close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi perang tarif. Foto: Word Grain
icon caption
Ilustrasi perang tarif. Foto: Word Grain
Bisnis
Senin, 21 April 2025 17:00

Perang tarif dan ancaman banjir produk Tiongkok ke RI

Produk-produk asal China dikenakan tarif hingga 145% oleh Presiden AS Donald Trump.
swipe

Produk-produk impor dari Tiongkok potensial membanjiri pasar domestik Indonesia di tengah perang tarif antara China dan Amerika Serikat. Jika tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah,  banjir produk China itu bisa berdampak buruk pada pengusaha lokal.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mengatakan setidaknya ada dua faktor utama yang bakal memicu banjir produk China ke Indonesia. Pertama, Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar di Asia dengan jumlah populasi sekitar 280 juta orang.

"Oleh karena itu, Indonesia masih dianggap memiliki daya beli yang tinggi dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang penduduknya jauh lebih sedikit," kata Daniel kepada Alinea.id, Jumat (18/4).

Faktor kedua ialah berlakunya sistem pasar bebas imbas kesepakatan negara-negara Asean dengan China. Dengan sistem itu, barang apa pun bisa mudah masuk ke Indonesia.

"Termasuk barang tidak berkualitas bisa masuk karena non-tariff measures-nya (regulasi) yang rendah sekali. Kita enggak akan kuat (bersaing dengan produk China)," kata Suhardiman.

April lalu, Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif hingga 145% untuk produk-produk impor dari Tiongkok ke AS. China membalas kebijakan itu dengan pemberlakuan tarif hingga 125% dan penghentian ekspor untuk sejumlah produk.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan muntahan produk China di era perang tarif AS-China perlu diantisipasi. Salah satunya melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.

Menurut Bhima, dalam beleid itu pemerintah belum merinci spesifikasi barang impor. Rincian barang impor semestinya bisa dipakai untuk mengendalikan atau membatasi produk-produk impor yang masuk ke dalam negeri. 

"Dengan Permendag baru yang lebih fokus dan detail, maka rezim regulasi pengendalian impornya terencana pada barang yang urgen. Jadi, impor dibatasi agar memperkuat industri domestik," kata Bhima kepada Alinea.id, Sabtu (18/4). 

Lebih jauh, Bhima menyarankan agar pemerintah fokus mengendalikan aliran impor pakaian jadi, aksesoris, alas kaki, dan kosmetik. Menurut Bhima, industri jenis itu sedang menghadapi tekanan akibat masuknya barang impor murah khususnya dari China. 

Selain, Bhima mengusulkan agar pemerintah memperkuat hambatan non-tarif dalam revisi aturan impor, termasuk di antararnya syarat laporan hasil verifikasi, rekomendasi, dan pertimbangan teknis dari kementerian. 

"Indonesia merupakan negara dengan jumlah hambatan non-tarif paling sedikit di antara negara mitra dagang utama, seperti China, AS, Eropa, Australia, India," kata Bhima.

Proteksi terhadap industri lokal, kata Bhima, harus segera dilakukan. Selain revisi Permendag, pemerintah juga bisa menyiapkan paket kebijakan insentif industri padat karya yang lebih komprehensif. Proteksi impor saja tidak cukup tanpa bantuan kebijakan fiskal moneter yang tepat sasaran.

"Contoh stimulus, semisal suku bunga kredit industri padat karya 2-4%, diskon tarif listrik 40-50% untuk industri selama 12 bulan, dan perluasan PPh21 karyawan ditanggung pemerintah. Tidak kalah penting pengawasan perbatasan yang rawan menjadi pintu masuk impor ilegal," kata Bhima. 

Analis senior Indonesia Strategic and Economic, Ronny Sasmita berpendapat banjir produk impor dari Tiongkok bakal sulit dielakkan. Ia mengusulkan sejumlah opsi solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi muntahan produk China.

Pertama, penerapan tarif secara selektif terhadap beragam produk yang diimpor dari China. "Semisal diterapkan pada (produk) elektronik yang sudah jadi. Kalau bahan baku, tidak perlu," kata Ronny kepada Alinea.id. 

Opsi kedua adalah pemberlakukan subsidi dan insentif pajak bagi produk dalam negeri. Pemberlakuan kebijakan subsidi dan insentif akan membuat produk Indonesia memilik harga yang bersaing. Namun, insentif dan pajak bisa membebani pemerintah.   

"Tapi tidak mengorbankan konsumen karena tidak menaikan harga. Jadi, ini bentuk intervensi dan proteksi. Untuk produk tertentu, dinaikan tarifnya dalam jangka waktu tertentu sampai produk dalam negeri bisa bersaing dengan produk China," kata Ronny. 

Terakhir, pemerintah bisa bernegosiasi dengan China dengan memberi kemudahan investasi sebagai ganti dari proteksi terhadap barang China. "Jadi, bisa juga pemerintah menerapkan agar investasi China yang masuk dan bukan barangnya. Itu bisa membuka lapangan pekerjaan di Indonesia," kata Ronny.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan