sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rental baju: Ketika ingin stylish namun tetap menjaga bumi

Bisnis sewa baju berkembang sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Jumat, 18 Jun 2021 18:24 WIB
Rental baju: Ketika ingin stylish namun tetap menjaga bumi

Permasalahan ‘sejuta umat perempuan’, yang selalu merasa tidak memiliki baju, membuat seseorang terus membeli pakaian. Hal ini dibuktikan dalam survei yang dilakukan pada 2019 lalu, kepada 500 perempuan di Jabodetabek dengan rentang usia 24-35 tahun.

Hasilnya, 68% perempuan mengatakan bahwa mereka mengeluarkan Rp1,5 juta untuk produk fast fashion setiap bulannya. Sebanyak 92% perempuan mengaku tidak memiliki pakaian yang layak untuk dikenakan khususnya dalam menghadiri acara yang spesial. 

Selain itu, 75% perempuan mengaku tidak akan mengenakan lagi pakaian yang sama dalam poto yang diunggah di Instagram. Lalu 75% perempuan setuju bahwa fast fashion dress hanya akan dipakai 2-3 kali setelah pembelian.

“Selanjutnya, banyak juga yang mengatakan kalau ada opsi di mana mereka bisa menikmati koleksi fashion yang unlimited dan harga affordable, dan bisa sustainable, they would to try,” kata Dea Salsabila Amira yang menggelar survei tersebut kepada Alinea.id, Jumat (18/6).

Berbekal hasil survei tersebut, alumni Universitas Mercu Buana itu membangun Rentique, sebuah bisnis sewa pakaian atau rental fesyen. Tujuannya, mengajak para perempuan untuk dapat mengenakan busana rancangan desainer ternama. Selain lebih sustainable, baju sewaan juga bisa meningkatkan kepercayaan diri pemakainya tanpa menguras kantong.

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Rentique (@rentiqueid)

 

Sponsored

Jasa sewa di Rentique misalnya, hanya perlu merogoh kocek Rp290.000 untuk mendapatkan 9 potong baju. Bahkan dengan Rp80.000, anggota (membership) Rentique bisa menyewa baju karya berbagai macam desainer selama empat hari.

“Untuk desainer, kita ada kerjasama dengan Poppy Dharsno, Paras Atelier, Carmel Studio, Jenni Austin dan masih banyak lagi,” tuturnya.

Wanita 25 tahun ini menjelaskan, sejak berdiri pada 2019 lalu, Rentique telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Pasalnya, semakin banyak masyarakat Indonesia yang kian sadar akan dampak fast fashion terhadap lingkungan. Sewa baju juga menjadi alternatif bagi konsumen yang mayoritas berusia 25-38 tahun menghemat pengeluaran di tengah pandemi. 

“Karena orang kan di awal pandemi incomenya dibelikan ke toughtfull item kayak kebutuhan rumah tangga, kebutuhan fashion enggak ada,” jelas dia. 

Selain Rentique, ada pula penyedia jasa penyewaan baju sehari-hari asal Singapura yang kini telah memperluas jangkauan pasarnya ke Indonesia, Style Theory. Co-Founder Style Theory Raena Lim mengatakan, bisnis yang pertama kali berdiri pada Januari 2016 di Singapura itu merambah Indonesia sejak November 2017. Style Theory kemudian mengembangkan sayap ke Hong Kong pada 2020.

“Ide terbentuknya platform ini lahir dari keinginan untuk berganti outfit (pakaian) setiap hari,” ujarnya, kepada Alinea.id, Jumat (18/6).

 

 

 

Untuk penyewaan, platform ini menawarkan sistem berlangganan setiap bulan. Pengguna bisa menyewa tiga potong baju per bulan dengan harga Rp290.000-Rp890.000. Adapun koleksi pakaiannya adalah karya desainer yakni Karen Millen, Coast, Ted Baker, dan desainer lokal seperti Nikicio, Populo, hingga Kraton by Auguste Soesastro. 

“Kita juga menyediakan gratis pengiriman dan pengembalian serta laundry,” lanjut Raena. 

Sejak awal berdiri hingga kini, Style Theory telah mengalami peningkatan cukup pesat. Hal itu terlihat dari jumlah pengguna aplikasi, yang sudah mencapai 200.000 lebih pada 2020. selain itu, jika dilihat dari aplikasi Play Store, Style Theory telah diunduh oleh lebih dari 100.000 lebih pengguna. 

Penyumbang sampah terbesar

Dea sebagai Co-Founder sekaligus CEO Rentique menjelaskan, tumpakan sampah mode yang berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) tak lepas dari kebiasaan masyarakat. Utamanya perempuan dalam membeli produk fast fashion. Menurutnya, dalam satu tahun seorang perempuan dapat membeli sedikitnya 36 potong baju. 

“Dari situ, enggak semuanya bisa digunakan lagi untuk tahun depan. Misal kancingnya copot, benang ketarik dan sebagainya, itu enggak layak didonasikan. Ujung-ujungnya dibuang,” katanya.

Tren fesyen memang berputar dengan cepat. Koleksi fesyen selalu berganti setiap musim. Semula, hanya dua musim dalam setahun namun kini berkembang hingga 52 micro season dalam setahun. Artinya, akan ada model pakaian baru setiap minggu. 

Dengan kondisi tersebut, tak heran jika fesyen menjadi salah satu sektor industri yang digadang-gadang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sebut saja Brazil, Bangladesh, India, Turki, Tiongkok, hingga Indonesia yang menjadikan industri mode sebagai salah satu tumpuan pendatan negara. 

Namun, di samping sumbangannya kepada perekonomian yang cukup besar, ada hal lain yang sering kali luput dari perhatian masyarakat, yakni dampaknya bagi lingkungan dan sosial.

Di industri mode, khususnya produsen fast fashion, biasanya hanya memusatkan perhatian pada produksi masal tanpa mementingkan etika hak cipta desainer. Selain itu, banyak pula pekerja dari industri fast fashion yang dibayar dengan upah sangat murah, tanpa diperhatikan kualitas hidup dan kesehatannya.

Akibatnya tidak hanya menghasilkan produk dengan kualitas rendah, fast fashion juga rentan terhadap plagiarisme.

Di sisi lain, pelaku usaha mode sering kali tidak memperhatikan aspek lingkungan dalam perencanaan bisnisnya. Bahkan, satu dekade terakhir, sampah fesyen muncul sebagai momok baru bagi upaya perlindungan lingkungan. Fesyen menjadi penyumbang polusi terbesar kedua di dunia.

“Sampah fashion meliputi produk pakaian yang ketika sudah tidak terpakai menjadi sampah yang tidak mudah terurai oleh alam,” jelas Pengamat Ekonomi Politik Pembangunan dan Isu Lingkungan Asmarawati Handoyo, kepada Alinea.id, Senin (14/6).

Belum lagi soal kandungan pewarna dan bahan kimianya yang mencemari lingkungan. Mengutip Direkur perusahaan serat dari Austria Robert Van de Kerkhof, Asmarawati  bilang, pada 2030 nanti volume sampah fesyen dunia diperkirakan akan mencapai 140 juta ton. Angka ini naik sekitar 2,5 kali lipat dibanding saat ini.

Sebagai contoh, pembuatan celana jeans yang menggunakan 1 kilogram kapas, akan membutuhkan sekitar 10.000 liter air. Angka itu setara dengan jumlah air yang dikonsumsi oleh satu orang selama 10 tahun. 

Yayasan Ellen MacArthur juga menemukan bahwa sekitar US$500 miliar nilai hilang setiap tahun karena pakaian yang hampir tidak dipakai dan tidak didaur ulang. “Hal ini pernah dilakukan oleh H&M pada 2017. Sekitar 19 ton atau setara 50.000 jeans (dibakar). Dan stok Burberry pada 2018,” imbuhnya. 

Cara ini dilakukan agar image kedua perusahaan tersebut sebagai brand yang terus up to date dalam perkembangan mode dapat terus dipertahankan produsen fashion

Eco-warrior

Sementara itu, keberadaan rental fashion dirasa sangat membantu oleh para penggemar mode. Artika Fastinal Rustam misalnya. Putri Indonesia Gorontalo 2019 itu, akhirnya dapat mengubah gaya hidupnya setelah beralih menggunakan jasa sewa baju. 

Pengguna aplikasi Rentique itu bilang, sebelumnya dia harus mengeluarkan sedikitnya Rp800.000 untuk membeli item fesyen baru setiap bulannya. Namun, dengan menyewa baju, dia hanya perlu merogoh kocek Rp290.000 untuk dapat mengenakan delapan item baju berbeda setiap bulan. 

Ilustrasi Pixabay.com

“Dan itu adalah karya desainer ternama Indonesia,” ungkapnya kepada Alinea.id, Selasa (15/6). 

Selain bisa lebih menghemat pengeluaran, dengan rental baju dirinya juga merasa lebih mudah dalam mengekspresikan gaya berbusana. Pun yang tak kalah penting adalah lebih ramah lingkungan. 

“Dengan rental, kita bisa have fun with it sekaligus menjadi eco-warrior,” kata Artika yang kini bekerja menjadi staf di Komisi IX DPR RI.

Lain Artika, lain pula Bella. Sejak bekerja sebagai marketing executive di salah satu perusahaan internasional di Jakarta, dia menyadari bahwa pekerjaan menuntutnya untuk tampil modis di hadapan calon klien.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, setidaknya dia harus mengeluarkan dana sekitar Rp500.000 untuk satu potong pakaian. Padahal, dalam satu bulan, dirinya harus membeli 2-3 potong pakaian. “Dan itu boros banget,” keluhnya kepada Alinea.id, Rabu (16/6). 

Akhirnya, ia memanfaatkan jasa rental baju. Saat ini dia hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp290.000 per bulan untuk tiga item fesyen dari Style Theory. Ia juga tak perlu capek-capek mencuci baju sewaannya.

“Jadi enak sih, tinggal pakai. Diantar ke rumah, kalau udah juga nanti akan dijemput. Itu juga menghemat waktuku,” imbuhnya.

Pengamat Mode Sonny Muchlison menilai rental fashion menjadi salah satu bisnis di industri mode yang memiliki masa depan menjanjikan. Terlebih, saat ini semakin banyak masyarakat yang sadar akan resiko fast fashion terhadap lingkungan. 

Selain itu, harga sewa yang lebih terjangkau juga menjadi opsi masyarakat untuk menghemat pengeluaran tersier mereka di kala pandemi. “Setidaknya rental fashion akan berkembang tiga sampai lima tahun lagi,” tegasnya, Kamis (17/6).

Namun demikian, dirinya berpesan agar pengusaha rental fesyen tetap memperhatikan kebersihan dari pakaian-pakaian yang disewakan. Menurutnya hal ini sangat penting untuk dilakukan, terutama saat pandemi seperti saat ini.

“Kan biasanya pakaian yang di display itu bisa dipegang-pegang sama calon konsumennya. Itu harus diperhatikan kebersihannya,” tambahnya.

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid