

Akar budaya malu para pejabat Jepang

Pekan lalu, Menteri Pertanian Jepang Taku Eto mengundurkan diri usai melontarkan pernyataan tentang beras. Hal itu memicu kritik dari para pemilih dan anggota parlemen. Pada sebuah pesta pengumpulan dana politik, dikutip dari Reuters, Eto mengungkapkan kalau dia tidak pernah membeli beras berkat hadiah dari para pendukungnya.
Komentar tersebut memantik kecaman keras dari para pemilih, yang sebelumnya marah karena harga makanan pokok yang sangat tinggi akibat panen yang buruk dan meningkatnya permintaan karena pariwisata.
“Saya membuat pernyataan yang sangat tidak pantas di saat warga sedang menderita akibat melonjaknya harga beras,” kata Eto kepada wartawan setelah menyerahkan pengunduran dirinya di kantor perdana menteri, dikutip dari Reuters.
Budaya malu dan tanggung jawab lekat pada para pejabat Jepang. Pada 2010, Perdana Menteri Yukio Hatoyama mengundurkan diri dari jabatannya yang baru diemban delapan bulan karena tidak bisa memenuhi janji kampanye untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat ke tempat yang lebih sepi di Okinawa.
Di tahun yang sama, Perdana Menteri Naoto Kan mengundurkan diri karena merasa tidak bisa menyelesaikan krisis nuklir di PLTN Fukushima. Lalu, Perdana Menteri Fumio Kishida yang menjabat pada 2021, memutuskan mengundurkan diri pada 2024 karena skandal korupsi yang terjadi di partai politik yang dipimpinnya, Partai Demokrat Liberal.
Dari era Samurai
Akarnya dari tradisi Bushido. Penasihat senior di United Nations Institute for Training and Research (Unitar) Nassrine Azimi dalam New York Times menulis, antropolog Italia, Fosco Maraini dalam bukunya Meeting with Japan (1960) menyebut, meski istilah Bushido—yang diterjemahkan sebagai jalan Samurai—tidak lagi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, inti dari gagasan tradisional seperti kehormatan dan pengorbanan diri tetap memengaruhi politik, bisnis, dan kehidupan keluarga di Jepang.
Dikutip dari The Lexicon, era Samurai—yang dimulai pada 1185 hingga 1868—dianggap sebagai sumber pemikiran seputar rasa malu, kehormatan, dan tanggung jawab. Bushido merupakan kode etik yang dianut Samurai, yang berakar pada gagasan untuk menjaga reputasi terhormat seseorang.
“Elemen Bushido yang paling ekstrem adalah praktik seppuku, yakni bunuh diri ritualistik yang dimulai sejak abad ke-12 yang berfungsi sebagai sarana untuk menghindari atau menebus hilangnya kehormatan seseorang,” tulis The Lexicon.
“Budaya samurai kini merupakan realitas yang jauh, tetapi prevalensinya yang telah berlangsung selama beebrapa abad telah meninggalkan bayangan filosofi intinya yang tertanam dalam cara berpikir orang Jepang.”
Antropolog Amerika Serikat, Ruth Benedict, pertama kali menyinggung istilah budaya malu dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword: Patterns of Japanese Culture (1946). Dalam buku itu, Benedict menulis, budaya rasa malu tergantung pada sanksi eksternal untuk perilaku yang baik, bukan pada keyakinan internal akan dosa seperti yang dilakukan budaya rasa bersalah.
“Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik orang lain,” tulis Benedict.
Jika Jepang memiliki budaya rasa malu, Benedict menulis, Amerika Serikat mengenal budaya rasa bersalah.
“Saya tidak pernah sepenuhnya setuju dengan premis ini, atau asumsi implisitnya bahwa model Barat entah bagaimana lebih unggul. Tetapi jika yang dimaksud dengan budaya rasa malu oleh Benedict adalah mengambil tanggung jawab politik atas kegagalan, maka tentu saja itu adalah model yang patut ditiru,” tulis Azimi dalam New York Times.
Tesis Benedict ini dipelajari secara luas di Jepang pasca-Perang Dunia II. Akademisi dan psikoanalis Jepang, Takeo Doi dalam The Anatomy of Dependence (1971) menulis, implikasi Benedict tentang perbedaan dalam perilaku moral antara Jepang dan Barat bersifat moralistik.
The Lexicon menulis, konsepsi masyarakat dan diri orang Jepang yang menyebabkan budaya malu, di mana keputusan moral dibuat berdasarkan sorotan publik dan individu yang menghindari perhatian, supaya tidak merusak keharmonisan sosial. Filosofi ini juga merupakan dasar kekuatan dan kohesi yang mengagumkan yang ditemukan dalam masyarakat Jepang, yang memungkinkan bangsa tersebut berfungsi dengan cara yang jarang terlihat di belahan dunia lain.
Dalam dunia politik, pejabat Jepang memiliki tradisi lama untuk meminta maaf atas kesalahan mereka. Tradisi ini, sebut The Lexicon, merupakan lambang peran rasa malu dan anti-individualisme dalam menanamkan rasa rendah hati di antara orang Jepang dan berkontribusi pada transparansi demokrasi mereka.
“Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perubahan perilaku pemuda Jepang menunjukkan adanya peningkatan individualisme,” tulis The Lexicon.
“Apa yang telah diakui sebagai krisis di Jepang, kecenderungan yang tidak biasa dari siswa sekolah untuk meledak dalam kemarahan, merupakan tanda yang jelas filosofi dasar keharmonisan masyarakat dan pengaruh rasa malu terhadap generasi muda sedang melemah.”


Tag Terkait
Berita Terkait
Menteri Pertanian Jepang yang baru dan lelucon 'tukang jualan kantong beras'
Menteri Pertanian Jepang yang baru, Koizumi: Beras dulu, baru yang lain!
Perkara salah ngomong, Menteri Pertanian Jepang Taku Eto mengundurkan diri
Menteri Pertanian Jepang Taku Eto bikin ulah

