Sejarawan Hitomi Tonomura masih ingat betul bagaimana legenda Musashi Miyamoto membentuk masa kecilnya di Jepang. Bersama rekan-rekan sebayanya dulu, ia rutin bermain duel dengan tongkat, meniru teknik dua pedang khas sang pendekar.
“Anak mana yang tak kenal Musashi!” ujar Hitomi seperti dikutip dari National Geographic, Sabtu (11/10).
Musashi bisa dikata samurai paling legendaris dalam budaya Jepang. Hanya sedikit sekali sosok dalam sejarah yang mampu menginspirasi begitu banyak kisah seperti Musashi. Namanya diabadikan dalam seni, sastra, film, teater, hingga manga—dan kini, dalam video game terbaru Ghost of Yotei.
Menurut Nate Fox, direktur kreatif di Sucker Punch, game itu terinspirasi dari buku Book of Five Rings karya Musashi. "Terutama dalam improvisasi dan pencarian tanpa henti atas setiap celah dalam pertempuran,” jelas Fox.
Dua karakter di game tersebut bahkan menggambarkan Musashi secara langsung: seorang sensei yang mengajarkan teknik dua pedang, dan sosok legendaris yang dianggap pencipta gaya bertarung itu.
“Kalau pahlawan kami menggunakan dua pedang,” kata Fox, “kami tahu kami wajib mengakui asal teknik itu—dari seorang master sejati.”
Meski terkenal di seluruh dunia, kisah Musashi penuh paradoks. Informasi tentang sosok legendaris itu sangat terbatas. Nama, tahun lahir, bahkan asal-usulnya masih jadi perdebatan para sejarawan.
Yang pasti, Musashi lahir sekitar awal 1580-an (kemungkinan 1582 atau 1584) dan meninggal pada 1645. “Miyamoto Musashi” bukan nama lahirnya, melainkan salah satu dari beberapa nama yang ia gunakan sepanjang hidupnya.
Peneliti sejarah Jepang, Alexander Bennett menduga Musashi adalah anak angkat dan autis. Ia menyimpulkan itu setelah meneliti interaksi sosial Musashi dengan rekan dan keluarganya.
Ia dikenal sebagai pendiri aliran dua pedang (Niten Ichiry) dan dijuluki kensei, atau “santo pedang.” Tapi Musashi bukan sekadar ahli duel. Ia lahir di masa transisi Jepang—akhir era Sengoku (Perang Saudara) dan awal kekuasaan Keshogunan Tokugawa (1603), ketika para samurai harus mencari makna baru di masa damai: menjadi seniman, cendekia, atau birokrat.
Dalam buku Miyamoto Musashi: His Life and Writings, sosiolog dan seniman bela diri Kenji Tokitsu menyamakan Musashi dengan Leonardo da Vinci karena “cakupan luas karya seninya dan eksplorasi mendalam terhadap batas pengetahuan pada zamannya.”
Selain pakar bela diri, Musashi mahir melukis tinta hitam (sumi-e), memahat, dan menulis kaligrafi. Menjelang akhir hidupnya, ia menulis karya paling abadi: The Book of Five Rings, kumpulan ajaran tentang strategi dan filosofi perang. Di situ, Musashi menekankan pentingnya ketenangan batin—tidak dikuasai emosi atau gangguan.
Ilustrasi duel antarsamurai. /Foto Unsplash
Dari mitos ke legenda
Sebagian besar yang kita tahu tentang Musashi sebenarnya lahir dari mitos. Kekosongan sejarah diisi oleh kisah duel, rivalitas, dan kemenangan yang nyaris mistis.
Musashi mengaku telah membunuh lawan dalam duel pertamanya pada usia 13 tahun, dan memenangkan lebih dari 60 duel sepanjang hidupnya—angka luar biasa bahkan bagi samurai terbaik.
Pertarungan paling terkenal adalah melawan Sasaki Kojiro di Pulau Ganryu. Konon, Musashi menebasnya hanya dengan satu pukulan pedang kayu. Tapi, sejarawan masih meragukan apakah Kojiro benar-benar pernah ada.
Legenda Musashi kemudian meledak dalam seni dan panggung. Ia muncul di lukisan, drama kabuki, hingga naskah-naskah rakyat. “Karya-karya itu,” kata Bennett, “lebih mirip fan art daripada catatan sejarah.”
Di abad ke-20, Musashi lahir kembali lewat karya sastra. Tahun 1935, penulis Eiji Yoshikawa menerbitkan kisah bersambung tentang Musashi di surat kabar Tokyo. Cerita itu berjalan empat tahun dan dikompilasi menjadi novel yang memperkenalkan kembali Musashi kepada masyarakat modern Jepang.
Meski sebagian besar fiksional, novel Yoshikawa menjadi dasar hampir semua versi Musashi di budaya populer masa kini.
Musashi mungkin diselimuti kabut mitos, tapi pengaruhnya nyata. Ajarannya tentang penguasaan diri dan strategi hidup terus bergema—dari dojo seni bela diri hingga ruang rapat perusahaan modern.
“Musashi adalah duelist sejati,” ujar Nate Fox. “Kisahnya tentang menantang konvensi dan keluar sebagai pemenang tetap menginspirasi, berabad-abad setelah pedangnya berhenti berayun.”