close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Reuters
icon caption
Foto: Reuters
Peristiwa
Sabtu, 26 Juli 2025 22:00

Generasi YouTube mendorong politik anti-asing di Jepang

Sanseito kini menjadi pilihan utama pemilih muda Jepang, terutama laki-laki berusia 18 hingga 39 tahun.
swipe

Yuta Kato, seorang penata rambut berusia 38 tahun, semakin merasa terganggu dengan kehadiran turis asing di lingkungan tempat tinggal dan kerjanya di Ginza, Tokyo. Ia mengeluhkan perilaku mereka yang dinilai tidak memahami etika sosial Jepang, seperti memblokir jalan atau memutar video keras di tempat umum.

Keluhan seperti ini bukan hanya dirasakan Kato. Ia kini menjadi bagian dari kelompok warga Jepang yang tertarik pada partai politik sayap kanan Sanseito. Dalam pemilu majelis tinggi Jepang yang digelar akhir pekan lalu, partai ini menunjukkan kemajuan signifikan dengan kampanye nasionalis bertema "Japanese First" — menempatkan kepentingan Jepang dan warganya di atas segalanya.

"Ini bukan soal rasisme," kata Kato. "Tapi kenapa mereka tidak bisa menghormati aturan kami?"

Kato, seperti banyak pendukung Sanseito lainnya, mengaku memperoleh informasi politiknya dari YouTube dan media sosial—saluran yang secara efektif dimanfaatkan Sanseito untuk menyebarkan pesannya, terutama di kalangan muda.

Sentimen Anti-Orang Asing Semakin Kuat

Meski jumlah warga negara asing di Jepang hanya sekitar 3 persen dari total populasi—jauh lebih kecil dibanding Amerika Serikat atau negara-negara Eropa—lonjakan turis dalam beberapa tahun terakhir membuat kehadiran mereka semakin terasa, terutama di kota besar seperti Tokyo dan Osaka.

Sanseito memang tidak secara terang-terangan menyasar kelompok etnis tertentu. Namun menurut Romeo Marcantuoni, akademisi yang meneliti partai ini, mereka memanfaatkan kekhawatiran yang berkembang, mulai dari wisatawan yang dianggap “tidak sopan”, hingga teori konspirasi soal pengaruh Tiongkok yang disebut perlahan menguasai Jepang.

“Orang Tiongkok diam-diam mengambil alih negara ini,” ujar Kato, menyuarakan ketakutannya. Tiongkok merupakan kelompok warga asing terbesar di Jepang sekaligus salah satu kontributor utama turisme di negara tersebut.

Kekhawatiran itu juga digaungkan oleh pemimpin Sanseito, Sohei Kamiya, yang menyoroti maraknya pembelian properti dan sumber daya oleh orang Tiongkok. Salah satu kebijakan Sanseito yang tertulis di situs resmi mereka bahkan menyebut ingin “menghentikan invasi diam-diam pasukan asing ke Jepang”.

Meski dikritik sebagai partai xenofobia, Kamiya menolak tuduhan tersebut.

Mengincar Pemilih Muda Lewat YouTube

Sanseito kini menjadi pilihan utama pemilih muda Jepang, terutama laki-laki berusia 18 hingga 39 tahun. Sementara itu, partai berkuasa Partai Demokrat Liberal (LDP) justru masih banyak didukung pemilih lansia, khususnya yang berusia di atas 70 tahun, menurut jajak pendapat lembaga penyiaran NHK.

Popularitas Sanseito sebagian besar didorong oleh kehadiran mereka yang kuat di dunia digital. Kanal YouTube resmi Sanseito memiliki jumlah pengikut tiga kali lebih banyak dibandingkan kanal milik LDP. Keterlibatan pengguna—melalui like, komentar, dan share—juga jauh lebih tinggi.

“Mereka ini seperti partai YouTube,” kata Jeffrey Hall, dosen di Universitas Studi Internasional Kanda yang meneliti pergerakan politik sayap kanan Jepang.

Pihak YouTube belum memberikan tanggapan terkait penggunaan platform tersebut oleh Sanseito. Namun, dalam pedoman komunitasnya, YouTube menyatakan mereka menghapus konten yang mempromosikan perilaku berbahaya.

Dari Teori Konspirasi hingga Nasionalisme Ekstrem

Didirikan pada masa pandemi Covid-19, Sanseito awalnya dikenal karena menyebarkan teori konspirasi soal vaksin. Kini, mereka memperluas basis dukungan dengan mengusung kebijakan imigrasi ketat, kritik terhadap sistem ekonomi, dan ajakan untuk menghapus konstitusi pasifis Jepang—sebuah langkah kontroversial yang didukung oleh sebagian kelompok sayap kanan ekstrem.

Partai ini juga ingin memulihkan otoritas Kaisar Jepang, wacana yang selama ini hanya diangkat oleh kelompok ultra-nasionalis yang biasa berkampanye keliling kota dengan truk hitam sambil menyetel lagu-lagu militer.

Namun Sanseito tampil lebih modern. Dalam kampanye di luar Stasiun Shimbashi, Tokyo, awal pekan ini, para anggota parlemen terpilih dari Sanseito disambut tepuk tangan massa. Salah satu pendukung, Eriko Harada (47), bahkan datang dengan mengenakan kimono dan ikat kepala bertuliskan “Semangat Samurai”.

“Mereka akan menyelesaikan banyak hal,” katanya dengan antusias. Ia mengaku baru pertama kali memilih dalam pemilu tahun ini.

Kritik: Menormalisasi Xenofobia

Namun, kebangkitan Sanseito tak lepas dari kritik. Banyak yang menilai partai ini sedang berusaha menormalkan xenofobia dan menyasar kelompok rentan sebagai kambing hitam dari persoalan ekonomi dan sosial Jepang.

Dalam kampanye hari Senin, sejumlah demonstran datang untuk menyuarakan penolakan terhadap Sanseito. Salah satunya adalah Miroko Kato, penyair haiku berusia 42 tahun, yang mengatakan bahwa banyak pendukung Sanseito sebenarnya sedang menyalurkan rasa frustrasi mereka.

“Mereka tertipu oleh kebohongan, lalu melampiaskannya pada orang lain—baik itu turis, imigran, atau kelompok minoritas,” katanya. “Kami di sini untuk bilang: kami sedang mengawasi kalian.” (Reuters)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan