sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

China topang pertumbuhan bisnis Starbucks

Harga kopi yang mahal membuat masyarakat China menilai mengkonsumsi Starbucks dianggap sebagai simbol status kelas menengah atas.

Mona Tobing
Mona Tobing Jumat, 26 Jan 2018 17:01 WIB
China topang pertumbuhan bisnis Starbucks

Pada Januari 2009, saat Amerika Serikat (AS) menunggu Presiden baru berkantor, majalah internasional Esquire pernah mempublikasikan interview singkat Alice Cooper yakni penyanyi dan seorang aktor AS yang memiliki khas suara serak. 

Cooper menilai perusahaan-perusahaan di AS segera angkat kaki dari negaranya. Hal ini diawali dengan produsen otomotif kenamaan General Motor atau GM. Menyusul juga toko kopi Starbucks. AS memang ingin Starbucks memperluas pasarnya di luar negara, mengekor GM.

Apa yang dikatakan Cooper benar-benar terjadi. Waralaba kopi ini kemudian sukses di negara lain dan memperkenalkan budaya minum kopi di seluruh dunia. Starbucks telah berada di seluruh tempat yang bisa dijangkau yakni airports, pusat perbelanjaan, area parkir, sudut-sudut jalan hingga di jaringan media sosial. 

Kini kejayaan Starbuck terjadi di China. Starbucks melaporkan pendapatan kuartal pertama fiskal Q1 tahun 2018 di China menguat dengan ditandai penjualan naik 6%. 

Presiden dan CEO Starbucks Kevin Johnson mengatakan bahwa pendapatan di China diperkirakan tumbuh 30% pada kuartal I fiskal 2018. Dia bahkan mengaku gembira dengan pencapaian kopi berlambang putri duyung ini.

"China Timur telah menempatkan kita pada pertumbuhan yang melesat di pasar utama China," tukas Johnson seperti dikutip CNBC. Diperkirakan kopi di seluruh dunia naik 2% pada kuartal 2018. 

Kesuksesan Starbucks di China bukan hal yang biasa. Meskipun China merupakan pasar yang memiliki potensi komersial sangat besar dengan konsumen terbesar, namun tidak semua brand asing bisa sukses di pasar. 

Brand besar, seperti KFC Yum Brand Ic, GM, McDonald's, Pierre Cardin, 7-Eleven dan Coca Cola tidak sepenuhnya berhasil. Kondisi ini terjadi karena masyarakat China tidak mempedulikan produk atau brand impor dan lebih banyak terpaku pada produk lokal. 

Sponsored

Atas kondisi tersebut, banyak yang memprediksi saat Starbucks Coffe pertama kali membuka cabang pertamanya di China pada tahun 1999 di Beijing's China World Trade Center, bahwa brand tersebut tidak akan bertahan lama. Alasan pertama, masyarakat China lebih menyukai produk lokal. Plus, kopi tidak populer di China. Sebab, budaya minum teh sangat kental di China. 

Namun kondisi tersebut justru berbalik. Selera masyarakat China akan minuman kopi yang pahit dan mahal terbilang tinggi. Bahkan konsumsi kopi di China terus naik sejak tahun 2013. 

Masyarakat China tidak terlalu mempersoalkan harga kopi yang mahal. Memang strategi ini digunakan agar perusahaan meraih sukses di pasar China. 

Harga kopi yang mahal membuat masyarakat China menilai mengkonsumsi Starbucks dianggap sebagai simbol status kelas menengah atas. Siapa yang mampu membeli kopi tersebut menunjukkan kemewahan tersendiri. 

Penjualan di AS mengecewakan 

Sementara itu penjualan di AS tumbuh 2%, persentase tersebut terbilang stagnan. Johnson menjelaskan bahwa penjualan minuman, merchandise hingga kartu sepanjang musim libur terbilang mengecewakan. 

Johnson merinci bahwa penjualan makanan di Starbucks hanya naik 2% pada kuartal I. Kemudian, untuk minuman hanya 1%. Padahal selama liburan, minuman rasa baru seperti Eggnog Latte dan Chesnut Praline Chai Tea Latte ditawarkan. Sayang, tidak terlalu mendongkrak penjualan.  

Starbucks berharap dapat meningkatkan penjualan di AS dan memikat pelanggannya pada sore hari lewat diskon dan promosi. Sekaligus berencana memanfaatkan pemesanan mobile dan pemasaran digital. Cara ini bertujuan meningkatkan frekuensi konsumen mengunjungi kedai kopi.


 

 
Berita Lainnya
×
tekid