingga keramahan membalas pesan di fitur chat.

"Nah itu yang kemudian bikin pelanggan itu, mau datang ke kita lagi," kata dia. 

Kaos-kaos polos yang dijual Bagus didatangkan langsung dari Jakarta dan Bandung. Dia pun mengaku selektif untuk memilih bahan serta model yang banyak diminati oleh pelanggan. 

Saat ini ia mampu menjual sekitar 100 hingga 300 potong pakaian dalam sebulan. Bisnis yang ia lakoni sejak masa kuliah dua tahun lalu itu kini bahkan telah mempunyai pelanggan. 

"Kalau pembeli baru mungkin akan banyak yang melirik impor ya, tapi kalau udah lama biasanya cari yang pasti-pasti," imbuh lelaki asal Jawa Tengah itu. 

Ilustrasi belanja online. Pexels.com.

Di sisi lain, sebagai pelanggan marketplace, Gladys (25) beralasan membeli produk impor karena kesediaan barang dan harganya yang miring. 

Setidaknya, sudah lebih dari tiga kali ia membeli produk impor di marketplace Shopee. Mulai dari casing alat elektronik kindle, baju hingga kabel handphone.

"Sebenarnya sudah buka-buka juga toko yang di sini (lokal), tapi enggak ketemu produk yang aku mau. Jadinya, ada tapi dikirim dari China (impor) ya udah akhirnya beli," kata Gladys kepada Alinea.id, Senin (2/3). 

Karyawan swasta di Jakarta itu, mengaku mengalami pengalaman yang menyenangkan hingga mengecewakan saat berbelanja produk impor di marketplace. Dia pernah mendapatkan produk yang ternyata di atas ekspektasinya.

Namun, ia juga pernah mendapat 'zonk' karena produknya tidak sesuai dengan gambar. Belum lagi, soal penjual yang tidak bertanggung jawab. 

"Pernah tuh untung banget, barangnya bagus dan murah lalu masih dihadiahi stiker-stiker lucu. Tapi pernah juga, salah dong barangnya, dan enggak bisa dihubungi lagi penjualnya," kata dia. 

Daya tarik produk impor

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kegemaran masyarakat membeli produk impor banyak dipengaruhi oleh daya tawar harga yang lebih miring. 

Tak hanya penampilan yang menarik, pelayanan yang mengesankan seperti jaminan barang juga menyedot perhatian konsumen. 

"Tidak sedikit juga yang berani kasih garansi hingga 1 tahun. Kadang enggak masuk akal juga, beli barang harganya cuma Rp50.000 tapi garansi panjang," kata Bhima kepada Alinea.id, Selasa (2/3). 

Merujuk pada studi INDEF yang dirilis tahun 2019, Bhima menyebut, ada temuan sekitar 25,9% barang yang ditransaksikan melalui internet diproduksi secara lokal. "Artinya, ada 74,1% produk impor yang masih dominan," imbuh Bhima.

Dia menilai, selama produk impor tidak dibatasi, pemain lokal akan kesulitan bersaing. Terlebih, produk impor mempunyai keunggulan yakni sangat efisien khususnya soal logistik. 

Di sisi lain, Bhima juga menyinggung soal strategi pemasaran produk impor yang juga makin masif. Misalnya saja, China melalui Taobao Village. Proyek strategis dari Alibaba Group untuk mengembangkan produk UMKM di pedesaan China itu kini mendapat akses oleh kebijakan pemerintah Indonesia.

Jika dibiarkan, menurutnya, kondisi ini bisa saja menyebabkan marketplace lokal menjadi channel distribusi produk impor asal China. 

"Mereka lakukan promo dan diskon besar-besaran untuk menarik konsumen, kemudian ketika konsumen meninggalkan produk lokal, mereka menjadi dominan," katanya. 

Menangkap peluang tren marketplace 

Potensi transaksi di marketplace memang bernilai besar. Terlebih sejak masa pandemi yang menjadikan transaksi perdagangan serba daring. Kondisi ini diprediksi akan semakin besar ke depan. 

Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi e-commerce (marketplace) sepanjang 2020 mencapai Rp253 triliun dan diperkirakan bisa mencapai Rp337 triliun pada 2021. 

Salah satu marketplace di Indonesia, Tokopedia mencatat tren pertumbuhan bisnis yang signifikan. Sejak sebelum pandemi pada Januari 2020 lalu, telah ada peningkatan penjual dari 2,8 juta menjadi 7,2 juta.  

"Kini kami mencatat, lebih dari 10 juta penjual yang tergabung di Tokopedia, hampir 100%nya adalah UMKM bahkan 94%nya penjual berskala ultra mikro," ujar External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya kepada Alinea.id, Senin (2/3).  

Dia melanjutkan, dalam merespon pandemi, Tokopedia telah mengupayakan sejumlah inisiatif. Misalnya, kampanye #JagaEkonomiIndonesia dan gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia. Selain itu, unicorn besutan Willian Tanuwijaya ini juga menggencarkan kolaborasi dengan pegiat usaha lokal makanan dan minuman melalui Tokopedia Nyam.

"Kami ingin menekankan bahwa Tokopedia hanya menerima penjual asal Indonesia dan memfasilitasi transaksi dari Indonesia untuk Indonesia," katanya.

Upaya mendorong produk lokal

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan produk lokal UMKM di marketplace masih kecil dibandingkan produk yang dijual secara langsung atau manual di sosial media. 

"Pasar UMKM (di marketplace) sekitar 5%, ya segitulah," ujar Ikhsan kepada Alinea.id, Senin (2/3). 

Ikhsan mengungkapkan untuk bisa masuk ke marketplace, UMKM memang masih terganjal banyak tantangan. Meskipun pandemi juga turut mendorong percepatan ke ekosistem digital, namun kendala seperti kapasitas produksi, keuangan, dan pembinaan pemasaran masih terjadi. 

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia. (Sumber: Pusat Data Akumindo)
Tahun Jumlah UMKM Transaksi Produk Domestik Bruto (PDB) Tenaga kerja
2018 60 juta unit Rp8.573,9 triliun 57,8% 91%
2019 63 juta unit Rp8.400 triliun 60,3% 96%
2020 34 juta unit Rp4.235 triliun 37,3% 73%

Maka dari itu, dia pun menekankan, pemerintah mesti serius mendorong penyediaan ekosistem digital bagi kalangan pelapak online termasuk dari UMKM. Bukan saja melalui program-program terpadu promosi bangga buatan Indonesia, namun juga menyediakan bekal SDM dan fasilitas infrastruktur yang memadai. 

"Karena, kebijakan pajak (bea masuk impor) itu belum efektif, kalau Indonesia belum mampu produksi barang itu," kata Ikhsan.

Pemerintah RI saat ini pun, sedang menyiapkan aturan yang memberi kewajiban bagi pelaku marketplace untuk mengutamakan produk dalam negeri. Itu termaktub dalam pasal 21 dan 22 Permendag No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan.

Dalam aturan tersebut, pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) wajib menyediakan platform atau ruang khusus untuk promosi barang dan jasa hasil produksi dalam negeri serta kemitraan dan akses bagi produk UMKM.

Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba Rachman mengatakan, tantangan lain yang tengah menjadi perhatian adalah menjaga marketplace dari perang harga.

"Yang kita konsen itu, mungkin ada perdagangan yang enggak sehat (perang harga)," ujar Hanung saat dihubungi Alinea.id, Senin (2/3). 

Menurut data internalnya, kata dia, setidaknya ada sekitar 3% barang impor yang beredar di marketplace Indonesia. 

"Menurut laporan (impor), tapi saya tidak melihat angkanya (detail), tentu besar juga. Kan transaksi marketplace juga besar," imbuhnya.  

Guna mendorong berkembangnya produk lokal di marketplace, Hanung mengaku saat ini pihaknya tengah berkoordinasi antar kementerian dan stakeholder terkait untuk membahas soal perlindungan 'perang harga' di marketplace. Termasuk, persaingan dari produk impor. 

"Kita lagi mendiskusikan, di Kemendag, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Mengenai bagaimana mengatasi persaingan yang tidak sehat ini. Ini lagi kita bahas," pungkasnya. 


Artikel ini merupakan kelanjutan dari "Gotong royong agar UMKM melenggang di pasar internasional".

Berita Lainnya
×
tekid