sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Suku bunga tinggi di era pelonggaran moneter

Bank Indonesia telah lima kali menurunkan suku bunga acuan sepanjang tahun 2020, namun transmisinya ke lembaga perbankan masih lambat.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Jumat, 27 Nov 2020 17:41 WIB
Suku bunga tinggi di era pelonggaran moneter

Melalui telekonferensi dari kantornya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 November silam. Rapat tersebut memutuskan suku bunga acuan BI 7-Days Repo Rate turun dari 4,00% menjadi 3,75%. Penurunan ini merupakan yang kelima kalinya sepanjang tahun 2020. Pada awal tahun, BI 7-Days Repo Rate masih berada di level 5,00%.

"Keputusan ini mempertimbangkan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional," katanya pada Rabu (18/11).

Penurunan suku bunga acuan tersebut merupakan salah satu kebijakan pelonggaran moneter yang dilakukan oleh BI. Hingga 17 November 2020, BI telah menambah likuiditas di perbankan (quantitative easing) sebesar  Rp680,89 triliun. Angka ini bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Rp155 triliun, ekspansi moneter Rp510,09 triliun, dan sisanya dari sumber lainnya.

“Sejalan dengan kebijakan moneter dan makroprudensial akomodatif yang ditempuh BI. Likuiditas tetap longgar, sehingga mendorong suku bunga terus turun dan mendorong perekonomian,” ungkapnya.

Perry menambahkan kebijakan penurunan BI 7-Days Repo Rate telah berkontribusi pada penurunan suku bunga deposito dan kredit modal kerja dari masing-masing 5,18% dan 9,40% pada September 2020 menjadi 4,93% dan 9,38% pada Oktober 2020. Kemudian, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun juga turun dari 6,58% pada akhir Oktober 2020 menjadi 6,13% per 18 November 2020.

"Kedepan ekspansi moneter, percepatan realisasi anggaran pemerintah, dan program restrukturisasi perbankan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) diharapkan mampu mendorong penyaluran kredit dalam rangka pemulihan ekonomi nasional," tuturnya.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah), dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso (kanan)berbincang di Istana Negara. Foto Antara.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai kebijakan penurunan suku bunga acuan yang telah beberapa kali dilakukan oleh BI masih belum mampu memulihkan perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang masih -3,49% pada kuartal-III 2020, naik tipis dari -5,32% pada kuartal sebelumnya.

Sponsored

“Mau jungkir balik, enggak bakal pulih kalau pandeminya masih ada. Negara-negara yang pulih adalah negara yang pandeminya sudah berakhir, sudah mereda. Kita mereda saja belum, ya enggak mungkin. Apapun yang dilakukan pemerintah belum bisa memulihkan. Hal yang dilakukan pemerintah adalah menahan agar dampaknya tidak terlalu mendalam,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (25/11).

Piter memperkirakan kebijakan moneter yang ekspansif dan penurunan suku bunga acuan masih akan terjadi hingga tahun depan mengikuti tren yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Uni Eropa.

Suku bunga acuan turun, suku bunga perbankan masih tinggi

Tingginya suku bunga di Indonesia dikeluhkan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Pasar Modal dan Dewan Pakar Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Gunawan Tjokro. Ia mengungkapkan rasio suku bunga kredit dengan deposit di Indonesia mencapai tiga kali lipat, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang hanya dua kali lipat.

“Di Thailand, pinjaman fix (tetap) lima tahun cuma 3,5%. Saat ini bunga bank di kita yang bagus sekali 8%, kalau bank menengah dan kecil 10-11%,” ujarnya dalam webinar Economic Outlook 2021: Geliat Industri Perbankan 2021, Rabu (25/11).

Spread tingkat suku bunga beberapa negara ASEAN 2019 (Sumber : Bank Dunia)
Negara Spread suku bunga (%)
Indonesia 3,7
Brunei Darussalam 5,1
Malaysia 1,9
Myanmar 8,0
Filipina 3,0
Thailand  2,7
Vietnam 3,2
Singapura 5,0

Padahal, penurunan suku bunga sangat diharapkan oleh para pelaku usaha demi mendapat pendanaan yang murah agar bisa bangkit dari resesi ekonomi nasional dan perlambatan ekonomi global di era pandemi.

Menurut Tjokro, hal ini disebabkan oleh regulasi yang mewajibkan lembaga perbankan mengurangi resiko penambahan beban yang kemudian menjadi biaya dalam menghimpun dana. Imbasnya, nasabah-nasabah baik mensubsidi potensi kerugian yang disebabkan oleh nasabah-nasabah kurang baik, sehingga menjadi beban bagi para pengusaha. 

Sebagai penggawa BI, Perry Warjiyo mengakui penurunan suku bunga acuan tidak serta merta menurunkan suku bunga kredit dan deposito perbankan. Ia menduga masih tingginya suku bunga kredit perbankan disebabkan oleh persepsi resiko kredit yang diterapkan oleh masing-masing bank. Menurutnya, aktivitas ekonomi kekinian dipandang berisiko tinggi bagi lembaga perbankan.

Meskipun demikian, ia berpendapat seharusnya perbankan dapat mendorong penurunan suku bunga lebih jauh. Pasalnya, ada penurunan biaya dana (cost of funds) akibat menurunnya suku bunga acuan dan menurunnya biaya adminsitrasi lantaran semakin masifnya digitalisasi perbankan. Selain itu, indikator pemulihan ekonomi yang mulai terjadi seharusnya membuat perbankan mau menurunkan suku bunganya.

“Kesimpulannya faktor cost of fund sudah turun, faktor likuiditas sudah longgar, biaya administrasi sudah ditekan, tentu saja ada faktor persepsi risiko. Oleh karena itu, saya mengharapkan perbankan menurunkan suku bunga. Bersama-sama dunia usaha, pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan pihak-pihak lain, mari kita membangun optimisme, mari kita turunkan suku bunga kredit, mari kita dorong penyaluran kredit agar perekonomian kita lebih baik,” imbaunya.

Penyaluran kredit masih setengah hati

Sementara itu, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengungkapkan indikator perbankan nasional masih dalam rentang aman. Rasio kredit bermasalah kotor (Non Performing Loan/NPL Gross) masih berada di level 3,15% pada Oktober 2020, jauh di bawah batas aman sebesar 5,00%. 

Kemudian, jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dari Rp5.968,65 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp6.619,88 triliun pada Oktober 2020 atau naik 10,36%. Di sisi lain, jumlah penyaluran kredit menurun dari Rp5.616,99 triliun menjadi Rp5.480,7 triliun atau turun 2,43%. 

Dari segi profitabilitas, margin bunga bersih (Net Interest Margin) masih di level 4,29% dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) di angka 86.26%. 
[Data DPK dan kredit dapat ditampilkan di sini]

“Yang perlu kita waspadai adalah loan at risk atau LAR perbankan sebagai dampak dari kredit restrukturisasi. LAR saat ini berada di level 23%, sementara NPL 3,15%, jadi memang ada gap antara NPL dan LAR tinggi akibat restrukturisasi,” ungkapnya pada Rabu (25/11).

Oleh karena itu, pihaknya mendorong bank untuk menyisihkan dananya dalam Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan kecukupan modal agar mampu menyalurkan kredit ketika perekonomian sudah mulai pulih pascapandemi. Selain itu, ia juga mendorong adanya konsolidasi bisnis dan kelembagaan untuk memperkuat permodalan lembaga perbankan.

Di lain pihak, Anung mengakui terjadi kesenjangan yang melebar antara DPK dengan penyaluran kredit lantaran adanya persepsi risiko perbankan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Hal ini ditunjukkan oleh turunnya rasio kredit terhadap simpanan (Loan-to-Deposit Ratio/LDR) dari 94,43% pada akhir 2019 menjadi 86,26% pada Oktober 2020. 

“Memang benar likuiditas kita sangat ample (cukup). Pemerintah telah melakukan ekspansi fiskal dan adanya ekspansi moneter dari Bank Indonesia serta penurunan suku bunga juga cukup menopang likuiditas perbankan. Ketika LDR yang sekarang di angka 80-an dan kembali ke 92%, berapa besar likuiditas dan kemampuan bank menopang itu? Itu jadi pertanyaan,” jelasnya.

OJK memperkirakan penyaluran kredit akan tumbuh 1-4% pada 2021 mendatang seiring dengan prospek pemulihan ekonomi nasional pascapandemi. 

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk Sunarso mengungkapkan pihaknya masih dapat membukukan laba bersih Rp14,2 triliun sepanjang Kuartal-III 2020 atau berkurang 42,7% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Selama periode tersebut, DPK BRI mencapai Rp1.131,93 triliun atau naik 18,00%, sedangkan penyaluran kredit hanya mencapai Rp935,35 triliun atau tumbuh 4,86%.

BRI, lanjutnya, juga tengah menerapkan strategi bisnis mengikuti stimulus (business follow stimulus) yang fokus mengarahkan sumber daya untuk memperlancar stimulus agar efektif sampai ke masyarakat. Misalnya, penyaluran subsidi bunga, kredit usaha rakyat (KUR), bantuan presiden produktif, hingga subisidi gaji. Dengan membaiknya sektor riil, harapannya permintaan kredit akan meningkat.

“Fakta menununjukan kami sajalah, dana masyarakat tumbuh 18%, kredit kami hanya tumbuh 4,9%, bahkan nasional hanya tumbuh 0,12%. Artinya, kalau LDR nasional 82% menuju ke idealnya 92%, maka ada Rp1.200 triliun duit yang tidak tersalurkan dalam bentuk kredit. Jadi dengan LDR 82% menuju ke 92% yang ideal, terdapat sepuluh persen selisih LDR. Berarti ada Rp1.200 triliun terjebak yang tidak bisa disalurkan secara produktif dalam bentuk kredit,” terangnya.

Meskipun NPL BRI per Oktober 2020 hanya 2,78% yang masih tergolong aman, pihaknya mencadangkan dana hingga 232% dari jumlah NPL. Sunarso beralasan NPL yang rendah tersebut disebabkan oleh kebijakan restrukturisasi yang diatur dalam Peraturan OJK 11/2020. Selain itu, terdapat resiko LAR yang berpotensi menjadi kredit bermasalah sebagaimana disebut oleh Anung.

“Dalam situasi seperti ini, kita harus dikawal oleh selamat dulu, untung kemudian. Sekarang kita masih bisa untung dan selamat itu berkah dan atas effort dan strategi kita yang harus sangat harti-hat mengelolanya,” ujarnya.

Direktur Finance, Treasury, & Strategy PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk Nixon L.P. Napitupulu menjelaskan tingginya suku bunga kredit disebabkan oleh tingginya biaya dana dan biaya credit (cost of credit) yang perlu ditanggung oleh perbankan. Akibatnya, suku bunga kredit tidak serta merta turun setelah turunnya suku bunga acuan BI. 

Cost of fund kan enggak serta merta turun, sesuai jatuh tempo deposito. Kan ada deposito juga yang (jangka waktu) lebih dari tiga bulan,” tulisnya melalui pesan singkat, Kamis (26/11).

Untuk mengurangi biaya dana, BTN secara bertahap meningkatkan jumlah dana murah melalui pengurangan porsi simpanan Tabungan BTN Prima yang memiliki bunga simpanan lebih tinggi.

Nixon mengatakan pihaknya terus melakukan penyesuaian suku bunga seiring dengan keputusan BI yang menurunkan suku bunga. Di sisi lain, ia memastikan subsidi bunga KPR tetap 5%, di bawah suku bunga dasar KPR non subsidi yang mencapai 10,5% per 31 Oktober 2020. 

Pada kuartal-III 2020, BTN telah menyalurkan KPR sebesar Rp231,81 triliun atau sebesar 90,94% dari total kredit yang disalurkan oleh perseroan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45,63% atau Rp116,33 triliun merupakan KPR subsidi.

Dipicu oleh perebutan DPK nasabah

Piter Abdullah Redjalam mengungkapkan tingginya suku bunga kredit disebabkan oleh adanya persaingan antar bank dalam memperebutkan DPK dengan cara memberikan suku bunga deposito atau tabungan yang tinggi. Hal ini terutama terjadi pada bank BUKU I dan II yang memiliki modal terbatas. Di sisi lain, posisi tawar pemilik dana di Indonesia relatif kuat. 

“Bunga adalah harga dari likuiditas. Kalau likuiditasnya sempit, harganya mahal. Kalau barangnya sedikit, harganya mahal. Kalau kita enggak mau suku bunga tabungan kita rendah, suku bunga kredit tidak mau turun jadinya,” ungkapnya melalui sambungan telepon.

Musabab lainnya, kata Piter, bank berpotensi mengalami kerugian bila memberikan suku bunga kredit di bawah imbal hasil surat berharga negara (SBN) 10 tahun yang mencapai 6,21% per Kamis (26/11). 

“Penurunan suku bunga kredit butuh waktu minimal 1-2 triwulan untuk bisa efektif mendorong pertumbuhan kredit. Kita tidak bisa melihat semuanya instan. Penurunan suku bunga kredit memberikan peluang (penyaluran kredit) di masa yang akan datang ketika pandemi ini berakhir, dunia usaha mulai bergerak dan suku bunga bergerak melaju kencang nanti,” terangnya.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai sikap bank yang cenderung menahan dana di dalam bank supaya tidak tersalurkan menjadi kredit bukanlah keinginan bank itu sendiri lantaran spread bunga (selisih bunga kredit dengan deposito) menjadi sumber pendapatan utama. Selama sektor riil belum bergeliat, bank akan tetap terus menahan dananya. 

Hal ini juga didukung oleh rendahnya indeks keyakinan konsumen (IKK) Indonesia dalam membelanjakan uangnya, sehingga mereka lebih memilih untuk menyimpan uang di lembaga perbankan. Menurut hasil survei konsumen yang dirilis oleh BI, IKK Oktober 2020 mencapai 79,00% atau turun 4,4% dibanding bulan lalu. Dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, IKK telah mengalami penurunan sebesar 33,28%.

Oleh karena itu, ia menilai bank-bank besar, terutama berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perlu menginisiasi penurunan suku bunga kredit karena posisinya menjadi penguasa pasar sektor perbankan nasional. Kemudian, hal ini akan memicu bank-bank swasta untuk ikut menurunkan suku bunga kredit mereka.

“Harus serempak, sekiranya separuh lebih bank harus mulai. Kalau bank gede enggak memulai, enggak akan kejadian juga. Sekarang konsep bank kan experience. Bank ini menjaga agar nasabah tidak keluar dari bank mereka. Dikasihlah berbagai kemudahan-kemudahan, sehingga kalau dia dengan gampang menurunkan suku bunga depositonya, nasabah itu akan lari,” ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (25/11).

Lanjutnya, suku bunga kredit Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di kawasan. Hal ini disebabkan oleh alternatif pembiayaan sektor riil di Indonesia yang lebih terbatas. Bila debitur menganggap bunga kredit mahal, mereka mencari alternatif pendanaan di pasar modal melalui penerbitan saham maupun obligasi. 

Menurut Eko, hali ini tidak berjalan optimal di Indonesia lantaran penetrasi masyarakat terhadap pasar modal yang masih rendah. Di sisi lain, platform teknologi finansial (fintech) yang digadang-gadang menjadi alternatif penyaluran kredit juga banyak menyimpan dananya di bank.

“Sekarang bargaining position bank kuat sekali, bahkan sekarang growth kredit cuma satu persen mereka masih untung kan. Mereka cuma mengubah source of margin saja yang tadinya jualan kredit, sekarang layanan pembayaran, transaksi elektronik, dan macam-macam lah. Itu bisa menyeimbangkan pendapatan kredit. Di sisi lain, bank-bank kecil kasihan juga karena tidak bisa menyediakan fasilitas secanggih itu,” pungkasnya.
 

Berita Lainnya
×
tekid