sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pilpres AS 2020: Donald Trump vs Joe Biden?

Donald Trump jadi satu-satunya yang menonjol dari kubu Republik ketika Demokrat menawarkan sejumlah opsi kandidat capres.

Valerie Dante
Valerie Dante Senin, 13 Jan 2020 12:01 WIB
Pilpres AS 2020: Donald Trump vs Joe Biden?

Pada November 2020, Amerika Serikat akan menyelenggarakan pemilihan presiden yang berlangsung empat tahunan. Ada 13 kandidat calon presiden yang tengah bertarung dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat, sementara Konvensi Nasional Partai Republik belum berlangsung. Meski demikian sejauh ini, Donald Trump (73) satu-satunya yang paling menonjol.

Di Partai Demokrat, sosok Joe Biden (77) yang merupakan mantan wakil presiden era pemerintahan Barack Obama digadang-gadang sebagai calon terkuat penantang Trump. 

Selain Biden, politikus kawakan Bernie Sanders (78), miliarder yang juga mantan Wali Kota New York Michael Bloomberg (77), Wali Kota South Bend Pete Buttigieg (37), dan Senator Massachusetts Elizabeth Warren (70) turut memperebutkan kursi capres dari partai berlambang keledai tersebut.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yohanes Sumarno menilai bahwa Biden dan Buttigieg merupakan dua kandidat kuat yang berpotensi melawan Trump.

"Keduanya menampakkan diri sebagai pemimpin sentris. Mereka berhaluan tengah dan itu bisa diterima banyak rakyat AS," jelas Yohanes kepada Alinea.id pada Kamis (9/1).

Biden, lanjutnya, berhasil mempertahankan popularitas karena selalu menampilkan diri sebagai penerus Obama dengan kebijakannya yang moderat.

Sementara Sanders dan Warren menurut Yohanes terlalu ekstrem kiri dan akan sulit meraih suara mayoritas warga AS. Namun dibanding Biden dan Buttigieg,  Sanders dan Warren lebih "laku" di kalangan internal Demokrat.

Senada dengan Yohanes, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Suzie Sudarman mengatakan, Biden kemungkinan besar akan one on one dengan Trump.

Sponsored

Menurut Suzie, Biden mewakili kelas pekerja. Jika kelas pekerja melihat bahwa memilih Trump tidak akan menguntungkan kaum mereka, maka Biden menjadi pilihan yang paling cocok.

Suzie juga berpendapat bahwa Warren dan Sanders terlalu ekstrem kiri dan belum dapat diterima rakyat AS. Khusus Sanders, tambahnya, ada kekhawatiran dia memiliki agenda tersembunyi terkait politik identitas.

"Dia itu kan seorang Yahudi. Ada kekhawatiran bahwa dia memperjuangkan zionisme. Kepentingan berdasarkan politik identitas itu dapat mengganggu sistem politik nasional AS," jelas Suzie kepada Alinea.id pada Jumat (3/1).

Mungkinkah Trump bertahan?

Yohanes menyebut bahwa terlalu dini untuk meramalkan kemenangan Trump di Pilpres 2020.

"Belum dapat diprediksi karena belum ada kepastian siapa lawannya dari Demokrat. Harus melihat dia akan berhadapan dengan siapa dulu," kata dia.

Jika berhadapan dengan Sanders, maka Yohanes yakin Trump kemungkinan besar akan kembali menjabat. Namun, kalau dipertemukan dengan Biden, pertarungannya akan imbang.

"Sekarang sih, dilihat dari elektabilitasnya, kemungkinan Trump terpilih kembali masih cukup besar, saya rasa antara 50-60%. Tapi kalau sudah ada lawan pastinya, angka itu tentu dapat berubah," ujar Yohanes.

Kinerja ekonomi AS yang baik, menurut dia, menjadi salah satu faktor yang akan mendongkrak popularitas Trump menjelang pilpres.

"Walaupun kebijakan Trump banyak yang kontroversial, tapi secara ekonomi angka pengangguran AS rendah sekali sekarang," ujarnya. "Trump membawa perubahan yang baik, terutama di bidang ekonomi."

Menurut data Gedung Putih pada Oktober 2019, pemerintahan Trump telah membuka lebih dari 6,4 juta lapangan kerja sejak 2017. Mereka mencatat bahwa angka pengangguran turun menjadi 3,5% pada September 2019, titik terendah sejak Mei 1969.

"Kalau di AS, isu yang paling penting bagi warganya itu memang ekonomi," jelas Yohanes.

Berbeda dengan Yohanes, Suzie menyatakan bahwa kebijakan ekonomi Trump tidak akan berpengaruh besar dalam mendulang suara rakyat AS.

Pasalnya, jelas Suzie, utang AS justru bertambah selama masa jabatan Trump. Menurut laporan The Hill pada Oktober 2019, utang Negeri Paman Sam melampaui US$23 triliun untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Defisit anggaran yang meningkat dilaporkan telah menambah utang negara sejak Presiden Trump menjabat. Utang AS tumbuh sekitar 16% sejak pelantikan Trump.

Selain faktor ekonomi, Suzie menilai bahwa bayang-bayang pemakzulan juga dapat melukai kredibilitas.

"Kalau ada kesalahan-kesalahan lain yang ditemukan, isu pemakzulan bisa menjadi snowball dan akan sangat melukai kredibilitas Trump menjelang pilpres," jelas dia.

Bertolak belakang dengan pandangan Suzie, Yohanes justru menyebut bahwa isu pemakzulan tidak akan terlalu memengaruhi elektabilitas presiden Republikan itu.

Menurutnya, para pendukung Trump sudah menganggap isu pemakzulan sebagai gimik politik akibat kepahitan yang dirasakan Demokrat.

"Justru pemakzulan itu digunakan untuk meraih simpati, popularitas, serta menggenjot dana kampanye Trump," ungkap dia.

Pada awal Januari, CNN melaporkan bahwa tim kampanye Trump mengumpulkan US$46 juta pada kuartal terakhir 2019. Manajer kampanye Trump, Brad Parscale, mengatakan bahwa pemakzulan justru menguatkan dukungan dan membuat para penyokong Trump lebih banyak berkontribusi.

Yohanes meyakini, warga AS menyadari bahwa pemakzulan sudah dipolitisasi. Mereka lebih mempertimbangkan isu-isu terkait kesejahteraan masyarakat seperti ekonomi dan jaminan kesehatan.

America First masih laku?

Selain pencapaian di bidang ekonomi, Yohanes memprediksi bahwa dalam kampanye pilpres, Trump juga akan "menjual" prestasi AS di ranah global.

"Dia akan bilang kalau AS sekarang ditakuti oleh seluruh dunia. Kalau dia tidak terpilih lagi, kemungkinan AS tidak akan seberani itu menghadapi kekuatan-kekuatan dunia seperti China," kata dia.

Dengan kebijakan "America First" dan unilateral milik Trump, Yohanes menilai bahwa AS lebih disegani di panggung dunia, walau di lain sisi tidak disenangi banyak pihak.

"Bagi Trump itu bagus karena dia memang fokus pada negaranya dan menekankan isu nasionalisme," sambung dia.

Di sisi lain, Suzie berpendapat bahwa Trump tidak akan kembali mengungkit isu imigran ilegal seperti dalam kampanye Pilpres 2016 karena berupaya menarik suara dari kalangan kelas pekerja yang mayoritas warga Amerika Latin di AS.

Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa siapa pun yang nantinya akan menjadi presiden tidak akan membawa perubahan besar dalam haluan politik luar negeri AS.

"Sekarang sudah bukan era liberalisme internasional AS seperti dibawah kepemimpinan Obama, mau presiden dari Demokrat atau Republik, sekarang polugri AS sudah memasuki era populisme nasionalis yang memenangkan kepentingan nasional," tegas Suzie.

Sementara itu, Yohanes menilai bahwa akan ada perbedaan signifikan jika Demokrat menang, yaitu kembalinya AS ke jalur multilateral.

"Saat di bawah Trump, kalau ada negoisasi yang tidak sesuai dengan kemauan AS, mereka akan dengan mudah meninggalkannya. Trump menekan banyak pihak seperti Uni Eropa, Jepang, China, hingga Korea Utara," ujar dia.

Jika diambil alih oleh presiden dari Demokrat, Yohanes menuturkan, Washington akan kembali menjunjung nilai-nilai multilateralisme dan mendekatkan diri kepada Uni Eropa serta membangun relasi dengan kekuatan-kekuatan Asia.

Namun, perlawanan terhadap China akan tetap ada.

"Bahkan kalau pemerintahan Demokrat, kebijakan terhadap China bisa lebih negatif. Trump itu melihat hanya dari sisi ekonomi, tapi kalau Demokrat, mereka akan fokus pada hal-hal yang menyangkut hak asasi manusia," lanjut dia.

Berita Lainnya
×
tekid