sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia di tengah tarik-menarik kepentingan geopolitik nikel dunia

Nikel menjadi keunggulan komparatif Indonesia dalam percaturan geopolitik global, namun peningkatan nilai tambah masih jadi pekerjaan rumah.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Jumat, 06 Nov 2020 15:08 WIB
Indonesia di tengah tarik-menarik kepentingan geopolitik nikel dunia

Indonesia merupakan pemain penting dalam tata niaga nikel dunia. United States Geological Survey (USGS) melaporkan negeri khatulistiwa ini memiliki cadangan bijih nikel sebesar 21 juta ton dengan produksi 800 ribu ton pada 2019. Fakta itu menempatkan Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia. Di sisi lain, Wood Mackenzie memperkirakan kebutuhan nikel dunia akan meningkat dari 2,4 juta ton pada 2019 menjadi 4 juta ton pada 2040. 

Peningkatan tersebut disumbangkan oleh produksi baja tahan karat (stainless steel) dan baterai. Kebutuhan nikel untuk baja tahan karat meningkat dari 1,65 juta ton pada 2019 menjadi 1,9 juta ton pada 2040, sementara itu kebutuhan untuk baterai meningkat dari 163 ribu ton menjadi 1,22 juta ton. Meningkatnya kebutuhan baterai ini didorong oleh berkembangnya penggunaan kendaraan listrik.

Komisaris PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Raden Sukhyar menilai sumber daya nikel menjadi salah satu keunggulan komparatif Indonesia. Pertama, bijih yang diproduksi memiliki kadar nikel yang lebih tinggi dibanding negara-negara produsen di kawasan Asia Pasifik seperti Filipina, Australia, dan Kaledonia Baru. Selain itu, deposit nikel Indonesia banyak terdapat di tanah (laterit) yang lebih mudah ditambang dibandingkan deposit dalam batuan.

“Artinya dengan produksi yang sama kita mendapat kadar nikel yang lebih baik.” katanya melalui sambungan telepon, Rabu (4/11).

Kedua, jarak Indonesia lebih dekat dengan pasar utama nikel dunia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Dia menilai secara geopolitik Indonesia memiliki hubungan baik dengan keempat negara tersebut yang potensial menjadi pasar utama produk nikel Indonesia. Ketiga, keamanan dalam negeri yang terjamin membuat investor nyaman dalam melakukan aktivitas pertambangan.

“Kalau keunggulan komparatif lebih banyak dari Yang Maha Kuasa, tapi ini harus bisa diamankan bagaimana bisa menjadi keunggulan kompetitif,” tegasnya. 

Menurutnya, Indonesia memiliki semua komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor listrik. Namun terkecuali untuk litium yang harus impor dari negara produsen seperti Australia, China, dan beberapa negara di Amerika Selatan dan Afrika. 

Seorang pekerja menunjukkan bijih nikel di smelter feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk. di distrik Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Foto Reuters/Yusuf Ahmad.

Sponsored

Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo menambahkan besarnya cadangan nikel Indonesia menarik minat banyak investor asing. Hal ini juga berimbas pada meningkatnya harga nikel yang kini mencapai kisaran US$15.000/ton, meskipun pada awal tahun sempat jatuh hingga mencapai sekitar US$11.000/ton. 

“Bisnis nikel kan lagi naik daun. Arahnya bukan stainless steel seperti sendok, garpu, dan panci, kita enggak bicara lagi terlalu kecil. Paling penting kan sekarang buat baterai untuk kendaraan bermotor. Dari mobil yang pakai listrik baterai, 70% bahannya nickel metal hybrid. Itu 70%-nya kan nikel,” ungkapnya kepada Alinea.id, Selasa (3/11).

Meskipun perusahaan kendaraan bermotor listrik (KBL) berlomba-lomba datang, Handojo menilai teknologi pengembangan baterai harus dikuasai oleh Indonesia sebagai tuan rumah. Hal ini berkaca pada dominasi China dalam industri stainless steel lantaran menguasai semua lini produksinya seperti nikel dan krom.

Indonesia hanya memiliki nikel karena masih minimnya krom yang tersedia. Sementara itu, perusahaan-perusahaan China banyak membeli dan membuka tambang krom di Afrika.
    
Fokus hilirisasi

Sadar akan besarnya potensi Indonesia, pemerintah tengah mendorong adanya hilirisasi nikel dalam rangka meningkatkan nilai tambah ekonomi. Hilirisasi logam di dalam negeri menjadi amanat Undang-Undang (UU) 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang kemudian direvisi oleh UU 3/2020. 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi hasil olahan nikel di Indonesia didominasi oleh feronikel (FeNi) sebesar 1,1 juta ton pada 2019. Feronikel ini merupakan bahan baku dari baja tahan karat. Adapun jumlah pabrik peleburan logam (smelter) di Indonesia telah mencapai 11 unit pada tahun yang sama. 

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan dan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif menjelaskan pihaknya tengah mendorong hilirisasi tak hanya sebatas memproduksi FeNi, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte semata, namun juga pengolahan nikel sulfat (Ni-sulfat) dan kobalt sulfat (Co-sulfat) yang merupakan bahan baku katoda baterai Litium Nikel Kobalt Mangan Oksida (NMC) maupun Litium Nikel Kobalt Alumunium Oksida (NCA). 

Tak hanya untuk kendaraan listrik, baterai ini nantinya akan menjadi komponen bagi kendaraan bertenaga listrik maupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), 

“Ada usul bagaimana supaya ada moratorium produk smelter NPI yang mendominasi produk kita. Kemudian, PPN produk jadi atau setengah jadi dan pembebanan bea masuk untuk menjaga daya saing produk dalam negeri. Ini tentunya WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) harus diperhatikan ya,” jelasnya melalui telekonferensi, Selasa (13/10).

Di sisi lain, bijih limonit yang memiliki kadar nikel rendah (<1.5%) masih jarang dimanfaatkan oleh smelter-smelter dalam negeri. Untuk menyerap bijih berkualitas rendah tersebut, pengembangan smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) atau pencucian asam bertekanan tinggi menjadi fokus pemerintah.

Smelter HPAL mampu mengolah bijih limonit menjadi Mix Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP). Dua bahan nantinya akan menjadi bahan baku Ni-sulfat dan Co-sulfat.

Irwandy menjelaskan terdapat lima smelter HPAL yang akan beroperasi antara 2021-2023. Adapun modal investasi yang dikeluarkan mencapai US$4,68 miliar dengan kapasitas keseluruhan mencapai 205.000 ton nikel murni. Selain itu, pihaknya menargetkan jumlah smelter yang beroperasi meningkat dari 11 smelter pada 2019 menjadi 29 smelter pada 2022. 

“Kita ada stainless steel, industri baterai yang dirintis, kemudian RKEF (Rotary Klin-Electric Furnace), dan slag. Inilah yang selalu kita kenal sebagai pohon industri. Poin ini jadi perhatian bersama Kementerian Perindustrian semoga bisa menyerap intermediate product dan masuk ke industri lebih hilir,” jelasnya.

Kapasitas produksi smelter nikel Indonesia (Sumber : Kementerian ESDM)
Produk Kapasitas tahun 2019 Kapasitas tahun 2022 Jumlah smelter tahun 2019 Jumlah smelter tahun 2022
Nickel Pig Iron (NPI) 500.000 ton 2.300.000 ton 4 14
Nickel matte 78.000 ton 78.000 ton 1 1
Feronikel (FeNi) 1.200.000 ton 2.200.000 ton 5 11
NiOH 21.000 ton 21.000 ton 1 1
MHP 0 172.000 ton 0

2

Menurutnya, semangat hilirisasi yang ada di UU 3/2020 tidaklah bertentangan dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang baru-baru ini disahkan oleh pemerintah karena proses pembahasannya hampir bersamaan. UU Cipta Kerja sendiri diharapkan mampu menarik minat pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia melalui penyederhanaan dan harmonisasi peraturan serta kemudahan perizinan.

“Saya pikir, jiwa daripada tujuan nilai tambah itu tetap tertampung di dalam undang-undang nomor tiga sesuai dengan yang ada di undang-undang Cipta Kerja,” ujarnya. 

Meskipun demikian, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P. G. Talattov menganggap undang-undang sapu jagat tersebut bukanlah jawaban untuk menghadapi tantangan hilirisasi.

“Pada prinsipnya persoalan investasi kita tidak serta merta diselesaikan denagan kehadiran UU Cipta Kerja. Yang penting bagaimana konsistensi terhadap peraturan-peraturan yang sudah dibuat, termasuk konsistensi dalam menegakkan aturan mainnya,” tegasnya kepada Alinea.id, Kamis (28/10).

Menurutnya, investor tidak serta merta percaya dengan gimik pemerintah yang mengeluarkan undang-undang tersebut, terutama persoalan korupsi. Di sisi lain, Abra melihat pemerintah sering mentoleransi praktek-praktek yang sudah disepakati. Ia mencontohkan larangan ekspor bijih dalam waktu 10 tahun seperti yang diamanatkan UU 4/2009.
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid