sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Presiden AS berganti, apa untungnya bagi Indonesia?

Kemenangan Joe Biden-Kamala Harris menimbulkan optimisme baru.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Selasa, 10 Nov 2020 08:42 WIB
Presiden AS berganti, apa untungnya bagi Indonesia?

Pasangan calon presiden Joe Biden dan Kamala Harris akhirnya memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang digelar baru-baru ini. Politisi dari Partai Demokrat itu, mengalahkan petahana dari partai Republik, Donald Trump-Mike Pence.

Biden-Kamala meraih 290 electoral votes. Jumlah ini melampaui ambang batas 270 electoral votes dari total 538 electoral votes untuk bisa memenangkan Pilpres AS. Sementara Trump-Mike hanya memperoleh 214 suara elektoral.  

Kemenangan tipis yang terjadi di negara bagian Pennsylvania yang mempunyai 20 electoral votes jadi kunci Biden-Kamala menyabet gelar Presiden baru AS. Biden memperoleh 49,7% suara, sementara Trump sebesar 49,2%. 

Meski belum dinyatakan oleh otoritas yang berwenang, Joe Biden sudah dapat dipastikan bakal menjadi presiden AS berdasarkan hasil pemilihan umum AS pada 2020 ini. Namun tentunya, masyarakat di AS juga mesti bersabar bila Trump kemudian tidak menerima hasil pemilu dan membawanya ke ranah hukum.

Pasar keuangan bereaksi positif

Sejak awal menyeruaknya kemenangan Biden, pasar modal mendapatkan sentimen yang positif. Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan pemilu yang telah berlangsung pada 3 November 2020 lalu, menjadi perhatian pelaku pasar. 

"Indeks di pasar saham mayoritas menguat menyambut potensi Joe Biden memenangkan pemilu," ujar Hans dalam prediksi tertulisnya untuk pekan kedua pada November 2020. 

Hans berpendapat, bangkitnya kepercayaan pasar tidak lepas dari harapan bahwa perang dagang AS-China akan mereda setelah Biden terpilih jadi presiden AS. Tak hanya saham, bahkan mata uang dunia seperti Yuan, Euro, hingga rupiah menyambut positif kemenangan Biden dengan turut menguat terhadap dolar AS. 

Sponsored

"Ini juga mendorong dana masuk ke aset berisiko di emerging market," kata dia. 

Namun demikian, Hans mengatakan pelaku pasar juga masih berpotensi dilanda kecemasan dengan adanya gugatan hukum Trump atas hasil pilpres AS yang memicu kembali ketidakpastian pasar. Apalagi saat ini, kondisi senat masih dikuasai oleh kalangan partai Republik.

"Partai Republik diperkirakan masih akan mengontrol Senat dan partai Demokrat di DPR AS. Hal ini berpotensi menyulitkan Biden dan Demokrat meloloskan kebijakan stimulus fiskal dalam jumlah besar," ujar Hans. 

Secara garis besar, prediksinya terhadap pasar saham dunia termasuk Indonesia di awal pekan ini memang akan menguat menyambut kemenangan Biden. Tetapi sesudah itu, sangat rawan mengalami aksi profit taking akibat kenaikan cukup signifikan pada minggu lalu. 

Selain itu, potensi sengketa politik di AS mendorong peluang pelaku pasar melakukan aksi ambil untung. Dia memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada secara resistance di level 5.381 sampai 5.500 dan support di level 5.246 sampai 5.161.

Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Suria Dharma menambahkan, hal menarik yang diharapkan pasar dari kemenangan Biden ini adalah pada stimulus fiskal yang relatif lebih besar dibandingkan Trump. 

"Jadi ini yang membuat likuiditas pasar akan semakin tinggi," kata Suria. 

Selain itu, pasar juga menyambut positif adanya kebijakan energi hijau yang diusung Biden. Ini menurutnya akan bisa menguntungkan bagi negara yang memiliki potensi sumber daya energi bersih melimpah seperti Indonesia. Contohnya saja, baterai litium dan nikel hingga panel surya. 

"Itu yang disorot oleh Biden karena dia berusaha mengurangi oil dan gas dari fosil," imbuhnya. 

Di sisi lain, Suria mengingatkan tensi ketegangan AS-China ke depan bisa jadi berkurang. Selain itu, potensi ketegangan AS dan Rusia juga akan mempengaruhi suplai minyak dan gas.

"Sehingga berpotensi mendorong kenaikan harga minyak, apalagi ada rencana untuk mengurangi produksi minyak di AS," tambahnya.

Pipa yang banyak menyuplai kebutuhan minyak, menurutnya, bisa mengerek harga pasaran minyak dunia. Imbasnya juga bisa mendorong harga-harga komoditas lebih mahal.

"Harusnya dengan harga minyak tinggi ini, ke depan saham-saham yang berhubungan dengan palm diuntungkan ya. Kemudian harga komoditas, kalau harga minyak naik juga ikutan naik harga sahamnya," pungkasnya. 

Tugas berat Biden

Pengamat Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan jika Joe Biden resmi menjadi presiden AS ke-46, maka Biden memiliki tugas yang berat baik di dalam maupun luar negeri. Mulai dari persatuan negaranya hingga mengatasi Covid-19. 

"Di dalam negeri Biden diharapkan dapat mempersatukan rakyat AS yang selama 4 tahun belakangan ini terpecah sangat tajam. Biden diharapkan juga dapat mengendalikan penyebaran Covid-19 dan berbagai upaya untuk menekan angka kematian," ujar Hikmahanto kepada Alinea.id, Senin (10/11).

Menurut Guru Besar UI itu, ekonomi AS pun perlu penanganan yang serius, disamping masalah rasial dan sosial lainnya. Untuk kebijakan luar negeri, masyarakat dunia juga mengharapkan Biden dapat mengembalikan Amerika Serikat menjadi negara demokratis seperti dulu dengan mengusung nilai-nilainya. 
 
Pertama, AS mesti memikirkan kemaslahatan dunia ketimbang negaranya sendiri. Sebab pada era Trump, kata Hikmahanto, presiden hanya sibuk membangun AS dengan mengabaikan dunia bahkan berkonflik secara langsung dengan sejumlah negara. 

"Sebelum Trump menjadi Presiden AS, nilai yang dianut adalah mensejahterakan dunia agar AS sejahtera, menumbuhkan perekonomian dunia agar ekonomi AS tumbuh, mengamankan dunia agar keamanan AS terjaga, bahkan menyeimbangkan kekuatan yang ada di dunia agar AS menjadi pemimpin dunia," terang dia. 

Kedua, AS di masa Trump gemar membuat kontroversi dengan kejutan-kejutan yang semestinya sudah tidak terjadi (no more surprises). Di bawah Trump, banyak kebijakan yang tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat dunia. Sebut saja saat Trump bertemu Kim Jong Un dari Korea Utara, keluar dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, bahkan mengakhiri secara sepihak hasil perundingan Iran dengan 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB terkait pengembangan nuklir Iran.   

"Biden diharapkan menjalankan kebijakan-kebijakan luar negeri AS yang telah dirancang secara lama dan rinci oleh para birokrat AS," imbuhnya.

Barack Obama dan Joe Biden. Foto Pixabay.com.

Sementara itu, Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia, Suzie Sudarman berpendapat peluang meredanya tensi perang dagang AS-China bisa dicapai saat kepemimpinan Biden. Walaupun, pergolakan lainnya juga masih bisa terjadi. 

"Global trade bisa kembali seperti sebelumnya, hanya saja akan ada perbedaan tekanan. Misalnya, AS dan Eropa di teknologi tidak lagi bergantung dengan China," ujarnya.

Meski begitu, Suzie menjelaskan, jika Biden bisa membuat perang dagang terkendali maka stimulus perdagangan internasional akan kembali berdenyut. Seperti halnya di Indonesia yang bisa menggenjot ekspornya ke negara Paman Sam. 

Terlebih, Biden akan menekankan pada pengembangan renewable energy (energi bersih), maka Indonesia perlu mengambil peran serta peluang. Misalnya saja, AS menyuplai teknologi renewable energy yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengembangkan produksi energi bersih hingga menembus ASEAN. 

"Kalau misalnya AS menaruh pabrik solar panel saja di sini (Indonesia), kita menjadi pabriknya kan orang-orang kita juga ditampung bekerja," katanya. 

Suzie menilai ini menjadi peluang mengingat Biden berasal dari Partai Demokrat yang akan lebih getol dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Berbeda halnya dengan Trump dari latar belakang Republik.

"Kalau Biden akan memikirkan bagaimana menciptakan pekerjaan baru, makanya dia masuk ke renewable energy. Dia mencoba akan membuka pasar, kalau Trump nggak kelihatan, yang dia jual, straight forward aja, alutsista (alat utama sistem pertahanan)," ucapnya. 

Dalam mewujudkan itu, menurutnya, Indonesia perlu tanggap dalam melihat kesempatan termasuk dalam hal kerja sama dengan AS. Namun perlu diingat, Indonesia juga harus tetap jeli dan bisa menimbang tiap risiko yang terjadi. 

Ia mencontohkan, AS dalam hal investasi relatif tidak mau patuh dengan penerapan lokal konten (tingkat kandungan dalam negeri atau TKDN) hingga fleksibilitas smelting (pengolahan) dalam pertambangan.

"Orang Indonesia maunya smelting di sini, tapi mereka enggak mau. Kan juga problem, ini PR-nya," ujarnya. 

Dampak ekonomi terpilihnya Biden

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan kemenangan Biden akan membawa dampak positif terhadap perekonomian global. Utamanya, membangkitkan kepercayaan pasar bahwa perang dagang AS-China bisa mereda bahkan terhenti. 

"Perdagangan internasional akan bangkit yang kemudian bisa memicu produksi dan kenaikan harga. Ini akan merambat ke pasar keuangan, market confident akan mendorong risk appetite yang lebih besar sehingga transaksi dan indeks pasar keuangan akan meningkat," ujar Piter ketika dihubungi Alinea.id.

Menyoal perpajakan, Piter berpendapat walaupun Biden dari partai Demokrat akan cenderung lebih mengetatkan pajak dibandingkan Trump dari Republik. Namun, hal itu diramal tidak akan berpengaruh ke ekonomi AS sebab ada dampak positif yang mengiringi kebijakan tersebut. Di sisi lain, selama ini yang terdampak potongan pajak Trump juga notabene kalangan menengah atas. 

"Sesungguhnya tax cut yang dijanjikan partai Republik, hanya mengena pada kelompok kecil masyarakat kaya, dampaknya terhadap perekonomian AS tidak terlalu besar," ujarnya.

Indonesia, menurutnya, juga akan mendapatkan dampak positif dari bangkitnya perekonomian global pasca kemenangan Biden. Di antaranya, peluang kenaikan harga produk komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia hingga aliran modal yang mengalir baik dalam bentuk portofolio maupun FDI (investasi asing langsung). 

Senada, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho melihat, ada beberapa dampak ekonomi yang bisa dirasakan Indonesia secara langsung dari kemenangan Biden.

Terpilihnya Biden, kata dia, membuat ruang kerja sama bilateral antara AS dan Indonesia akan lebih ketat. Selain itu, dia melihat adanya peluang peningkatan ekspor ke AS dan meningkatnya dana asing yang masuk ke Indonesia.

"Perjanjian perdagangan balik lagi ke kerja sama regional, yang artinya tidak terlalu banyak untuk kerja sama yang sifatnya bilateral," kata Andry dalam diskusi virtual, Minggu (9/11).

Dia menerangkan, Biden mempunyai kebijakan perdagangan regional ketimbang bilateral. Namun, Andry juga melihat adanya peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke AS.

"Perlu digaris bawahi, kalau kita tidak bisa manfaatkan maka kita akan kalah. Pada trade war kita tidak dapat apa-apa. Setelah Covid-19, era supply chain yang terbesar di China akan turun dan pasti trade war akan meningkatkan peluang investasi keluar dari China. Itu harus ditangkap Indonesia," ujar Andry. 

Hubungan dagang antara Indonesia dan AS selama ini cukup menguntungkan. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada September mengalami surplus sebesar US$2,44 miliar, melanjutkan tren surplus lima bulan berturut-turut sejak Mei lalu.

Negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti Amerika Serikat (AS), India, dan Filipina menyumbang surplus non-migas terbesar selama September 2020 yang jumlahnya mencapai US$2,13 miliar. Neraca perdagangan dengan Amerika Serikat sendiri mencetak surplus sebesar US$1,08 miliar pada bulan ke sembilan 2020.

Beberapa janji kampanye yang dilontarkan mantan Wakil Presiden era Obama ini mencakup rencana pencabutan pemotongan pajak yang diberlakukan pemerintahan Trump. Biden juga akan menaikkan tarif pajak penghasilan individu teratas menjadi 39,5% dan menaikkan tarif pajak perusahaan dari 21 persen menjadi 28%.

Biden juga akan memfokuskan belanja pemerintah guna memacu manufaktur di berbagai sektor termasuk energi bersih, infrastruktur, dan perawatan kesehatan, dan lain-lain.

Berita Lainnya
×
tekid