sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengsara tak berujung orang Tatar di Krimea

Sejak zaman dulu, orang-orang Muslim Tatar di Krimea, Ukraina, jadi target persekusi dan deportasi Rusia.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Minggu, 13 Mar 2022 17:18 WIB
Sengsara tak berujung orang Tatar di Krimea

Setelah mendaki berjam-jam, Selim, prajurit partisan Uni Soviet itu, akhirnya tiba di gerbang desa Chukurdja. Desa orang-orang Tatar yang terletak di kawasan pegunungan Krimea selatan, Ukraina, itu lengang. Tak seorang pun warga desa terlihat. Yang tersisa hanya Alim, sobat dekat Selim. 

"Ceritakan padaku Alim, apa yang terjadi di Chukurdja? Siapa saja yang masih ada di sini?" tanya Selim kepada sang sahabat. 

Selama beberapa saat, Alim hanya terdiam bak orang linglung. Ia menatap wajah Selim sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke tanah. Dengan suara parau, Alim mulai bercerita. 

"Dua hari lalu orang Rusia datang ke desa. Mereka menggantung Kakek Djavit dan Kaytiz di sebuah pohon di dekat masjid. Mereka menembak lima belas orang, membariskan warga desa di depan dinding masjid," ungkap Alim. 

Alim tak tahu jumlah pasti warga desa yang mati. Ia tak menyaksikan semua kematian. Di tengah kekacauan, ia kabur ke pegunungan, sebagaimana saran kakek Selim, Bilal Agha. Saat warga dikumpulkan prajurit Rusia di tengah desa, ia berdiri bersisian dengan Bilal Agha.

"Temukan Selim dan beri tahu apa yang kamu lihat di sini. Bilang kepadanya untuk bersembunyi di perbukitan... Jangan pulang ke desa karena desa ini bukan milik kita lagi," kata Alim menirukan pesan Bilal Agha. 

Pembataian orang-orang Tatar di Chukurdja terjadi pada suatu hari di bulan Maret 1944. Namun, peristiwa itu tak "unik". Pengalaman serupa dirasakan orang-orang Tatar di seantero Krimea ketika itu. Kelak, orang-orang Tatar menamai tragedi kolektif tersebut dengan nama Kara Gun.

Bermakna hari yang kelam, Kara Gun (Surgun) ialah peristiwa pembantaian dan deportasi terhadap ribuan orang Tatar di Kremia yang terjadi pada pertengahan Mei 1944. Tercatat ada sekitar 180 ribu orang Tatar yang dideportasi ketika itu. Jumlah deportan membengkak hingga sekitar 250 ribu orang dalam beberapa tahun berikutnya.

Sponsored

Dalam "Surgun: The Crimean Tatars Deportation and Exile" (2008), Campana Aurélie mengatakan sebanyak 151 ribu orang Tatar dideportasi ke Uzbekistan. Sisanya disebar ke sejumlah wilayah di republik-republik Uni Soviet, seperti Kazhakstan, Tajikistan, dan pegunungan Ural. Mayoritas dideportasi menggunakan kereta api. 

"Pemindahan menggunakan kereta api itu fatal, terutama karena mayoritas yang dideportasi adalah perempuan, anak-anak, dan orang tua. Yang terlemah mengalami malnutrisi, sesak, dan demam. Penyakit menular dengan cepat di kereta-kereta sumpek itu," tulis Aurélie. 

Menurut Aurelie, deportasi itu tak disiapkan dengan matang. Petinggi Uni Soviet "telat" memberi tahu kota-kota yang menjadi tujuan para deportan. Akomodasi dan makanan disiapkan secara terburu-buru. Sebagian besar deportan dibiarkan telantar. 

Dikategorikan sebagai "pemukim khusus", deportan Tatar kemudian dilokalisasi. Mereka tak diperkenankan untuk keluar dari area permukiman khusus yang disiapkan untuk para deportan. Sekali atau dua kali dalam sebulan, mereka wajib melapor ke pengawas yang ditunjuk badan intelijen Uni Soviet. 

"Terakhir, mereka dipaksa untuk bekerja di pertanian-pertanian atau perusahaan-perusahaan milik negara dengan upah seadanya. Berbarengan dengan proses deportasi itu, pemerintah pusat meluncurkan sebuah kebijakan detatarisasi di Semenanjung Krimea," tulis Aurelie. 

Detatarasi Krimea, jelas Aurelie, dilakukan Uni Soviet lewat sejumlah cara, semisal menghancurkan monumen-monumen penanda eksistensi orang Tatar, membakar buku-buku karya penulis Tatar, mengganti nama-nama tempat khas Tatar dengan nama-nama Rusia, dan mengisi rumah-rumah yang ditinggalkan orang Tatar dengan pendatang dari Rusia. 

Puncaknya ialah mengubah status Semenanjung Krimea dari Autonomous Soviet Socialist Republic (ASSR) menjadi sebuah oblast. Itu adalah sebutan bagi sebuah wilayah administratif di bawah kendali Uni Soviet. Dengan kebijakan itu, Krimea tak lagi mandiri. 

"Pada 1954, oblast Krimea diserahkan ke Ukraina sebagai hadiah perayaan ulang tahun penyatuan Rusia dan Ukraina yang ke-300," jelas Aurelie. 

Deportasi memakan banyak korban. Dokumen resmi yang dirilis Uni Soviet mencatat sebanyak 44,887 pemukim khusus Krimea yang meninggal pada periode 1944-1945. Itu sekitar 19.6% dari populasi Semenanjung Krimea yang dideportasi pada 1944.

Namun, data milik kelompok aktivis gerakan nasionalis Tatar Krimea menunjukkan jumlah orang Tatar yang meninggal karena deportasi jauh lebih besar ketimbang yang dicatat Uni Soviet. Dalam sensus yang digelar pada 1960-an, tercatat ada 109,956 orang Tatar Krimea yang meninggal selama periode 1 Juli 1944-1 Januari1947. 

"Maka, menurut kalangan aktivis, ada sekitar 46,2% deportan Tatar yang diperkirakan meninggal selama delapan belas bulan pertama pengasingan paksa yang mereka alami," tulis Aurelie. 

Situasi proses deportasi orang-orang Tatar di Krimea, Ukraina, pada Mei 1944. /Foto Wikimedia Commons

Motif deportasi

Deportasi orang-orang Tatar itu terkesan ironis. Selama Perang Dunia II, setidaknya ada 20 ribu orang Tatar yang turut dimobilisasi menjadi prajurit Uni Soviet melawan pasukan Nazi Jerman. Selain mempertahankan Krimea, para prajurit Tatar juga diterjunkan ke berbagai medan pertempuran di Eropa. 

Dalam The Crimean Tatars: From Soviet Genocide to Putin's Conquest yang diterbitkan Oxford University Press pada 2016, Brian Glyn Williams memaparkan deportasi orang Tatar merupakan ide dari kepala Narodny Komissariat Vnutrennikh Del (NKVD), Lavrentii Beria.  

Itu terekam dari sejumlah surat dan telegram rahasia yang dikirim Beria kepada pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin pada pengujung Perang Dunia II. Telegram dan surat bos lembaga cikal bakal badan intelijen Rusia itu dipublikasikan setelah Uni Soviet runtuh pada 1991. 

"Pertanyaan mengenai relokasi orang Tatar ke Uzbek SSR (Soviet Socialist Republic) telah disetujui oleh sekretaris Partai Komunis Uzbekistan, kamerad Iusopov," tulis Beria dalam sebuah telegram bertanggal 10 Mei 1944.

Proyek deportasi, menurut Williams, digelar Beria sebagai hukuman terhadap orang-orang Tatar karena dianggap berkhianat terhadap Uni Soviet. Selama Perang Dunia ke-2, Beria mengklaim orang-orang Tatar direkrut jadi mata-mata Jerman dan bahkan turut mengangkat senjata melawan pasukan Uni Soviet. 

Salah satu bukti yang dikemukakan Beria, lanjut Williams, ialah catatan mengenai evakuasi sekitar 20 ribu orang Tatar ke wilayah Jerman saat pasukan Nazi dipukul mundur dari wilayah Krimea dan Ukraina. 

"Ini berkorespondensi dengan jumlah orang Tatar yang diestimasi terlibat aktivitas kolaborasi dengan Jerman," tulis Williams. 

Peta Krimea, Ukraina. /Wikimedia Commons

Isu pengkhianatan orang-orang Tatar itu sumir. Pasalnya, sejumlah petinggi militer di Ukraina menyatakan orang-orang Tatar tetap loyal kepada Uni Soviet. Selama perang berlangsung, banyak desa orang Tatar yang dibumihanguskan pasukan Jerman karena menolak tunduk. 

"Jerman justru kehilangan dukungan orang-orang Tatar ketika mengapalkan ribuan orang untuk dipaksa bekerja di pabrik-pabrik dan perusahaan milik Nazi. Perusahaan dan pabrik-pabrik itu disebut 'workshop budak-budak' pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia II," ujar Wiliams. 

Menurut Williams, isu pengkhianatan kemungkinan dicetuskan Beria dan kawan-kawan sebagai dalih menghabisi orang-orang Tatar. Motif sebenarnya deportasi besar-besaran itu ialah rencana invasi Soviet ke Turki. 

Pada masa itu, kata Williams, Stalin sedang mempertimbangkan aneksasi provinsi Kars dan Ardahan yang terletak di perbatasan tenggara Uni Soviet. Kedua provinsi itu dikuasai Turki. "Soviet saat itu menjalankan propaganda untuk memicu pemberontakan orang-orang Armenia di wilayah tersebut," jelas dia. 

Sebagai keturunan asli Georgia, menurut Williams, Stalin menyadari eksistensi orang-orang Muslim di jalur invasi, termasuk di antaranya orang-orang Tatar di Krimea. Selain orang-orang Tatar, proyek deportasi juga menyasar kelompok Muslim yang tinggal di kota-kota perbatasan Uni Soviet dan Turki, semisal etnis Karachai, Balkars, Chechen, Ingush, dan Meshketian. 

Terkecuali orang-orang Meshketian, semua kelompok Muslim lainnya ditetapkan sebagai pengkhianat petinggi Uni Soviet. Padahal, tak seperti orang-orang Tatar, etnis Karachai, Balkars, Chechen dan Ingush tak pernah terlibat langsung dalam Perang Dunia II. 

"Fakta bahwa kelompok-kelompok itu juga turut dideportasi merupakan indikasi kuat bahwa deportasi orang-orang Krimea dan Kaukasia ketika itu lebih terkait kepentingan politik luar negeri Uni Soviet ketimbang sebagai hukuman terhadap pengkhianatan massal yang disebut dilakukan kelompok tersebut," jelas Williams. 

Orang-orang Tatar berpose di belakang sebuah padang rumput di Krimea, Ukraina. /Foto dok. Radio Free Europe

Kehilangan tanah

Kekhawatiran Stalin terhadap orang-orang Tatar beralasan. Berbeda dengan orang Ukraina dan Rusia yang keturunan bangsa Slav, orang-orang Tatar ialah keturunan Tauri, Scytians, Sarmatians, Yunani, dan sejumlah etnis lainnya yang mendiami Krimea sejak era lampau.

Sebelum resmi dikuasai Rusia pada 1783, Krimea adalah salah satu khanate (kekhanan) di bawah Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah). Secara kekerabatan dan religius, orang-orang Tatar lebih dekat dengan Turki. 

Bagi orang Tatar, persekusi Rusia juga tak asing. Di bawah kendali Kekaisaran Rusia, Semenanjung Krimea tak lagi jadi rumah bagi orang Tatar. Pada abad ke-18 hingga abad ke-19, jutaan orang Tatar diperkirakan bermigrasi ke Turki dan sejumlah negara di Eropa timur. 

Tak seperti pada era Stalin, "deportasi" Tatar pada era imperium Rusia berjalan bertahap. Yang pertama hilang ialah tanah. Ketika itu tak ada sistem kepemilikan tanah yang dibangun orang Tatar di Semenanjung Krimea. Tanah dianggap tak punya pemilik dan bebas digarap oleh siapa saja. 

Setelah aneksasi, para tuan tanah baru dari Rusia mulai menyita lahan milik petani-petani Tatar di Krimea. Mereka juga mulai memberlakukan pajak dan sistem kerja paksa bagi orang-orang Tatar. Tradisi kepemilikan tanah di Krimea yang dianut orang Tatar mulai runtuh. 

Sebagian orang Tatar yang tersingkir itu kemudian mulai hidup nomaden. Mereka tinggal di rawa-rawa, perbukitan, dan hutan-hutan di Krimea. Sebagian lainnya memilih bertahan menjadi petani di bawah kendali tuan-tuan tanah dari Rusia. 

Dalam National Movement and National Identity Among The Crimean Tatar 1905-1916 yang terbit pada 1996, sejarawan asal Turki Hakan Kirimli menyebut kehilangan lahan itu membuat orang-orang Tatar Krimea turut kehilangan jati diri. Orang-orang Tatar merasa jadi tamu di negeri sendiri. 

"Itu adalah salah satu faktor yang paling penting yang mencegah berkembangnya gagasan tentang tanah air dan semangat teritorial kebangsaan di kalangan orang Tatar Krimea. Karena kesetiaan terhadap budaya dan agama ekstrateritorial (Ottoman), orang Krimea dianggap hidup di tempat dan waktu yang salah," jelas Kirimli.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Selama satu dekade sejak aneksasi itu, orang-orang Tatar sebenarnya masih berharap Turki mengambil alih Krimea. Namun, asa itu pupus setelah Kekaisaran Ottoman menandatangani Perjanjian Jassy pada 1792. Dalam perjanjian itu, Ottoman mengakui kepemilikan Rusia terhadap Krimea. 

"Ketika kabar mengenai perjanjian itu beredar, orang-orang Tatar mulai gelisah. Migrasi massal dari Krimea ke Ottoman pun dimulai," tulis Edward Lazzerini dalam "The Crimea Under Russian Rule: 1783 to the Great Reforms."

Menurut Lazzerini, setidaknya ada 100 ribu orang Tatar yang pindah ke Turki. Ketika itu, populasi orang Tatar di Krimea diperkirakan mencapai 300 ribu orang. "Semua suku beremigrasi lewat darat dan laut demi menghindari orang-orang Rusia yang kini dianggap penguasa sah Krimea," imbuhnya. 

Dipersekusi dan diperlakukan bak warga kelas dua, orang-orang Tatar yang bertahan di Krimea mulai berontak. Pada Perang Krimea 1853-6, orang-orang Tatar turut bergabung dengan orang-orang Inggris, Prancis, Sardinia, dan Ottoman yang menginvasi Semenanjung Krimea. 

Di antara kerusakan lainnya, perang itu menyebabkan hancurnya Sevastopol, benteng laut yang kala itu dibangga-banggakan Rusia. Para petinggi di Saint Petersburg murka. Mereka menjadikan orang Tatar sebagai kambing hitam. 

"Sejak saat itu, orang Rusia, dari pejabat rendahan Cossack hingga Tsar sendiri, akan menganggap orang Tatar Krimea sebagai ras yang tidak bisa dipercaya dan harus diusir dari tanah suci Rusia," tulis Williams. 

Sejak Ukraina merdeka pada 1991, orang-orang Tatar sebenarnya mulai kembali ke Krimea. Pada 1998, diperkirakan ada sekitar 250 ribu diaspora Tatar yang kembali ke kampung halamannya. Mereka sudah kembali punya rumah dan membuka bisnis. 

Namun, orang-orang Tatar di Krimea belakangan tengah gelisah. Setelah menganeksasi Krimea pada 2014 dan memaksa sebagian warga Tatar kembali mengungsi, Rusia kini sedang menginvasi Ukraina. Jika sejarah berulang, nasib orang-orang Tatar saat ini bisa jadi sekelam era Kara Gun. 

Berita Lainnya
×
tekid