sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

WNI korban tewas kecelakaan Ethiopian Airlines adalah staf PBB

Kecelakaan pesawat itu adalah musibah kedua dalam periode lima bulan yang melibatkan versi terbaru dari pesawat Boeing, 737-800.

Valerie Dante
Valerie Dante Senin, 11 Mar 2019 10:59 WIB
WNI korban tewas kecelakaan Ethiopian Airlines adalah staf PBB

WNI yang menjadi korban tewas dalam insiden kecelakaan pesawat 737-800 Ethopian Airlines pada Minggu (10/3) yang menewaskan 157 orang bertempat tinggal di Roma, Italia, dan bekerja untuk Program Pangan Dunia (WFP) PBB.

Informasi tersebut dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri melalui keterangan tertulis yang diterima Alinea.id pada Senin (11/3).

"Pemerintah Indonesia menyampaikan dukacita mendalam kepada keluarga korban atas kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines di Addis Ababa, termasuk di antaranya seorang WNI," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir atau yang akrab disapa Tata.

Menurut Tata, Duta Besar RI untuk Italia Esti Andayani, telah bertemu dengan keluarga korban.

"KBRI Roma akan terus berkordinasi dengan keluarga korban, KBRI Addis Ababa, dan kantor WFP Roma untuk pengurusan jenazah dan dukungan bagi keluarga," jelasnya.

Penumpang tewas berasal dari 30 negara, termasuk 32 warga Kenya, 18 warga Kanada, dan tujuh warga Inggris. PBB menyatakan setidaknya 19 korban, termasuk WNI, berafiliasi dengan PBB.

Anggota Parlemen Slovakia, Anton Hrnko, mengonfirmasi melalui Facebook bahwa istri dan dua anaknya berada di antara korban tewas kecelakaan tersebut.

Menanggapi kecelakaan itu, Ethiopia menyatakan Senin sebagai hari berkabung nasional.

Sponsored

Ethiopian Airlines mengatakan penerbangan ET302 jatuh pukul 08.44 waktu setempat, hanya enam menit setelah lepas landas meninggalkan Bandara Internasional Bole, Addis Ababa.

Pesawat yang menuju Nairobi itu jatuh di dekat Bishoftu, 60 kilometer dari ibu kota.

Maskapai mengatakan bahwa pilot sempat melaporkan mengalami kesulitan dan meminta izin untuk kembali ke Addis Ababa.

"Pada tahap ini, kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan apa pun," kata CEO Ethiopian Airlines Tewolde Gebremariam kepada wartawan di Bandara Internasional Bole.

Visibilitas dilaporkan baik tetapi layanan pelacakan penerbangan FlightRadar24 menyatakan bahwa kecepatan vertikal pesawat tidak stabil setelah lepas landas.

Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut, Yared Getachew, memiliki kinerja terpuji, dengan pengalaman lebih dari 8.000 jam di udara.

Bukan yang pertama

Kecelakaan pesawat itu adalah musibah kedua dalam periode lima bulan yang melibatkan versi terbaru dari pesawat Boeing, 737-800.

Banyak yang membandingkan kecelakaan ini dengan musibah yang menimpa Lion Air pada Oktober 2018 saat pesawat jatuh akibat mengalami gangguan pada indikator kecepatan udara dan sensor angle of attack (AoA).

Boeing 737-800 termasuk pesawat yang relatif baru mengudara dan digunakan secara komersial sejak 2017.

Pesawat yang jatuh itu adalah salah satu dari 30 yang dipesan Ethiopian Airlines sebagai bagian dari upaya perluasannya maskapainya.

Pada 4 Februari 2019, maskapai penerbangan itu menyatakan telah pertama kali menjalani pemeriksaan pemeliharaan armadanya.

Boeing menyatakan duka citanya atas kecelakaan itu dan sedang mengirim tim untuk memberikan bantuan teknis.

Setelah jatuhnya Lion Air JT 610, penyidik menyebut bahwa para pilot kesulitan mengontrol apa yang biasa disebut sistem anti-stalling sebelum pesawat jatuh ke laut. Itu merupakan sistem otomatis yang dirancang untuk menjaga pesawat agar tidak mati.

Kecelakaan itu menewaskan 189 penumpang.

Pesawat pabrikan Boeing yang digunakan Lion Air juga dalam kondisi baru dan kecelakaan itu terjadi sesaat setelah lepas landas.

"Ini sangat mencurigakan," tutur mantan Inspektur Jenderal Kementerian Transportasi AS Mary Schiavo. "Ada pesawat baru yang sudah jatuh dua kali dalam setahun. Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan bagi industri penerbangan karena tidak lazim terjadi."

Setelah kecelakaan Lion Air, Boeing mengirim pemberitahuan darurat ke sejumlah maskapai penerbangan, memperingkatkan mereka tentang masalah pada sistem anti-stalling.

Boeing diperkirakan akan memperbaiki sistem untuk menangani masalah tersebut.

Andrew Blackie, konsultan keselamatan penerbangan dan mantan pilot komersial, mengatakan bahwa perubahan sistem mungkin belum dijelaskan kepada kru penerbangan.

"Tapi jika Anda melihat sejarah penerbangan, lumayan umum adanya lonjakan tingkat kecelakaan ketika jenis pesawat baru diperkenalkan ke dalam layanan," lanjutnya.

Namun, karena investigasi Ethiopian Airlines masih pada tahap awal, belum jelas apakah sistem anti-stalling adalah penyebab kecelakaan pada Minggu.

Pakar penerbangan menyatakan masih terlalu dini untuk menentukan apa yang menyebabkan bencana Ethiopian Airlines.

Ethiopian Airlines memiliki reputasi keselamatan yang baik, meskipun pada 2010 salah satu pesawat mereka jatuh di Laut Mediterania tidak lama setelah bertolak dari Beirut, Lebanon.

Investigasi

Penyelidikan akan dipimpin oleh otoritas Ethiopia serta berkoordinasi dengan tim ahli dari Boeing dan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS.

Prioritas mendesak bagi penyelidik adalah menemukan dua unit Cockpit Voice Recorder (CVR), satu berisikan data dan satunya lagi berupa rekaman suara pilot.

Ethiopian Airlines mengatakan akan terus menggunakan armada 737-800 milk mereka karena penyebab kecelakaan belum ditentukan.

Sebaliknya, Cayman Airways mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya telah menangguhkan operasi dua unit 737-800 hingga menerima keterangan lebih lanjut.

Sejumlah maskapai Amerika Utara mengoperasikan jenis pesawat yang sama dan mengatakan mereka sedang memantau penyelidikan. Southwest Airlines memiliki 31 unit 737-800, sedangkan American Airlines dan Air Canada masing-masing memiliki 24 di armada mereka.

Sumber : BBC

Berita Lainnya
×
tekid