Presiden Prabowo Subianto menargetkan program mobil nasional akan terwujud dalam tiga tahun. Ia memastikan telah memberikan dana dan lahan untuk mendirikan pabrik mobil tersebut.
"Saya sudah alokasi dana, sudah kita siapkan lahan untuk pabrik-pabriknya. Sedang bekerja sekarang tim," ujar Prabowo di Istana Negara Jakarta, Senin (20/10).
Terkait hal ini, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita telah mengusulkan agar program ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Pasalnya, semua kebutuhan sudah disiapkan termasuk perusahaan untuk mengeksekusi program ini juga sudah ada.
Agus menyampaikan, usulan program ini masuk sebagai PSN telah disampaikan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) secara tertulis. Ia berharap dengan menyampaikan ke Bappenas akan mempercepat berjalannya program tersebut.
"Dan dengan penetapan status PSN, itu seharusnya semua hal yang berkaitan dengan persiapan, implementasi, sampai nanti commissioning itu bisa lebih cepat, sesuai dengan harapan dari Bapak Presiden," kata Agus, dikutip Antara, Jumat (24/10).
Berkaca dari negara lain
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai program mobil nasional bukan hal baru di Indonesia, namun belum pernah dijalankan secara konsisten dan menyeluruh.
“Sebenarnya inisiasi mobil nasional sudah dimulai sejak tahun 1996, sebelum krisis ekonomi,” ujar Esther kepada Alinea.id, Jumat (24/10).
Saat itu, pemerintah sempat menggagas kerja sama dengan Korea Selatan untuk memproduksi mobil Timor, yang merupakan hasil kolaborasi dengan Kia Motors. Namun, program tersebut kemudian berhenti di tengah jalan.
“Setelah itu ada mobil Esemka, dan sekarang muncul lagi mobil Maung. Jadi kalau niatnya serius, sebenarnya bisa seperti Malaysia dengan Proton,” jelasnya.
Menurut Esther, keberhasilan Malaysia dan Korea Selatan dalam membangun industri otomotif nasional bukan hanya karena semangat atau niat, tetapi juga karena dukungan penuh dari pemerintah.
“Yang dibutuhkan tidak hanya niat, tapi juga daya upaya yang serius untuk mendorong ke arah sana. Termasuk melalui insentif dan proteksi di tahun-tahun awal produksi agar mobil nasional bisa bersaing dengan merek lain,” tegasnya.
Ia menambahkan, Korea dan Malaysia bisa menjadi contoh (benchmark) yang baik bagi Indonesia dalam mengembangkan ekosistem industri mobil nasional.
“Pasar domestik kita masih sangat besar untuk diisi oleh mobil nasional. Setelah itu, baru bisa dipikirkan bagaimana produk tersebut diekspor,” kata Esther.
Sementara, Akademisi Prodi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menilai program mobil nasional sebaiknya tidak hanya berorientasi pada kendaraan untuk pejabat, tetapi juga memperhatikan kebutuhan rakyat secara luas.
Menurut Djoko, saat ini sekitar 95% kota di Indonesia tidak memiliki transportasi umum modern. Bahkan, banyak kota sudah sama sekali tidak memiliki fasilitas transportasi umum.
“Kalaupun ada, rata-rata sarana transportasi umum itu usianya sudah di atas 10 tahun hingga 15 tahun dan tidak layak operasi,” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (24/10).
Ia menambahkan, transportasi umum modern dengan skema buy the service baru tersedia di 17 kota dan 11 kabupaten, padahal Indonesia memiliki 514 pemerintah daerah, termasuk 38 provinsi.
Djoko menilai, jika pemerintah ingin mengembangkan program mobil nasional, sebaiknya juga mencakup produksi kendaraan untuk rakyat seperti bus, angkutan pedesaan, dan truk.
“Bus dibutuhkan untuk menambah jumlah kota dan kabupaten yang memiliki transportasi umum modern. Angkutan pedesaan penting agar warga desa bisa ke pasar dan mengangkut hasil pertanian. Sementara truk dibutuhkan untuk mendukung logistik dan distribusi pangan,” jelasnya.
Ia mencontohkan negara seperti India, Tiongkok, dan Jepang, yang tidak hanya fokus pada produksi mobil pribadi, tetapi juga menjadikan bus dan truk sebagai target produksi nasional.
“Saat ini, bus dan truk di Indonesia sebagian besar bukan produksi dalam negeri. Padahal kebutuhan akan kendaraan jenis ini cukup tinggi,” katanya.
Djoko mengingatkan, anggaran negara yang bersumber dari rakyat atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak hanya diarahkan untuk kepentingan pejabat.
“APBN dari rakyat, jangan hanya untuk pejabat. Rakyat juga harus ikut menikmati program mobil nasional,” tegasnya.