sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pilkada diprediksi angkat industri makanan dan minuman

Penjualan industri makanan dan minuman kemasan diprediksi tumbuh 5,05% menjadi Rp 509,67 triliun di akhir Desember 2018.

Fira Fauziah
Fira Fauziah Jumat, 23 Mar 2018 08:49 WIB
Pilkada diprediksi angkat industri makanan dan minuman

Industri makanan dan minuman kemasan diperkirakan akan mengalap berkah dari perhelatan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun ini di tengah ancaman menurunnya daya beli masyarakat. Pesta demokrasi yang diselenggarakan di 171 daerah diprediksi bakal mengerek penjualan makanan dan minuman kemasan. 

Euromonitor International memprediksi, penjualan industri makanan dan minuman kemasan tumbuh 5,05% menjadi Rp 509,67 triliun di akhir Desember 2018. Pada tahun 2017 lalu, penjualan industri makanan dan minuman kemasan tercatat hanya Rp 485,16 triliun. 

Di sektor makanan, produk makanan ringan bakal bersaing ketat dengan produk turunan susu sebagai kontributor terbesar dalam industri makanan dan minuman kemasan. Di tahun anjing tanah ini, penjualan produk makanan ringan diprediksi mencapai Rp 44,62 triliun. Sedangkan penjualan produk turunan susu diramal sebanyak Rp 44,74 triliun di periode tahun yang sama.  Untuk kategori minuman non-alkohol, air minum kemasan dalam botol bakal menjadi penyumbang tertinggi dengan angka penjualan Rp 35,09 triliun. Di tempat kedua adalah teh siap minum atawa ready to drink tea dengan perkiraan penjualan Rp 18,43 triliun. 

 

 

Selain ajang pilkada 2018, pertumbuhan industri makanan dan minuman kemasan juga didukung oleh pertumbuhan ritel modern baik di kota-kota besar maupun wilayah rural. Di kota besar, konsumsi industri makanan dan minuman kemasan didorong oleh tren gaya hidup. Padatnya aktivitas bekerja membuat mereka memilih makanan instan seperti mie maupun biskuit. Sedangkan bagi mereka yang memilih hidup sehat, produk organik menjadi pilihan utama. 

Sementara, di wilayah rural, kenaikan penjualan dipicu oleh karakteristik masyarakat Indonesia yang tertarik mencoba produk-produk baru dengan rasa dan bentuk yang unik. Keberadaan ritel modern seperti Indomaret maupun Alfamart membantu penetrasi industri makanan dan minuman kemasan. 

 

 

Saluran distribusi industri makanan dan minuman di tahun ini masih berlanjut melalui ritel modern. Pemasaran melalui online cukup marak, namun masih sulit mengalahkan penjualan ritel modern. Perusahaan-perusahaan besar dengan merek yang sudah dikenal cenderung memanfaatkan ritel modern. Media sosial biasanya hanya dipergunakan untuk kampanye produk bukan arena jual beli. Sementara, untuk pemain skala usaha kecil menengah (UKM) mulai merambah sosial media seperti Instagram dan Twitter untuk menawarkan produk dagangannya. 

Sponsored

Persaingan di industri makanan dan minuman kemasan

Meski pasarnya cukup gurih, pemain industri makanan dan minuman di Indonesia harus bersaing ketat. Dominasi perusahaan besar seperti PT Indofood Sukses Makmur maupun brand internasional seperti Danone Group masih mendominasi di pasar dalam negeri. Tak heran jika perusahaan berlomba-lomba menggunakan strategi pemasaran yang unik untuk memperebutkan pasar misalnya menggaet komunitas tertentu untuk mengenalkan produk. Perang diskon harga dan penawaran spesial masih terus berlanjut di tahun ini terutama untuk kalangan pendapatan menengah bawah yang sangat sensitif terhadap harga.

 

 

Demi mensiasati ancaman penurunan daya beli, perusahaan bakal lebih cermat lagi melakukan produksi dengan mempertimbangkan target konsumen. Misalnya, perusahaan memperbanyak produk dengan ukuran kemasan dalam bentuk porsi kecil lantaran memilih konsumen dengan kelas menengah bawah sebagai targetnya. Konsumen kelas ini dianggap memiliki pendapatan pas-pasan sehingga lebih memilih ukuran kecil karena kesanggupan daya beli. Kemasan kecil cenderung dibanderol lebih rendah ketimbang ukuran jumbo meski jika dibandingkan nilainya cenderung lebih mahal untuk produk dengan ukuran mini. 

Sedangkan bagi perusahaan yang membidik konsumen menengah ke atas, mereka cenderung memilih kemasan berukuran besar. Kelas masyarakat yang kebal terhadap kenaikan harga ini memilih porsi dengan ukuran besar karena dihitung secara keekonomian lebih murah. Alasan lainnya adalah mereka tidak harus sering-sering pergi ke toko jika persediaan habis, hal ini terjadi terutama bagi konsumen yang telah berkeluarga.

Tahun lalu, PT Indofood Sukses Makmur memimpin pasar dengan pangsa pasar sebesar 9,29% di kategori makanan kemasan. Perusahaan yang terkenal dengan brand Indomie ini memiliki varian produk yang cukup banyak jumlahnya di pasar. Produk mie instan seperti Indomie, Sarimi, dan Supermi menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Snack Chitato dan Lays menjadi pilihan kudapan sore bagi kaum pekerja.  Menyusul Indofood, Nestle berada di tempat kedua dengan pangsa pasar 4,70%. Sumbangan penjualan terbesar berasal dari susu Dancow dan minuman rasa cokelat Milo. Bersaing ketat dengan Nestle, Royal Friesland Campina NV mengempit pangsa pasar 4,62%.

Masih pada periode yang sama, PT Danone Aqua memimpin pasar minuman kemasan. Sepanjang tiga tahun terakhir sejak tahun 2015 hingga 2017, pangsa pasar merek Aqua stabil di level 36% hingga 37%. Sementara merek dari Danone lainnya yakni VIT juga cukup populer dengan pangsa pasar sebesar 6% di periode waktu yang sama. Menyusul kemudian adalah PT Asahi Indofood Beverage Makmur. Perusahaan yang mendistribusikan Club mencuil pasar sebesar 4,8% di akhir tahun lalu. Menariknya, PT Coca Cola Indonesia masih bertahan meski banyak kampanye menghindari produk minuman bersoda. Tahun lalu, pangsa pasar Coca Cola terhitung 4,1% atau turun dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 4,4%.

 

 

Tak cuman berpotensi sebagai pasar, Indonesia juga masih menjadi primadona sebagai lokasi investasi industri makanan dan minuman kemasan. Dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan upah tenaga kerja yang masih terjangkau, merek-merek asing membangun fasilitas produksinya di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi asing di sektor makanan mencapai lebih dari US$ 1,5 miliar per tahun sepanjang tahun 2012 hingga 2017. Sementara itu, rata-rata investasi dalam negeri di sektor makanan adalah Rp 23,49 triliun per tahun dalam periode yang sama. Tahun 2017 lalu, investasi dalam negeri di sektor makanan tembus Rp 38,54 triliun.

Menjadi pusat produksi bisa berdampak terhadap menguatnya nilai ekspor. Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia bakal surplus. Lihat saja, nilai ekspor industri makanan dan minuman di Indonesia mencapai lebih dari US$ 20 miliar. Sampai November tahun lalu saja, ekspor industri makanan dan minuman tercatat US$ 25,17 miliar. Sedangkan impor industri makanan dan minuman hanya sebesar US$ 3,6 miliar. Dengan demikian, neraca dagang Indonesia surplus US$ 21,57 miliar. 

 

 

Walaupun nilai surplus neraca dagang industri makanan dan minuman membumbung tinggi, pemerintah tak boleh lengah. Sebab, tren impor makanan dan minuman menunjukkan kenaikan dalam tiga tahun terakhir ini. Ceruk pasar yang menjanjikan membuat perusahaan asing menjajakan produknya ke Indonesia. Lihat saja Korea Selatan, nilai impor produk mie instan di tahun 2016 melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2015, impor mie instan dari Korea Selatan tercatat hanya US$ 3,28 juta. Pada tahun 2016, impor mie instan mencapai US$ 10,41 juta. Pada kurun waktu Januari hingga November 2017, impor mie instan dari Korea Selatan melompat 16,22% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya dari US$9,9 juga menjadi US$ 15,63 juta. 

Berita Lainnya
×
tekid